Entaskan 361 Desa Tertinggal, Ini Yang Dilakukan Dinas PMD Jatim

oleh -64 Dilihat
oleh
Kepala Dinas PMD Jatim, M Yasin.

SURABAYA, PETISI.CO – Sebanyak 361 desa di Jawa Timur (Jatim) tergolong sebagai desa tertinggal. Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa telah memerintahkan seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk mengentaskan 361 desa tertinggal, sehingga diharapkan pada tahun 2020, Jatim sudah terbebas dari desa tertinggal.

Lalu, bagaimana kesiapan OPD-OPD itu untuk mengentaskan desa tertinggal?. Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Provinsi Jatim yang menjadi leading sector dari program pengentasan desa tertinggal menyatakan kesiapannya membantu gubernur Khofifah dalam membebaskan seluruh desa Jatim dari ketertinggalan.

“Tentu kami siap dan optimis target itu bisa tercapai. Tahun 2020, seluruh desa tertinggal di Jatim bisa mentas, seperti yang diharapkan bu gubernur,” kata Kepala Dinas PMD Jatim, M Yasin kepada petisi.co di Surabaya, Minggu (15/9/2019).

Yasin mengaku telah menyiapkan langkah-langkah strategis untuk mengentaskan 361 desa tertinggal itu. Langkah itu ditempuh, karena ada indikator yang tidak bisa diintervensi oleh daerah. Salah satunya adalah daerah rawan bencana.

Langkah pertama yang bisa dilakukan, yaitu akan mengoptimalisasi pemanfaatan dana desa untuk mensupport 361 desa tertinggal, agar penggunaannya tepat sasaran. “Kita analisis indikator-indikator mana yang lemah dan kemudian kita intervensi melalui dana desa,” tegasnya.

Disamping itu, gubernur juga akan menggerakkan seluruh OPD untuk menggeropyok 361 desa tertinggal itu. “Tidak hanya OPD, gubernur juga menggandeng 36 Perguruan Tinggi (PT) untuk bersama-sama mengentaskan daerah tertinggal,” paparnya.

Menurutnya, masing-masing daerah memang memiliki karakteristik berbeda. Ada tiga aspek yang diukur dalam IDM, yakni dimensi ketahanan sosial, ekonomi dan ekologi. Dari tiga aspek itu, nanti akan dihitung mana yang rendah. Misalnya, indeks ketahanan ekonomi.

“Ternyata di desa itu, ada variabel belum memiliki akses terhadap lembaga permodalan. Maka kita membangun lembaga permodalan. Kalau tidak ada Bank yang masuk, minimal ada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), atau Koperasi Wanita (Kopwan), atau lembaga keuangan mikro sejenis lainnya,” katanya.

Kemudian indeks ketahanan sosial. Jika di desa itu ada indikator akses jamban masih rendah, kata Yasin, maka bisa memanfaatkan dana desa untuk pemenuhan jamban keluarga. Demikian pula desa itu memiliki akses perpusatakan, namun jika rendah akan dibangun perpustakaan. Bisa bekerja sama dengan dinas perpustakaan.

“Kalau di desa itu ada akses pelayanan kesehatan, tapi belum memilik tenaga medis, maka kita intervensi tenaga medisnya. Nah, kita lihat per variabel, jadi tidak bisa treatmennya sama antara satu desa dengan desa yang lain,” ungkapnya.

Untuk intervensi dana desa, Yasin menyebut berdasarkan aturan penggunaan dana desa, maka kebutuhan dan permasalahan yang ada di masyarakat yang disepakati melalui musyawarah desa, bupati dan gubernur punya kewenangan untuk menyelaraskan penggunaan dana desa berdasarkan kebijakan strategis masing-masing daerah.

Nah, tugas ini yang akan dimanfaatkan gubernur. Namun, Yasin mengaku pemprov tidak bisa mendirect atau memaksa, karena itu kewenangan pemerintah desa. Yang bisa dilakukan oleh pemprov, yaitu menyelaraskannya.

“Makanya gubernur akan melakukan pengawalan penyusunan APBD desa, sehingga betul-betul sinergi dengan program strategisnya kab dan provinsi, tapi tetap menjawab permasalahan yang dibutuhkan oleh masyarakat desa dan itu ditetapkan oleh musyawarah desa,” tuturnya. (bm)