Rezim Rangkap Jabatan dan Salam Lato-lato

oleh -127 Dilihat
oleh
Ferry Is Mirza, wartawan senior di petisi.co yang juga Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur

Oleh: Ferry Is Mirza DM*

Dalam rezim Jokowi, khususnya di periode ke dua 2019-2024 banyak masalah yang muncul. Khususnya ketatanegaraan. Semisal, pejabat tinggi setingkat menteri hingga dirjen yang rangkap jabatan.

Hal itu jelas melanggar undang undang nomor 39 tahun 2008. Namun, justru Presiden selaku Kepala Negara memberi restu. Contoh, Menteri BUMN Erick Tohir dan Menpora Zainudin Amali.

Berdasar data valid yang dikutip penulis dari berbagai sumber, contoh lain adalah rangkap jabatan Dirjen Kekayaan Negara (RS) diangkat sebagai Komisaris Bank Mandiri lewat RUPS-LB 12 Agustus 2019 dan efektif sejak 12 Februari 2020. Pada 2017-2019, RS Komisaris PLN. Di Mandiri menggantikan pejabat Kemenkeu juga yang pindah jadi Komisaris BNI.

Selama periode 2020-2022 (3 tahun), jumlah komisaris Bank Mandiri 10 orang. Banyak pula yang merangkap jabatan sebagai staf khusus presiden /wapres, deputi Setkab, Deputi Kementerian BUMN, Kepala BPKP dan seterusnya.

Kalau baca berita data, alasannya sedap betul. Intelektual banget. Misalnya, mengapa RS diangkat sebagai komisaris adalah untuk mengantisipasi adanya gejolak ekonomi global terhadap bisnis Bank Mandiri.

Orang juga tahu jabatan itu basah. Banyak lho orang ditawari jadi dubes tidak mau dan lebih menyasar komisaris BUMN.

Apa sebabnya? Duit!

Seorang komisaris punya tiga jenis pendapatan: gaji dan tunjangan, bonus dan tantiem, serta imbalan kerja jangka panjang. Porsi terbesar adalah bonus dan tantiem itu (bisa lebih dari 80%), apalagi di BUMN sekelas Bank Mandiri.

Data yang sudah dicek laporan keuangan BMRI 2020-2022 (selama RS merangkap jabatan) dan menemukan total penghasilan RS dari jabatan komisaris itu sebesar Rp 64,3 miliar. (Per 2021, LHKPN RS tercatat sebesar Rp53,3 miliar. Tahun 2022 batas akhir pelaporan pada 31 Maret 2023).

Tahun 2020, gaji dia di BMRI sebesar Rp 538,5 juta / bulan, bonus dan tantiemnya Rp 11,6 miliar. Tahun 2021, gaji dia Rp 612 juta, bonus dan tantiemnya Rp 11,08 miliar. Tahun 2022, gaji dia Rp 680,6 juta, bonus dan tantiemnya Rp 17,9 miliar.

Dengan penghasilan sebesar RS di BMRI itu, dia bisa pegang rata-rata Rp 21 miliar/tahun atau sekitar Rp 1,7 miliar / bulan. Pamer sampai mampus pun bisa —tentunya setelah dipotong proposal-proposal permintaan dana dari patron politiknya yang membantunya meraih jabatan itu.

Artinya, dari bonus dan tantiem doang, dia dapat Rp40,65 miliar selama tiga tahun. Lantas, sebagai eselon I, dia masih dapat tunjangan kinerja (tukin) Rp90 jutaan/bulan.

Kalau segini dapatnya, gaji sebagai PNS tak perlu dihitung. Buat beli lato-lato saja, ibaratnya.

Bahkan RS itu masih punya harta juga berupa 553.200 lembar saham BMRI. Saat ini saham BMRI Rp10.050/lembar. Berarti total nilai saham yang dia punya Rp5,5 miliar.

Sudah rangkap jabatan, jadi investor pula (artinya dapat dividen dan untung dari kenaikan nilai saham).

Darimana asalnya bonus dan tantiem? Darimana bank dapat laba? Dari bunga yang dibebankan ke nasabah/debitur—masyarakat!

Mengapa selama pandemi, bank makin untung? “Ternyata perbankan memainkan spread (selisih) suku bunga kredit dan suku bunga dana sehingga NIM (Net Interest Margin) menjadi stabil. Saat volume penyaluran kredit menurun, perbankan cenderung memperbesar spread antara suku bunga kredit dan suku bunga dana untuk mempertahankan level NIM.” (Kompas, 15 Februari 2023). (Anda baca sendiri saja beritanya supaya memahami kenapa bank selalu untung jumbo, bahkan tanpa perlu sentuhan pejabat Kemenkeu sebagai komisaris)

Terbukti, kan, pandemi tidak berpengaruh terhadap penghasilan pejabat. Mereka makin kaya: gaji jalan, tantiem jalan, imbalan lain jalan, tukim jalan, investasi saham jalan.

Masalahnya apa untungnya buat masyarakat umum dengan adanya PNS eselon I merangkap komisaris di BMRI itu? Tidak ada! Minimal tidak pantas dihargai penghasilan miliaran rupiah.

Halo, Presiden Jokowi. Laranglah rangkap-rangkap jabatan seperti di atas dalam segala bentuknya. Itu soal SEPELE, cuma soal harta dan tahta, bukan masalah luhur seperti perintah kitab suci, keyakinan ilahi, kehidupan kekal setelah mati, kebahagiaan rohani di surga.

Katanya situ orang baik

Lihat itu di Lampung ada anak SD menangis di makam bapaknya karena sedih dagangan kuenya belum ada yang laku. Sementara pejabat tidak malu makan duit miliaran karena rangkap jabatan di negara pedih begini.

Salam Lato-Lato!!.

*penulis adalah Wartawan Utama, Sekwan Kehormatan PWI Jawa Timur