Menuju Pertarungan Tahta DKI

oleh -70 Dilihat
oleh

Oleh: Afan Ari Kartika*

Di tengah arus pembangunan demokrasi di Indonesia, khusunya menjelang momentum pesta demokrasi di Jakarta, masyarakat seakan terjebak terhadap persoalan etnis dan agama dalam kepemimpinan.

Ada yang melakukan pendekatan lewat jalur keagamaan untuk merasionalisasikan ini (terlepas pro dan kontra), ada juga yang melakukan pendekatan ilmiah dan politis untuk dapat diterima masyarakat luas.

Namun, terlepas dari itu semua, siapapun yang nantinya akan memimpin Jakarta, harus mampu memberikan ruang yang besar dan baik bagi pembangunan demokrasi dan komitmen penegakan hukum.

Sosok pemimpin Jakarta ke depan haruslah sosok yang otentik (jujur, mau mendengarkan suara rakyat, apa adanya) dan tentunya harus visioner. Sosok yang demikian inilah yang dibutuhkan guna menyelamatkan Jakarta dari keterpecahbelahan dan memulihkan kondisi untuk lebih baik lagi.

Namun demikian, realita yang ditampilkan selama ini membuat kita jadi bertanya-tanya, apakah agenda pesta demokrasi yang akan digelar di DKI Jakarta akan konsekuen dan substansial? Atau justru akan terjadi “pembantaian demokrasi” yang dilakukan secara beramai ramai oleh elit-elit politik?

Apalagi semakin menjelang pentas demokrasi DKI, kita semua dipertontonkan sebuah drama politik yang seakan akan mengajak kita untuk menikmati dari episode ke episode.

Lantas, bagaimana sosok ideal pemimpin Jakarta mendatang? Setidaknya ada 4 hal yang harus dipertimbangkan untuk memandang sosok pemimpin DKI ke depan.

Pertama, sosok pemimpin DKI kedepan haruslah sosok yang lahir secara “historis”, bukan secara “mitologis”. Artinya pemimpin DKI kedepan harus mampu memahami perasaan rakyat, tidak otoriter/arogan, tidak anti kritik, serta senantiasa memiliki komitmen penegakan hukum dan menjunjung demokrasi.

Kedua, pemimpin DKI kedepan haruslah memiliki integritas moral dan tentu saja legitimasi rakyat. Integritas moral disini memiliki kaitan dengan aspek religiusitas, sebab atas dasar ini seorang pemimpin meletakkan dasar kewibawaannya di mata Tuhan dan juga rakyat.

Ketiga, pemimpin DKI kedepan haruslah memiliki visi yang jelas/visioner, dalam konteks mampu menjawab tantangan kedepan. Harus mampu menjadi problem solver bagi setiap masalah yang muncul. Tanpa adanya visi yang jelas, mustahil akan mencapai tujuan yang diharapkan. Dan ini justru akan berakibat fatal.

Keempat, pemimpin DKI kedepan harus mampu menunjukkan gaya kepemimpinan demokratis-egalitarian. Artinya pemimpin kedepan harus mampu memanajemen konflik. Ia bukan lah sumber dari konflik, namun penengah dalam sebuah konflik.

Empat hal tersebut setidaknya harus dimiliki oleh pemegang tahta DKI ke depan. Lantas, dari 3 kandidat pemimpin DKI ke depan, siapakah sosok yang paling tepat memimpin Jakarta?
Jawabannya tentu saja ditentukan oleh masyarakat Jakarta.

Namun demikian, siapapun yang akan menjadi pemegang tahta DKI berikutnya, ia harus mementingkan persoalan masyarakat luas, bukan kepentingan kelompok (politis). Dengan kata lain, ketika sudah terpilih sebagai pemimpin, maka harus memunculkan karakter negarawan, bukan politikus.(*)

 *penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia  (DPP PERMAHI)