Mappilu PWI Jatim Kawal dan Awasi Proses Pesta Demokrasi Indonesia 2024

oleh -227 Dilihat
oleh
Drs. Machmud Suhermono, M.Ikom, M.Ip, Ketua Mappilu PWI Jatim, bersama H. Muhajir Wahyu Ramadhan host PWI-JATIM-CHANNEL podcast 

SURABAYA, PETISI.CO – PWI-JATIM-Channel mengundang Ketua Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mappilu) PWI Jatim, Drs Machmud Suhermono, M.Ikom, M.Ip pada PWI-JATIM-CHANNEL podcast, bersama H Muhajir Wahyu Ramadhan, Senin (06/11/2023).

Drs Machmud Suhermono menjelaskan, bahwasanya media saat ini telah terbagi menjadi dua pemasok yaitu media pers dan media sosial. Dimana kedua media ini berlomba memasok informasi kepada masyarakat termasuk informasi politik yang terkait dengan Pemilu 2024. Hal ini yang harus dipahamkan kepada masyarakat.

Menghadapi kondisi ini media harus taat pada kode etik, karena dari dua media ini ketika menyampaikan informasi juga ada kepentingan. Untuk media pers dalam penyampaian berita harus klarifikasi, verifikasi,validasi dan konsolidasi, sedangkan media sosial dapat info tanpa verifikasi langsung dilepas.

Maka dari itu masyarakat harus berhati-hati dalam mengkonsumsi informasi dari media sosial. Sedangkan informasi berasal dari media pers disebut berita, yang relatif aman untuk dishare ulang,” kata Machmud.

Lanjut Machmud, ketika saat ini sudah banjir hoaks Pemilu, ujaran kebencian, fitnah dan lain lain yang sudah sangat banyak. Dalam artian media sosial mengaduk-aduk informasi lama dengan packaging seolah informasi baru, maka tugas media pers membanjiri dengan informasi informasi kebaikan dan kebenaran. Itulah salah satu bentuk independensi yaitu mendudukkan informasi sesuai dengan faktanya.

Machmud juga mengatakan, untuk hati-hati ketika masyarakat menshare informasi, baik dari WA, FB dan lain sebagainya untuk memastikan apakah produk itu berasal dari pers atau bukan. “Itu bisa dilihat dari badan hukumnya, termasuk redaksi, penanggung jawab, dan alamatnya,” tambah Machmud.

Jika memang ada maka itu merupakan informasi produk pers, sehingga aman untuk dishare.

Tantangan terbesar media saat ini karena adanya tarikan tarikan politik, sehingga media saat ini tidak terlalu jujur. Berbeda ketika jaman Orde Lama pada pemilu 55, dimana orang orang itu memiliki partai terlebih dahulu lalu membuat media, contoh partai NU memiliki Duta Masyarakat, Masyumi memiliki Tabloid Abadi, kemudian PNI memiliki Solo Indonesia dan yang lainnya, artinya media menyatakan bahwa mereka tidak independen dan mereka jujur bahwa medianya adalah media partai, yang merupakan media propaganda.

“Bedanya dengan saat ini orang-orang punya media terlebih dahulu baru punya partai dan ini kebalikan, mengaku independen dengan informasi yang berpihak,” jelas Machmud.

Lanjut Machmud saat ini independen media seolah barang yang mewah dan istimewa jadi orang hanya bisa berangan angan, seharusnya wajar-wajar saja, realita yang terjadi media banyak mengarah ke kelompok-kelompok tertentu yang itu semestinya tidak boleh dan bentuk pelanggaran kode etik jurnalistik di pasal 1 yaitu media harus independen.

Yang menderita kerugian terbesar apabila media tidak independen adalah masyarakat. Karena masyarakat mempunyai hak untuk tahu dan dijamin oleh undang undang dasar 45, pasal 28 F, dan yang berkewajiban memberikan adalah media. Jika media tidak independen berarti informasi untuk masyarakat itu menjadi bias, karena informasinya tidak aktual, tidak orisinil, dan dibelokkan, itulah kerugian utama masyarakat.

Untuk menjaga independensi media di PWI, yang bekerja untuk kepentingan umum, organisasi mengharuskan anggotanya untuk mengundurkan diri atau cuti selama menjadi caleg atau terjun langsung dalam politik praktis.

Atas dasar ini beberapa pengurus PWI mengundurkan diri ketika ikut dalam pencalonan legislatif, ataupun pengurus organisasi politik.

“Ketika anggota yang selesai dalam tugas politiknya maka dipersilahkan kembali ke PWI, karena PWI adalah rumah besar kita bersama, untuk berkreasi, menjaga independensi, menjaga idealisme, dan juga berkarya untuk masyarakat,” terang Machmud.

Sebenarnya masyarakat itu punya hak untuk mengawasi media seperti termaktub di UU 40 pasal 17 tahun 99 tentang peran serta masyarakat yang artinya masyarakat bisa melaporkan ke dewan pers jika ada media tidak independen.

“Dan sekarang kalau lapor tidak perlu ke jakarta, tinggal buka di www.dewanpers.or.id, kemudian klik di formulir pengaduan,” pungkas Machmud. (joe)