Mengais Asa di Tengah Kelamnya Penegakan Hukum

oleh -166 Dilihat
oleh

Oleh: Moh.Munir,S.H,.S.IP,.M.Si*

Awal tahun 2023 Indonesia masih dibayangi oleh banyak catatan kelam yang cukup menyesakkan. Seolah tak pernah pudar, setelah lebih dari dua dekade orde reformasi bergulir, catatan kelam penegakan hukum di negara kita masih jauh dari harapan.

Salah satu agenda penting yang harus dituntaskan sejak reformasi dicanangkan adalah soal penegakan hukum yang dinilai masih sangat lemah. Karena tak kunjung tegak, teramat banyak ungkapan satire yang jamak kita dengar dan disematkan pada kinerja para penegak hukum di negara kita. Hukum masih tebang pilih, tajam ke bawah tumpul ke atas, aroma rekayasa dan kriminalisasi, masih terus  terjadi dan diperparah dengan sederet data keterlibatan para penegak hukum dalam berbagai kasus berat yang menyedot perhatian publik.

Bahkan Profesor Mahfud MD dalam sebuah kesempatan pernah berujar bahwa industrialisasi hukum sudah sangat mengakar dan membudaya. Perilaku amoral sudah menjadi toksin yang sangat sulit dicarikan obat penawar. Toksisitas jajaran penegak hukum sudah sampai pada tahap memperihatinkan dan sulit dipulihkan.

Kabar ditangkapnya dua hakim agung di Mahkamah Agung (MA) pada medio Desember seolah melengkapi anggapan tentang runtuhnya marwah penegakan hukum di Indonesia. Lembaga tertinggi di bidang hukum yang menjadi benteng terakhir untuk menegakkan keadilan ternyata diisi oleh hakim yang terbukti korup setelah  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan Hakim Agung Gazalba Saleh sebagai tersangka dugaan suap pengurusan perkara pidana Koperasi Simpan Pinjam Intidana di MA.

Menjadi lebih  memprihatinkan, karena selain Gazalba, KPK juga telah menetapkan Prasetio Nugroho, Redhy Novarisza, serta Nurmanto Akmal dan Desy Yustria yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di MA, sebagai tersangka penerima suap. Mereka disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. (Kompas, 08/12/2022)

Berita tentang penangkapan hakim agung terjadi setelah sebagian besar perhatian masyarakat terbetot oleh kasus hukum terbesar di Indonesia yakni pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat  oleh seorang jenderal polisi bintang dua yang menjadi atasannya. Kasus ini menjadi luar biasa karena sebelum terungkap fakta yang sebenarnya, didahului dengan upaya rekayasa sehingga menyeret hampir seratus polisi yang dinyatakan melanggar kode etik karena tindakan tidak profesional dan pidana obstruction of justice (menghalangi proses hukum). Sampai hari ini kasus ini masih bergulir di pengadilan dan masih menjadi pertanyaan besar apakah ujungnya akan memberikan keadilan bagi keluarga korban mengingat upaya perlawanan juga sangat kuat.

Dalam sebuah webminar nasional yang dilaksanakan pada 29 Desember 2022 oleh Institut Teknologi dan Bisnis Yadika Pasuruan,  bertajuk “Refleksi Hukum Tahun 2022, Apa dan Bagaimana?” saya cukup terhenyak dengan paparan guru besar tata negara, Profesor Denny Indrayana S.H,.LLM,.Ph.D. Hadir sebagai salah satu nara sumber Prof. Denny membawakan materi yang cukup menarik perhatian yakni “Hukum dalam “Skenario Sambo” di Cengkram Oligarki, Mafia dan Duitokrasi”.

Mencermati detil paparan Prof Denny terus terang saya menjadi Speecless, karena menurut pandangannya soal penegakan hukum tengah menghadapi kompleksitas permasalahan yang hampir mustahil bisa diperbaiki dalam waktu cepat.

Dalam sudut pandang Prof. Denny, hukum saat ini tengah berada dalam cengkraman oligarki yang nota bene adalah penguasa bermodal kapital mega besar, yang mampu mempengaruhi kebijakan publik, khususnya politik, ekonomi, dan hukum. Beliau juga membaca bahwa sumberdaya alam tengah dalam kuasa oligarki dan mafia hukum.

Lebih jauh Prof.Denny juga menyebut bahwa telah terjadi fenomena Politization  of Judiciary, dimana lembaga   negara  hukum   semisal   Mahkamah Konstitusi (MK) dan   Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diintervensi, dikuasai dan dilumpuhkan.

Kalaupun  ada kabar baik dalam penegakan hukum, tidak menyentuh pelaku utama, yang tetap hilang, ataupun untouchable karena sudah mempunyai bunker perlindungan hukum, dengan akses komunikasi dan koordinasi langsung ke pusat kekuasaan.

Dalam skala tertentu, hukum masih dalam pengaruh mafia dan “duitokarasi”, Makelar kasus masih merajalela, menentukan hasil akhir putusan peradilan ataupun perjalanan kasus di tanah air. Yang lebih essensial sebenarnya adalah “public justice killing”, pembunuhan keadilan publik yang sudah lama  dilakukan secara terstruktur,  sistematis, masif.

Dalam uraian penutupnya, Prof Denny berpendapat bahwa gerakan masif-efektif dari bawah, dan pimpinan nasional yang mengerti bahwa hukum dan keadilan sudah digadaikan dan harus segera diselamatkan, segera sadar dan tergugah.

Terlepas dari adanya pendapat bahwa pandangan sinis Prof. Denny hanya berasal dari kacamata subyektif, namun sebagian besar orang pasti mengakui kepakaran dan kompetensi akademis beliau dengan sederet pengalaman sebagai mantan birokrat sekaligus dari perjalanan panjangnya sebagai akademisi dan parktisi hukum hingga kini.

Ketika saya tanyakan bagaimana dan harus dimulai darimana perbaikan terhadap kondisi yang terjadi? Dia menjawab bahwa memang sulit dan akan melalui jalan terjal nan panjang, paling tidak harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat kita. Bangun integritas dengan tidak melibatkan diri dalam praktek curang yang merugikan sembari terus berupaya menjadi bagian dari solusi (path of solution) dan jangan menjadi bagian dari masalah (path of the problem).

Sesederhana itukah? tentu ini bukan simplifikasi terhadap kompleknya persoalan. Kita masih melihat secercah harapan, masih ada asa dalam keterpurukan. Seluruh ihtiar pemerintah dalam memperbaiki keadaan harus kita apresiasi. Yang paling penting berikanlah andil dalam pembangunan hukum dengan cara membangun kesadaran kolektif bahwa penegakan hukum di sekitar kita tidak sedang baik-baik saja dan butuh keterlibatan dan aksi turun tangan sesuai dengan posisi kita masing-masing. Mudah-mudahan kita bisa mengawali tahun 2023 ini dengan lebih baik. Wallahu a’lam…

*)penulis adalah  pemerhati masalah hukum, tinggal di Bondowoso.

 

No More Posts Available.

No more pages to load.