Perppu tentang Ormas dan Kemunduran Demokrasi Indonesia, Dialektika Kekuasaan Vs Hukum

oleh -51 Dilihat
oleh

Oleh : Zuhri Saifudin, S.H.,M.H *

Legitimasi konstitusi dari adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) telah diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD RI Tahun 1945. Dalam Pasal 7 ayat (1) point c UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan derivasinya pun telah ada dan diletakkan sebagai bagian dari jenjang hierarki peraturan di Indonesia.

 Makin jelas jika dicermati frasa “Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”. Tanda “/” disebut juga adalah sebuah alternatif dan pilihan. Tidak menandakan kedudukan yang lebih tinggi dari siapa dan dari apa.  Semua sejajar tidak ada yang lebih tinggi.

Perppu adalah kewenangan MK. Perppu dapat disejajarkan dengan UU. Fakta yuridisnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.138/PUU-VIII/2009. Perppu berimplikasi terhadap adanya “status hukum baru”, “hubungan hukum baru” dan “akibat hukum baru”. Atas dasar tersebut tentunya konsep Perppu memang ideal sejajar dengan UU. Lalu batasan kewenangan MK sejauh mana? sebelum disetujui atau ditolaknya Perppu oleh DPR? Idealnya, muatan materi MK adalah sebelum Perppu masuk dalam sidang paripurna dan dinyatakan disetujui atau tidak oleh DPR.

Jika Perppu sudah masuk ke MK dahulu  dan disisi lain sudah masuk proses pengesahan di DPR dan Perppu dianggap MK tidak tepat dikeluarkan. Lalu bagaimana misalkan Perppu dalam proses di DPR diterima dan disahkan menjadi UU?  Idealnya adalah, maka UU tersebut tidak berlaku karena embrio dasar dan norma hukumnya telah dibatalkan oleh MK. Kita lihat bersama dinamika ketatanegarannya akan seperti apa?

Jika mengacu frasa dari Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “kegentingan yang memaksa” belum tepat dan pemerintah terlalu buru-buru. Perppu sah dan merupakan hak prerogatif Presiden untuk mengeluarkan asalkan di saat yang tepat. Keadaan yang tepat pula. Presiden dapat memberikan tafsir sesuai hak prerogatifnya.

Tafsir “objektif “tentunya akan lebih baik mengikuti penjabaran tafsir dari putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang pada intinya ada alasan mendesak, kekosongan hukum dan prosedural UU perlu waktu lama. Tafsir objektif dapat disertai dengan logika hukum yang rasional agar tidak ada dampak negatif terhadap sistem hukum dalam tata negara. Tertib hukum wajib dijadikan sebagai acuan agar kebijakan ini tetap mengedepankan rasa keadilan bagi semua belah pihak. Tafsir objektif ini, idealnya dapat dijelaskan dalam penjelasan Perppu secara detail dan jelas.

Disisi lain Presiden sebagai kepala negara dan pemerintah juga memiliki hak prerogatif dengan menafsirkan secara “subjektif”. Subjektif dalam pemaknaan ini tentunya tidak boleh dengan penafsiran tanpa dasar hukum dan pertimbangan yang logis. Selain aspek yuridis, aspek sosiologis dan filosofis atas dampak jika kebijakan ini dikeluarkan wajib dijadikan dasar dari Presiden. Walaupun terdapat hak secara subjektif, Presiden tidak boleh bersifat absolut terhadap dasar dikeluarkannya Perppu. Sifat diskresi yang bersifat “taktis-strategis” karena dianggap melihat kondisi keadaan negara dalam keadaan tertentu.

UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dianggap oleh pemerintah tidak relevan lagi digunakan mengingat adanya dinamika yang terjadi di dalam masyarakat. Keadaan tersebut telah mengilhami lahirnya Perppu No.2 Tahun 2017 tentang Ormas sebagai revisi atas UU Ormas sebelumnya. Banyak materi hukum yang diubah. Termasuk mekanisme pembubaran Ormas yang sangat debatable.

Perubahan yang mendasar adalah tentang larangan Ormas dalam Pasal 59 UU Ormas. Masih relatif wajar dan baik sebagai benteng negara demi kesatuan dan persatuan bangsa. Dalam Pasal 60 tentang sanksi. Dalam Perppu selain sanksi administratif dicantumkan sanksi pidana. Dalam Pasal 61 Perppu memberikan kewenangan terhadap kementerian terkait (Kemendagri dan Kemenkumham khususnya) guna memberikan sanksi. Telah terjadi pergeseran kewenangan yang semula dari pemerintah secara umum baik pusat dan daerah kepada kementerian negara.

Dalam Pasal 62-80 Perppu dihapus. Konsekuensinya adalah klausula tentang “pembubaran Ormas” tidak ada. Norma hukumnya pun telah terjadi pergeseran hanya sebatas “pencabutan status badan hukum”. Implikasinya ketika sudah ada pencabutan dianggap secara otomatis bubar. Keterlibatan Pengadilan Negeri sebagai celah awal pembubaran tidak ada. Jalan pintas pemerintah diambil dan dipangkas dari norma hukum tersebut yang telah dihapus dan diganti dengan yang baru.

Perubahan norma hukum tersebut jelas telah mengesampingkan asas rechtaats. Doktrin dan paradigma dari F.J Stahl tentang prinsip negara hukum salah satunya adalah adanya jaminan HAM bagi warga negara. Selain itu sistem peradilan merupakan konsep kelembagaan dalam negara hukum. Dalam Perppu tersebut keterlibatan mekanisme sistem peradilan tidak ada. Pihak yang berwenang bukan lagi dalam ranah pengadilan. Pihak kewenangan otoritas tertinggi hanya ada dalam pemerintah melalui kementerian terkait. Terjadi sentralistik hanya ada dalam pemerintah. Sanksi hukum yang dianggap cukup dengan pencabutan status badan hukum. Sanksi kelembagaan telah bergeser terhadap personal dengan ancaman sanksi pidana (Pasal 28A Perppu).

Hal terpenting adalah kita jangan terjebak dengan dikotomi istilah “Ormas radikal” dan bukan. Jangan terkungkung dan terpaku hanya mengarah terhadap ormas tertentu saja. Jangan terjebak dengan persoalan “like” dan “dislike” terhadap ormas tertentu. Kita lepaskan pola pikir tersebut. Semua perlu batu uji dan parameter yang jelas. Kita wajib meletakan persoalan terhadap konsep negara hukum yang telah kita sepakati bersama. Kita letakan pada konsep demokrasi sebagai pilihan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita taat konstitusi sebagai legitimasi hukum tertinggi negara ini. Embrio norma hukum secara konstitusi jelas dijamin legalitasnya sesuai Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945. Perppu tersebut norma hukumnya adalah bersifat umum dan dapat diberlakukan terhadap semua Ormas.

Kita semua pasti sepakat bahwa Pancasila adalah ideologi negara dan landasan bergerak bagi Ormas. Tidak boleh ada Ormas satu pun yang bertentangan dengan Pancasila. Tidak tepat jika ada Ormas yang bertentangan dengan Pancasila untuk tetap ada di Indonesia. Demikian juga, selain tidak boleh bertentangan dengan Pancasila jangan sampai bertolak belakang dengan 3 pilar dalam berbangsa dan bernegara yaitu UUD NRI Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Eksistensi adanya Pancasila dan merupakan ideologi negara guna dijadikan landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah dipatenkan dengan Putusan MK No.100/PUU-XI/2013.

Tujuan pemerintah adalah baik demi menjaga NKRI agar tidak ada Ormas satu pun yang menganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Persatuan dan kesatuan bangsa menjadi skala prioritas. Akan tetapi, perlu digaris bawahi dan ditarik benang merahnya terkait Perppu tersebut. Jangan sampai Perppu digunakan sebagai alat legitimasi pemerintah yang kurang bijak dalam penyelesaian terkait berkembangnya banyak Ormas. Adanya ormas adalah bagian dari perbedaan dan kekayaan bangsa kita.

Ormas telah dijamin konstitusi negara. Ormas adalah bagian dari supporting system dalam mengawal roda pemerintahan. Tidak boleh Perppu dijadikan sebagai alasan pembenar jika tidak suka Ormas tertentu dibubarkan. Dikritik tidak terima dibubarkan. Ini adalah zaman keterbukaan bukan totaliter apalagi otoriter. Jangan sampai negara mengarah pada quo vadis otoritarianisme. Alam demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara wajib memberikan ruang dan mengakomidir bagi setiap Ormas yang ingin tetap mengawal adanya pemerintahan. Pluralisme dan primordial bangsa wajib dihormati. Perppu tidak boleh digunakan sebagai alat represif negara. Perppu jangan sampai berfungsi sebagai destroyer tool of democration. Ini sangat berbahaya. Pemerintah wajib bijak dalam menyikapi perbedaan dan persoalan bangsa. Agar makin tidak ada gejolak dan menimbulkan konflik horizontal dalam masyarakat.

Idealnya upaya pembubaran Ormas dengan UU Ormas sekarang (No.17 Tahun 2013) masih relevan digunakan. Prosedurnya pun jelas dan tidak ada kesulitan. Mekanisme pengadilan adalah prinsip dasar dalam negara hukum. Jika bertolak dari “asas contrarius actus” dengan pendekatan adanya lembaga yang berhak menerbitkan sekaligus mencabut izin Ormas, maka ini adalah batu uji posisi pemerintah akan dimana dan seperti apa?demokrasi atau semi demokrasi ataukah justru tirani?. Sekali lagi, jika kita sepakat bahwa sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 Indonesia adalah negara hukum, maka proses pengadilan pantas tetap digunakan tidak bolek dikesampingkan.

Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 dan No. 3/PUU-XII/2014 terkait tafsir secara umum UU Ormas (No.17 Tahun 2013) dari berbagai norma hukum yang ada, maka sampai sekarang masih relevan digunakan tanpa harus mengeluarkan Perppu sebagai pengganti UU Ormas. Perppu hanya mengarah pada kemunduran demokratisasi di Indonesia.(#)

 *Penulis adalah Pakar Muda/Pengamat Hukum Tata Negara dan Advokat