BPR Jateng Tumbuh di Tengah Pandemi Corona

oleh -226 Dilihat
oleh

Oleh: Diana Putri Utami*

Dunia perbankan Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak Masa Kolonialisme Belanda hingga saat ini, sejalan dengan perkembangan perekonomian Indonesia. Saat ini dunia perbankan memiliki peranan penting sebagai lembaga intermediasi atau perantara keuangan antara masyarakat yang memiliki kelebihan dana dengan masyarakat yang mengalami kekurangan dana dalam menjalankan usahanya.  Dengan peranan tersebut, secara tidak langsung dunia perbankan memiliki andil besar dalam menggerakkan roda perekonomian bagi masyarakat.

Dunia perbankan sendiri diatur dalam Undang Undang Perbankan nomor 10 tahun 1998, dimana jika berdasarkan fungsinya maka bank dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu Bank Sentral, Bank Pengkreditan Rakyat dan Bank Umum.

Salah satu bank yang menjadi tumpuan masyarakat adalah Bank Pengkreditan Rakyat atau yang kita kenal dengan istilah BPR.  BPR sendiri merupakan bank yang melaksanakan kegiatan perbankan secara konvensional maupun melalui prinsip syariah Islam, di mana dalam melaksanakan kegiatannya, bank ini tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Kegiatan BPR ini lebih sempit daripada bank umum, dimana BPR hanya melayani penghimpunan dana dan penyaluran dana saja. Bahkan dalam menghimpun dana, BPR dilarang untuk menerima simpanan giro, mengikuti kliring, serta melakukan transaksi valuta asing. Dalam aspek operasionalnya pun, BPR juga dibatasi hanya bisa beroperasi pada wilayah tertentu saja.

Untuk menjalankan kegiatannya BPR memerlukan sumber pendanaan yang salah satunya berupa Dana Pihak Ketiga (DPK). Dana pihak ketiga merupakan dana yang diperoleh dari masyarakat yang menggunakan jasa perbankan dari bank tersebut. Dalam hal ini, DPK pada BPR hanya berupa tabungan dan simpanan deposito.

Dimasa sekarang ini, Pandemi Covid-19 telah memberikan pengaruh signifikan terhadap dunia perbankan, tak terkecuali pada BPR.  Hampir seluruh BPR di Indonesia mengalami masalah yang sama, yaitu penurunan kinerja bank dalam menghimpun dan menyalurkan dana. Uniknya, ditengah persoalan tersebut BPR di wilayah Jawa Tengah (Jateng) malah menorehkan pencapaian yang luar biasa, dimana terdapat tren kenaikan kinerja penghimpunan dan penyaluran dana.

Berdasarkan Data Statistika Perbankan Indonesia yang dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), DPK pada BPR Jateng tercatat sebesar Rp27.139 miliar pada triwulan I-2020, atau mengalami pertumbuhan dari triwulan IV-2019 yang hanya Rp26.738 miliar. Hal ini tentunya menarik karena dimasa pandemi Covid-19 ini, BPR Jateng mengalami tren kenaikan kinerja penghimpunan dana DPK.

Berbeda dengan Bank Umum, proporsi DPK pada BPR di Jateng masih didominasi oleh simpanan deposito yang mencapai 57,04%, sedangkan untuk tabungan hanya sebesar 42,96% saja. Meskipun demikian, perolehan DPK tersebut merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan BPR pada 33 provinsi lainnya.

Pertumbuhan DPK pada BPR Jateng saat masa pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa Tengah masih menaruh kepercayaan terhadap BPR untuk menyimpan uang mereka. Menyimpan uang di BPR tergolong aman karena mendapat jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sehingga menurut mereka BPR merupakan tempat yang paling aman dari berbagai resiko ditengah pandemi ini, seperti resiko pencurian dan penjarahan. Pun demikian, apabila resiko tersebut terjadi masih menimpa mereka, maka nasabah tidak akan kehilangan uang,  karena mereka dapat melakukan klaim jaminan kepada LPS.

Selain dari aspek keamanan penyimpanan dana, ternyata tingkat konsumsi masyarakat juga berpengaruh dalam pertumbuhan DPK. Adanya pandemi Covid-19 menyebabkan terjadinya perubahan pada pola konsumsi masyarakat, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah, padahal mereka memiliki kontribusi yang lumayan besar pada perolehan DPK BPR berupa tabungan.

Perubahan konsumsi tersebut disebabkan oleh penerapan kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam rangka pencegahan persebaran virus corona. Kebijakan PKM ini telah diterapkan di kota-kota besar yang tingkat mobilitas masyarakatnya relatif tinggi, seperti Kota Semarang dan Surakarta.

Penerapan kebijakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) ini tentunya berdampak besar bagi masyarakat, terutama masyarakat dari golongan menengah ke bawah. Bisa dipastikan bahwa masyarakat menengah kebawah merupakan masyarakat yang paling terdampak dari adanya kebijakan ini, karena mayoritas pekerjaan mereka berada pada sektor informal. Masyarakat yang memiliki pekerjaan informal ini mayoritas memiliki pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan dari rumah, salah satu contohnya para pedagang.

Salah satu poin utama dalam kebijakan  PKM  yaitu himbauan untuk tetap di rumah saja, dan hal ini cenderung dipatuhi oleh masyarakat sehingga tempat umum menjadi tidak seramai biasanya. Kondisi seperti ini mengakibatkan tidak sedikit dari para pekerja informal yang kehilanggan pendapatan. Misalnya para pedagang kehilangan sebagian besar pembelinya, sehingga secara tidak langsung laba yang diperoleh para pedagang akan menurun. Hal ini tentunya merubah preferensi konsumsi mereka.

Dengan adanya tren penurunan pendapatan para pekerja informal tersebut, masyarakat akan meresponnya dengan mengubah fokus pengeluaran mereka. Masyarakat akan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok, seperti sembako dan obat obatan.

Masyarakat yang semula bisa mengalokasikan sebagian penghasilannya untuk disimpan di bank dalam bentuk tabungan, sekarang menjadi tidak bisa karena mereka akan lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-harinya daripada menyimpan uang.

Alhasil akan terjadi penurunan komposisi tabungan masyarakat menengah kebawah di dunia perbankan, termasuk komposisi tabungan pada DPK BPR. Jika dicermati lebih lanjut, kondisi ini sesuai dengan data Statistika Perbankan Indonesia khususnya di Jawa Tengah yang dikelola oleh OJK. Melalui data tersebut, OJK menyebutkan bahwa proporsi tabungan masyarakat menengah kebawah terhadap DPK pada BPR di wilayah Jateng mengalami penurunan dibanding tahun lalu.

Meskipun secara umum DPK pada BPR di wilayah Jateng mengalami peningkatan, namun untuk proporsi tabungan terhadap DPK di BPR Jateng sendiri mengalami penurunan, dari yang awalnya sebesar 31,547% pada  triwulan IV-2019 menjadi 30,64% pada triwulan I-2020.

Sementara itu, masyarakat yang berpenghasilan menengah keatas atau masyarakat yang berpenghasilan tetap akan cenderung untuk tetap memilih menginvestasikan sebagian penghasilannya ke dalam instrumen yang diminati, seperti simpana deposito. Instrumen simpanan deposito ini digemari karena bunga yang diberikan lebih tinggi daripada bunga tabungan, walaupun dana yang telah dimasukkan tidak dapat ditarik kapan saja.

Masyarakat menengah keatas tidak terlalu membutuhkan uang untuk melakukan konsumsi dalam situasi sekarang ini, sehingga kondisi ini menyebabkan DPK yang berasal dari simpanan deposit mengalami peningkatan walau dalam situasi pandemi. Peningkatan simpanan deposit ini ternyata mampu menutupi penurunan DPK yang berasal dari tabungan masyarakat kelas menengah kebawah. Pada akhirnya, jumlah keseluruhan DPK yang diperoleh BPR Jateng tetap  mengalami peningkatan, meskipun terdapat penurunan DPK yang berasal dari tabungan masyarakat.

Keberhasilan BPR Jateng dalam memperoleh peningkatan sumber dana dari DPK merupakan pencapaian yang lumayan bagus, terlebih dalam masa pandemi covid yang penuh dengan tekanan dari berbagai sisi.  Namun pencapaian tersebut mungkin akan sulit dicapai kembali pada kwartal II apabila pandemi Covid-19 belum mereda pada pertengahan tahun ini.

Oleh karenanya dalam mengantisipasi potensi penurunan kinerja BPR dalam mengumpulkan sumber permodalannya kembali pada kwartal II,  BPR Jateng harus melakukan berbagai inovasi. Salah satu contoh konkritnya adalah dengan memberikan  insentif berupa kenaikan bunga simpanan tabungan  dan deposito, serta melakukan sosialisasi/edukasi yang masif kepada masyarakat.

Hal ini tentunya diharapkan dapat menarik minat masyarakat untuk menyimpan uangnya di BPR.  Selain itu, dari sisi kebijakan, pemerintah pusat juga diharapkan untuk terus memberikan insentif kepada pelaku usaha sektor perbankan maupun masyarakat terdampak covid-19. Dukungan dari pemerintah sangatlah penting, mengingat perbankan merupakan salah satu penopang pertumbuhan ekonomi sektor riil. Dengan adanya sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha sektor perbankan, harapannya iklim dunia perbankan akan tetap terjaga selama masa pandemi Covid-19 ini.(#)

*)Penulis adalah mahasiswi Politeknik Keuangan Negara STAN

No More Posts Available.

No more pages to load.