NU-MU Tak Lagi ‘Gadis Manis‘ Pilgub

oleh -45 Dilihat
oleh

Oleh : Mujib Ridlwan*

SEJAK NU menyatakan diri tidak lagi mau terlibat dalam politik praktis  (kembali ke khittah) pada muktamar NU ke 27 tahun 1984  di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, para kader NU mulai semburat—yang awalnya kader NU berkumpul di PPP—menyebar di berbagai partai politik.

Penyebaran kader NU di berbagai partai politik ini, mengakibatkan NU tidak lagi menjadi kekuatan  utuh untuk mendukung satu partai,  termasuk ketika NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 1999, yang dimaksudkan sebagai partai untuk menyalurkan aspirasi warga nahdliyin.

Pada awal-awal pendirian memang sebagian besar warga nahdliyin menyalurkan aspirasinya ke PKB, tetapi belakangan juga mengalami penyusutan, menyusul banyaknya kader NU yang mengambil tempat singgah  di luar PKB.

Inilah yang terjadi di beberapa Pemilihan Bupati maupun Walikota di Indonesia, terutama di daerah Jawa Timur yang menjadi basis warga nahdliyyin. Karenanya tidak sedikit calon bupati atau calon walikota yang direkomendasi organisasi NU, kalah di tengah jalan—tidak bisa menduduki kursi yang diinginkan.

Bisa dilihat secara nasional, perhelatan paling akbar di tanah air, Pemilihan Presiden RI tahun 2004, yang calonnya diikut orang penting di NU, yaitu KH Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden (Cawapres) dari Megati Soekarnoputri dan Shalahuddin Wahid (adik kandung KH Abdurrahman Wahid) yang menjadi Cawapres dari Wiranto. Kedua calon yang berpasangan dengan tokoh NU ini akhirnya tidak mampu mengalahkan  pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, meski KH Hasyim Muzadi sempat lolos ke tahap berikutnya.  Bagaimana dengan pemilihan Gubernur maupun Pemilihan Bupati/walikota?.

Ada kondisi yang hampir serupa,  banyak kader NU yang bergulingan—kalah di tengah jalan di tengah-tengah pemilih yang mayoritas  warga nahdliyin.

Bukan hanya NU, organisasi Muhammadiyah (MU) juga mengalami hal serupa. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi NU dan MU tidak lagi menjadi ‘gadis manis’ menentukan sebuah kemenangan dalam pemilu.   Kalaupun ada orang NU atau Muhammadiyah yang kemudian terpilih, ada faktor-faktor lain selain faktor kesamaan idiologi calon dengan masyarakat pemilih yang banyak memberikan pengaruh terhadap pilihannya.

NU dan Muhammadiyah, yang oleh sebagian besar pengamat politik disebut-sebut sebagai lumbung untuk sebuah pemilihan kepala daerah, tetapi nyatanya pada pemilihan banyak kepala daerah pernyataan itu menjadi terbantahkan.

Fenomena yang terjadi, justru kesamaan ideologi tidak lagi menjadi pertimbangan masyarakat pemilih untuk menentukan siapa calon yang bakal dipilihnya.  Mengapa fenomena ini bisa terjadi, terutama dalam kurun satu dasawarsa terakhir?

Pergeseran Prilaku Pemilih Menuju Gesellschaft

Faktor perubahan sosial dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern tidak lagi bisa dielakkan. Meminjam istilah Ferdinand Tonnies (1855-1936), sosialog asal Jerman yang pemikirannya dipengaruhi Hegel dan Comte ini, memberikan penjelasan bahwa perbedaan masyarakat tradisional dan modern, salah satunya terdapat pada prilaku masyarakat yang disebutnya sebagai gemeinshcaft-gesellhscaft.

Gemeinschaft, yang diartikan sebagai masyarakat yang cenderung tidak individualis, suka menolong, tidak pamrih uang, atau bentuk dan kehendak masyarakat yang diperkuat oleh agama dan  kepercayaan, ataupun ideologi. Sedangkan masyarakat Gesellschaft adalah masyarakat serba individualis, idiologi tidak menjadi pertimbangan dalam mengambil tindakan.

Apa yang disampaikan Ferdinand Tonnis ini sangat tepat jika dijadikan kaca untuk melihat perubahan masyarakat pemilih, misalnya masyarakat NU  dan Muhammadiyah. Masyarakat dari dua organisasi terbesar ini, dalam memberikan pilihannya saat Pemilu, mulai Pemilihan Presiden, Pemilihan Gubernur, dan Pemilihan Bupati/walikota telah mengalami pergeseran.

Pergeserannya, dari  yang semula membela dengan penuh keyakinan terhadap calon yang se-idiologi, kemudian berubah ideologi tidak lagi menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan pilihannya, tetapi pertimbangannya adalah siapa yang menguntungkan bagi dirinya. Bahasa sederhananya, siapa yang bisa memberikan uang—dialah yang akan dipilih.

Fenoma seperti ini bukan hanya terjadi pada masyarakat pemilih, tetapi partai politik pengusung calon kepala daerah juga mengalami hal serupa. Misalnya, PAN yang lahirnya dibidani Muhammadiyah, dalam perjalanannya tidak sedikit kader NU yang dicalonkan oleh PAN.  Begitu juga banyak terjadi, misalnya  PKB mendukung pencalonan yang diusung partai yang berideologi nasionalis.

Karena faktor ideologi tidak lagi bisa diandalkan menjadi penentu kemenangan dalam percaturan politik, maka para calon bupati maupun gubernur  yang akan bertarung seharusnya mampu mengambil simpati dari masyarakat  yang sudah sangat cerdas dan rasional.

Salah satu yang dimainkan sebelum waktu pencoblosan atau waktu-waktu di mana calon memperkenalkan diri kepada masyarakat adalah melakukan tindakan dramaturgi politik, dengan cara menunjukkan sederat program yang memihak kepada masyarakat.  Istilah yang dipopulerkan oleh Goffman itu biasanya dilakukan oleh calon kepala daerah, misalnya, calon kepala daerah yang semula tidak pernah blusukan, kemudian tiba-tiba melakukan kegiatan blusukan ke tengah-tengah masyarakat.

Calon kepala daerah yang awalnya tidak memberikan sumbangan kepada masyarakat, tiba-tiba menjelang pencalonan, calon ini sering menyumbang ke masyarakat, ke jamaah tahlil, aktif ikut takziyah ketika ada orang meninggal.

Program yang sudah mulai disampaikan kepada masyarakat, bukan sekedar dramaturgi (panggung depan dan panggung belakang tidak sama), tetapi menjadi program yang dibangun dengan cara melibatkan masyarakat.

Membangkitkan rasa memiliki dari masyarakat pada setiap program, sehingga pembangunan yang akan dibangun bukan hanya milik kepala daerah, tetapi juga milik masyarakat. (#)

*penulis adalah Wakil Ketua II STAI Al-Hikmah Tuban, yang sedang menyeleseikan Program Doktoral (program beasiswa Kementrian Agama di Unesa) Konsentrasi Dirasah Islamiah