Tukang Parkir RUU HIP : Nasib Maju Mundurnya Pergulatan Pengertian Dasar Negara yang tak Kunjung Usai

oleh -58 Dilihat
oleh
Oleh: Ken Bimo Sultoni*

Disaat terjadinya wabah Covid-19 yang sedang melanda Indonesia saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga disibukkan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang cukup kontroversial di tengah masyarakat. Undang-Undang ini berkaitan dengan pembahasan ideologi Pancasila yang menurut banyak pihak menjadi suatu kemubaziran, karena minimnya urgensi kepentingan nasional dan rawan terjadinya konflik ideologis di tengah masyarakat.

Akan tetapi, nasib dari RUU ini di tangan DPR bak tukang parkir yang tengah mengatur laju maju mundurnya kendaraan bermotor. Pada awalnya banyak kalangan di DPR yang menyetujui kehadiran Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ini, akan tetapi setelah munculnya banyak eskalasi protes dari masyarakat, mereka lebih banyak diam, sedangkan di sisi lain, partai-partai yang tidak sepakat akan kehadiran RUU ini semakin lantang menyurakan penolakannya.

Pada tanggal 16 Juni lalu, Presiden Jokowi melihat respon yang berkembang di masyarakat dan memutuskan untuk menunda pembahasan RUU ini dan mengusulkan DPR untuk dapat lebih banyak berdialog dan menyerap aspirasi masyarakat terlebih dahulu. Selain itu wabah Covid-19 yang melanda Indonesia juga menjadi salah satu penilaian dari presiden Jokowi untuk menunda pembahasan RUU ini.

Banyak kalangan yang menilai urgensi dari RUU HIP ini juga terlalu tendensius terhadap kepentingan suatu partai dan minim akan urgensi kepentingan nasional.

Seperti yang diketahui, bahwa banyak partai disaat awal pembahasannya menyetujui akan adanya RUU ini yang diharapkan dapat mengampu kepentingan dan memperkuat posisi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam pembinaan nilai-nilai Pancasila. Hal ini dikarenakan posisi kelembagaan BPIP hanya berlandaskan pada Pasal 44 Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2018.

Akan tetapi, setelah melihat respon penolakan masyarakat yang terjadi, maka banyak diantara partai tersebut yang memilih untuk diam. Diantara masyarakat yang menolak tersebut diantaranya adalah lembaga dan organisasi masyarakat Islam seperti NU, Muhammadiyah dan MUI. Seperti yang dikutip dari Tempo.co Draf RUU Haluan Ideologi Pancasila terdiri dari 10 bab. Yakni Ketentuan Umum; Haluan Ideologi Pancasila; Haluan Ideologi Pancasila sebagai Pedoman Pembangunan Nasional; Haluan Ideologi Pancasila sebagai Pedoman Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam Bab II Pasal 2, Haluan Ideologi Pancasila terdiri atas pokok-pokok pikiran dan fungsi Haluan Ideologi Pancasila; tujuan, sendi pokok, dan ciri pokok Pancasila; masyarakat Pancasila; dan demokrasi Pancasila.

Dan yang menjadi polemik dalam RUU ini diantaranya terdapat pada pasal 7 tentang ciri pokok Pancasila. Disebutkan bahwa ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

Banyak kalangan, khususnya mayoritas umat Islam yang menilai bahwa dalam pasal 7 ini mencoba menggerus nilai inti Pancasila yang berkaitan dengan ketuhanan. Selain itu dalam pasal ini dikritik lantaran dianggap merujuk pada konsepsi nilai-nilai prinsip Pancasila 1 Juni 1945 yang digagas oleh Soekarno, bukan Pancasila yang disepakati dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Disaat pro-kontra terkait RUU HIP muncul di masyarakat, berkembang pula isu tentang munculnya nilai-nilai komunisme yang menjalar dan dirasa dapat kembali tumbuh kembali di Indonesia. Hal ini dikarenakan RUU Haluan Ideologi Pancasila juga mempersoalkan ketiadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor XXV Tahun 1966 dalam konsideran. Tap yang diteken Ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang dan larangan menyebarkan ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme.

Maju mundurnya RUU ini cukup membuat banyak kalangan khawatir, khususnya sebagian besar golongan masyarakat muslim, mereka menilai RUU ini dapat megembangkan pengaruh nilai-nilai komunis dan juga melenggangkan kepentingan terselebung yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sementara disisi lain salah satu partai di DPR yang cukup kuat dan lantang menyuarakan Undang-Undang ini yaitu PDIP menggangap bahwa RUU ini menjadi penting karena diperlukan untuk dapat memberikan payung hukum dan memperkuat posisi BPIP sebagai lembaga yang berwenang untuk membina dan mengarahkan nilai-nilai Pancasila.

Apabila melihat fenomena yang terjadi, maka ada indikasi terjadi ketersinggungan nilai-nilai Pancasila yang universal (Open Ideology) seakan-akan dikembangkan menjadi suatu nilai khusus yang hanya dimonopoli artikan oleh sebagian pihak maupun golongan tertentu (Close Ideology).Tentu saja hal ini menjadi ganjalan bagi banyak pihak yang berpendapat bahwa Pancasila pada dasarnya adalah rumusan final dari ideologi bangsa. Apabila mencoba mengulik makna yang terdapat pada pasal 7 yang menjadi topik pro kontra pada RUU ini,  pada dasarnya RUU ini mencoba merunut kembali maksud Bung Karno selaku pihak yang menjadi kunci penting perumusan Pancasila.

Seperti yang disampaikan oleh Syaiful Arif, direktur dari Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) bahwa Sukarno menempatkan ketuhanan di dalam trisila berada di urutan terbawah sebagaimana urutan Pancasila 1 Juni yang memang menempatkan ketuhanan sebagai sila kelima. Dalam hal ini bukan berarti Sukarno meminggirkan dan menganggap nilai ketuhanan tidak penting dalam rumusan Pancasila-nya akan tetapi artinya, ketuhanan menjadi dasar bagi sila-sila di atasnya sebagaimana pemahaman Bung Hatta atas pikiran sahabatnya itu dalam karyanya berjudul Pengertian Pancasila (1989).

Meski begitu banyak kalangan yang menilai bahwa penempatan numerik itu tetap menjadi persoalan polemik yang memiliki arti mendalam, selain itu penjabaran nilai-nilai Pancasila yang terdapat pada RUU HIP dianggap terlalu memonopoli makna dan falsafah Pancasila yang telah bersifat universal.

Masyarakat Indonesia sedari awal sebelum tercapainya kemerdakaan merupakan masyarakat berketuhanan, pergantian poin nilai ketuhanan yang pada awalnya hanya berbunyi untuk segelintir golongan menjadi lebih bersifat universal sangat penting untuk dapat menjaga fondasi bhinneka tunggal ika yang terdapat pada bangsa ini.

Oleh karenanya, disaat ada pihak yang mencoba untuk mengoreksi, menempatkan maupuan sekedar mengejewantahkan konsepsi nilai ini menjadi suatu konsepsi nilai yang baru atau berbeda, maka sudah sepantasnya masyarakat akan merespon hal itu dengan rasa khawatir dan juga curiga akan adanya usaha untuk meruntuhkan fondasi persatuan yang telah dibentuk lebih dari 70 tahun bangsa ini merdeka.

Yang menjadi titik temu dari permasalahan ini pada dasarnya bukan terletak pada filosofi dan juga nilai dari Pancasila itu sendiri, akan tetapi lebih menitikberatkan pada teknis pembumian atau penanaman nilai-nilai Pancasila pada masyarakat yang seringkali dianggap hanya sebagai sebuah jargon atau selogan semata. Apabila memang diperlukan penguatan posisi BPIP sebagai lembaga yang berwenang untuk dapat mengatur teknis pembumian Pancasila menjadi lebih berhasil maka yang diperlukan DPR bukanlah dengan mengganti atau mencoba mengoreksi nilai-nilai yang sudah ada, akan tetapi lebih berfokus pada pangaturan teknis bagaimana menjadikan Pancasila bukan hanya sebagai slogan, akan tetapi benar-benar menjadi pandangan hidup bangsa dalam bernegara dan juga bermasyarakat.

Pergantian nama RUU HIP menjadi Rancangan Undang-undang Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU PIP) tetap akan menjadi polemik selama nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tetap diusik sifat keuniversalitasan-nya dan tak berfokus pada teknis penanaman nilai-nilai yang sudah ada pada tubuh Pancasila itu sendiri.(#)

*)penulis adalah alumnus Fisip Universitas Diponegoro