Beribadah dengan Ikhlas

oleh -84 Dilihat
oleh

Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”  (QS. Al-An’am: 162-163)

Sebagai khalifah kita dituntut menghiasi diri dengan sifat terpuji dan salah satunya ikhlas. Ikhlas berarti murni, suci, bersih, tidak bercampur dengan noda atau yang kotor. Laksana susu yang suci dan bersih dalam perut sapi, tidak bercampur dengan darah dan kotoran. Mereka yang bersifat dengan ikhlas dinamakan Mukhlisin.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?” (QS. An-Nisa: 125).

Menurut sebagian ulama yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” dalam ayat di atas ialah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang dimaksut dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.

Menjadi Mukhlisin bukanlah perkara mudah dan tidak semua orang bisa memiliki sikap ikhlas. Tapi ikhlas memiliki manfaat dahsyat. Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy’ariy ra berkata,

“Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam pernah ditanya, manakah yang termasuk berperang di jalan Allah? Apakah berperang karena keberanian, kesukuan, atau yang berperang karena riya’? Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam menjawab, ‘Siapa saja yang berperang dengan maksud agar kalimat Allah terangkat, itulah perang di jalan Allah” (HR.Bukhari dan Muslim)

Semua ibadah, setidaknya melibatkan tiga aspek, yaitu hati atau qalby, ucapan atau qauly, dan perbuatan atau fi’ly. Ketiganya harus dilakukan secara sempurna. Di antara ketiga aspek dimaksud yang paling sulit dilakukan dalam beribadah adalah justru yang memiliki posisi terpenting, yaitu niat dimaksud.

Seorang ulama terkenal pendiri mazhab Syafi’i Imam as-Syâfi’i berkaitan dengan ikhlas berkata, “Seandainya engkau mengerahkan seluruh kemampuanmu untuk menjadikan semua manusia ridha maka tidak ada jalan untuk mewujudkannya. Jika demikian, maka ikhlaskanlah amalan dan niatmu hanya untuk Allâh Azza wa Jalla semata.”

Beranjak dari itu, mari kita terus mengintrospeksikan diri dan terus beramal dengan jiwa yang ikhlas, dan semangat jihad untuk meraih titel Mukhlisin tidak boleh ditinggalkan dan kendur. Mari berlomba dalam kebaikan.

Orang yang Ikhlas

“Keikhlasan adalah ketika hanya Allah yang menjadi maksud dan tujuan seseorang dalam beribadah. Dan ketika itulah akan muncul ‘hikmah’ dari dalam hatinya melalui lidahnya. Dan setiap kali keikhlasan seseorang menguat, maka semakin sempurnalah (meningkat) ‘ubudiyahnya kepada Allah.”  (Ibnu Taimiyah-Al Fatawaa)

“Pemahaman (beragama) yang benar merupakan cahaya yang Allah anugerahkan ke dalam dada hambaNya, yang ditopang oleh ketaqwaan kepadaNya dan bagusnya niat (maksud) hamba tersebut.” (Ibnul Qayyim-A’lam Al Muwaqi’in)

“Orang yang benar-benar ikhlas obsesinya adalah mencari ridha Allah, menunaikan perintah-perintahNya dan mengikuti segala yang disukaiNya. Maka, ia selalu berputar dan beredar disana, berjalan bersamanya dimana pun berada, berpindah kemana pun hal tersebut  berpindah. Adakalanya ia dalam shalat, atau ia dalam dzikir, atau di dalam peperangan (jihad), atau tengah berbuat baik kepada makhluk dengan mengajar mereka, atau bentuk-bentuk kebaikan (yang bermanfaat) lainnya.”  (Ibnul Qayyim-Madarijus Salikin)

“Barang siapa yang senantiasa memperbaiki batinnya niscaya akan semerbak wangi berbagai kemuliaannya, dan hati manusia akan senang menyebarkan kebaikannya. Maka sungguh demi Allah, memperbaiki batin itu sangatlah utama. Karena tiadalah berguna bagusnya tampilan lahir seseorang jikalau batinnya rusak.”  (Ibnul Jauzi-Shaidul Khathir).

“Seiring dengan semakin sempurnanya keikhlasan, dzikrullah, dan semangat kepadaNya, maka semakin kecil peluang (hamba) jatuh kepada dosa. Dan seorang hamba yang ikhlas, tidak akan memandang dirinya melainkan (masih) lalai. Karenanya ia akan sibuk mengagungkanNya, dan menganggap kecil dirinya, serta sibuk dengan aib-aibnya.” (Ibnul Qayyim-Madarijus Salikin)

Seorang yang benar-benar ikhlas, ketika merasakan bahwa kata-katanya, perbuatannya, dan nasehat-nasehatnya, sepertinya membuat orang lain tergugah dan tersentuh, maka ia segera menyendiri bersama Allah, memohon ampun kepadaNya, agar dihatinya tetap hanya Dia, tiada sekutu bagiNya.

Seorang ulama yang sudah tua ditanya oleh seorang anak muda dengan penuh semangat, “Ya Syaikh, dengan apa Engkau akan menghadap Allah, sedangkan jenggotmu sangat tipis?”

Ulama tersebut menjawab, “Aku akan menghadapNya dengan hati yang bersih (qalbin salim).”

Lalu ia membacakan penggalan hadits yang maknanya: “Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memandang kepada fisik dan bentuk kalian. Akan tetapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala memandang hati dan amalan kalian.”

fimdalimunthe55@gmail.com

No More Posts Available.

No more pages to load.