Ortu Siswa Akan Laporkan SMPN 1 Buduran ke APH

oleh -40 Dilihat
oleh
Pakar Hukum Umaha Fajar Rachmad
Pakar Hukum: Ancaman Pidana 20 Tahun, Denda Rp 1 Miliar

Sidoarjo, petisi.co – Praktik pungutan uang pendidikan yang selama ini ditutupi oleh Kepala SMPN 1 Buduran, Heri Wahyu Rejeki, bersama Pengurus Komite sekolah, akhirnya terkuak.

Hal ini terungkap saat Ketua Komite Sekolah, Michael Tri Budi, didampingi Wakilnya Wijianto, Sekretaris Chamdan Nur Rofiqo dan Humas Komite Rini Agustini mengumumkan pemberhentian tarikan uang pungutan di depan paguyuban mewakili wali murid.

Ketua komite sekolah Michael Tri Budi (tengah Hem putih) dan foto kanan: komite sekolah mengumumkan pemberhentian pungutan (sumbangan)

Sebelumnya, pungutan yang dinamai sumbangan dana partisipasi program sekolah tersebut, selalu kompak dibantah tidak ada oleh Kepala SMPN 1 Buduran dan Komite sekolah saat dikonfirmasi media.

“Kemarin (Rabu, 15 Oktober) di sekolah ada rapat, saya kumpulkan semua ketua paguyuban, (pengurus) komite juga Bapak Andik datang menyaksikan. Terus saya buat keputusan, saya berhentikan. Jadi sumbangan itu sudah saya berhentikan. Sebelumnya saya sudah koordinasi dengan Kepala Sekolah Bu Heri dan Bu Heri Ok. Akhirnya saya mengambil keputusan saya berhentikan,” ungkap Michael Tri Budi melalui Sambungan Telpon, Rabu (15/10/2025).

Pasca pengumuman pemberhentian pungutan, komite menjadwalkan pengembalian uang milik wali murid yang sudah terlanjur disetorkan ke Sekretaris merangkap bendahara komite sekolah, Chamdan Nur Rofiqo. Namun, proses penarikan dana yang sudah terhimpun mencapai Rp. 13.756.500 tersebut banyak dikeluhkan wali murid. Mereka mengaku prosedur pencairan terlalu banyak syarat, terkesan dipersulit.

“Pengambilan uang wali murid yang dipegang komite dijadwalkan dari Kamis hingga Jum’at (16-17 Oktober) dibagi sesuai jamnya untuk kelas 7, 8 dan 9. Namun sampai hari ini, pencairan uang Rp. 13 juta lebih itu tidak selesai, karena ada beberapa syaratnya. Salah satu syarat memberatkan, orang tua siswa diharuskan ambil sendiri uangnya ke Bu Fiqo, tidak boleh diwakilkan. Syarat ini sempat mengundang protes di grup WA. Sebab wali murid banyak yang tidak bisa hadir karena kerja. Aturan ini aneh, saat setor mudah sekali, cukup melalui wali kelas atau paguyuban. Giliran uangnya minta dikembalikan harus datang sendiri. Sepertinya sengaja dibuat ruwet,” keluh AK dibenarkan anggukan kepala wali murid lainnya, Jum’at (17/10/2025).

Sisi lain, orang tua siswa berpendapat pengembalian uang pungutan tidak bisa menghapus unsur pidana yang telah dilakukan. Mereka pun berencana dalam waktu dekat akan melaporkan semua pihak yang terlibat ke Aparat Penegak Hukum (APH). Sejumlah barang bukti berikut saksi telah dipersiapkan.

“Meski ada itikad mengembalikan uang pungutan, kami akan tetap pada pedoman awal yakni melaporkan pelanggaran pidana yang telah dilakukan oleh sekolah. Karena di dalamnya terjadi permufakatan jahat. Ada tujuh nama yang akan kami laporkan ke APH. Selain kasus pungutan, kami juga melaporkan dugaan korupsi dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), yang terjadi di SMPN 1 Buduran,” terang KSA yang ditunjuk sebagai koordinator pelapor.

Sementara itu, Pakar Hukum dari Universitas Maarif Hasyim Latif Sidoarjo, Dr. Fajar Rachmad DM., S.H., M.H menegaskan pengembalian uang pungutan sekolah tidak menghapus unsur pidana. Karena unsur perbuatan melawan hukum telah terjadi saat pungutan dilakukan.

“Pasal 4 UU Tipikor menegaskan: pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana terhadap pelaku. Artinya, sekalipun uang dikembalikan, proses hukum tetap dapat berjalan,” tegas Fajar.

Dosen Hukum yang dikenal ramah murah senyum ini menjelaskan perbuatan pungutan wajib di sekolah merupakan pelanggaran hukum. Hal ini tercantum dalam ketetapan Permendikbud No. 44 Tahun 2012 Pasal 5–6, sekolah negeri dilarang melakukan pungutan terhadap peserta didik atau orang tua/wali murid.

“Jika sekolah negeri tetap memungut, meskipun dibungkus istilah iuran atau sumbangan wajib, maka secara hukum termasuk pungutan liar (pungli). Meski regulasi sudah melarang, pungutan banyak terjadi di sekolah negeri. Disinilah pungutan menjadi pungutan liar, sebab sudah terdapat larangan pungutan di sekolah negeri baik oleh pihak sekolah maupun komite sekolah,” tegas Fajar.

Lebih lanjut, kata dia, pungli termasuk tindak pidana korupsi apabila dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara seperti kepala sekolah atau bendahara sekolah dapat diancam pidana berat. Sedangkan Non-PNS seperti komite/paguyuban bisa dijerat Pasal 368 ayat (1) KUHP (pemerasan/paksaan) dengan pidana penjara maksimal 9 tahun.

“Berdasarkan Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pegawai negeri yang memaksa seseorang memberikan uang dengan penyalahgunaan jabatan dapat dipidana penjara 4–20 tahun dan denda hingga Rp. 1 miliar,” tandasnya.

Menurut Dekan Fakultas Hukum Umaha Sidoarjo ini, langkah orang tua siswa melaporkan pihak yang terlibat dalam pungutan biaya pendidikan di sekolah ke APH sudah tepat dan sah secara hukum. Ia juga mendukung upaya pemberantasan korupsi di lingkungan sekolah yang berkaitan dengan penyimpangan dana BOSNAS/BOSDA.

“Jika dinas pendidikan terkesan melindungi sekolah atau tidak menindaklanjuti laporan, maka pelaporan bisa dibawa ke Kepolisian, Kejaksaan, atau bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena perbuatan ini melibatkan dugaan penyalahgunaan kewenangan dan pemerasan. APH adalah lembaga yang berwenang menindaklanjuti. Jika terdapat aliran dana yang berasal dari atau berkaitan dengan korupsi BOSNAS/BOSDA, maka Kejaksaan atau KPK juga memiliki yurisdiksi karena menyangkut pengelolaan yang merugikan keuangan negara,” ucapnya.

Fajar juga memberikan catatan khusus kepada para pihak yang diduga terlibat dalam praktik pungli sekolah seperti kepsek, bendahara, komite, ketua paguyuban dapat dijerat pidana permufakatan jahat (KUHP). Selain itu, karena pungli termasuk tindak pidana korupsi, maka asas pertanggungjawaban pidana kolektif dapat diterapkan, semua pihak yang terlibat bisa dihukum sesuai perannya.

“Jika terbukti ada rencana bersama, pembagian peran, dan kesengajaan untuk melakukan pungutan melawan hukum, maka mereka dapat dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP: Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana. Pasal 56 KUHP: bagi pihak yang membantu atau memfasilitasi terjadinya pungutan. Pasal 88 KUHP (permufakatan jahat) apabila unsur kesepakatan melakukan tindak pidana korupsi terpenuhi,” pungkasnya. (luk)

No More Posts Available.

No more pages to load.