Catatan Merah di Hari Buruh dan Pendidikan Kita

oleh -226 Dilihat
oleh

Oleh : Thoriq Haidar Al Roychan Ghozali*

Menjadi hal yang unik Hari Buruh dan Pendidikan kita selalu beriringan tetapi masih jauh dari kata ‘Merdeka’. Seharusnya menjadi refleksi panjang oleh pejabat kita untuk menuntaskan pekerjaan rumah daripada membahas kontestasi 2024 yang masih lama”

Hari Buruh Internasional selalu diperingati setiap tanggal 1 Mei, menjadi peringatan besar dan refleksi setiap negara untuk melihat di setiap kebijakan apakah sangat berpihak kepada buruh terutama dan masyarakat pada umumnya. Tak lupa juga bagi kita selaku warga negara Indonesia pun memperingati Hari Pendidikan pada setiap tanggal 2 Mei. Ini menjadi momen baik jika para pemangku kebijakan sadar untuk merefleksikan dua momen sakral tersebut untuk melakukan perbaikan di setiap kebijakan mengenai buruh dan pendidikan di Indonesia. Tetapi pada kenyataannya jauh dari harapan, untuk saat ini saja para pejabat publik lagi asiknya membahas Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 daripada membahas kesejahteraan buruh dan memperbaiki Pendidikan kita. Tak hanya hari ini, sejarah terjadinya May Day (Hari Buruh Internasional) pun sangat sarat akan penindasan dan sejarah kelam.

Awal mula adanya Hari Buruh Internasional ini lahir dari rahim kelompok Federasi Internasional. Sebuah kelompok sosialis dan serikat buruh menetapkan 1 Mei sebagai hari untuk mendukung para pekerja, dalam memperingati pula peristiwa Kerusuhan Haymarket di Chicago pada tahun 1886. Peristiwa tersebut terjadi karena para pekerja tidak mendapatkan hak-hak yang adil dan layak oleh para pemimpin perusahaan mereka, ini menjadi tonggak atau simbol perjuangan untuk kemerdekaan, demokrasi, dan persamaan bagi seluruh negara di dunia.

Saat ini Indonesia memiliki sekitar 130 juta buruh atau pekerja, baik di sektor formal maupun non-formal. Melihat buruh itu sebetulnya sederhana, karena buruh menilai segala sesuatu yang mereka kerjakan semata-mata bukan untuk memperkaya diri tetapi untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menafkahi anak mereka. Akan tetapi dengan permasalahan kasus korupsi yang menjerat para petinggi perusahaan dan pejabat publik justru merugikan buruh itu sendiri, karena biaya kebutuhan keluarga semakin mahal sehingga tidak mampu untuk membeli.

Refleksi sejenak tentang Undang-Undang Cipta Kerja yang baru saja disahkan, UU yang cacat dan inkonstitusional bersyarat. UU Ciptaker terlalu memaksakan dan tidak melibatkan partisipasi lokal dalam perumusan dan pengesahannya, maka sudah hal yang wajar berbagai gelombang penolakan dari buruh dan mahasiswa. Pejabat publik sudah terbiasa melakukan kebijakan yang tidak memihak kepada buruh dan masyarakat bawah, ini menjadi kebiasaan buruk jika diteruskan dan akan menimbulkan rasa ketidakmanusiaan dalam setiap pengambilan kebijakan. Permasalahan selanjutnya yang dihadapi para buruh saat ini adalah kesejahteraan bagi para buruh.

Perusahaan sering telat dan tidak membayar upah atau gaji bagi para buruh, contoh saja kasus di Provinsi Jawa Tengah, tiap tahunnya terdapat 700 laporan mengenai upah atau gaji yang belum dibayar kepada buruh. Ini pun menjadi pertanda bahwa tidak ada ketegasan dari Pemerintah untuk memperketat para pengusaha agar selalu memenuhi hak-hak pekerja atau buruh mereka. Buruh pun saat ini dihadapi permasalahan mengenai seringnya mereka di-PHK. Dengan adanya UU Cipta Kerja terdapat ketentuan pengusaha dapat melakukan PHK karena alasan melakukan efisiensi untuk mencegah kerugian. Melalui UU ini, pengusaha dapat langsung melakukan PHK kepada para buruh mereka tanpa memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga terlebih dahulu asal diatur dalam ketentuan perusahaan tersebut.

Permasalahan Pendidikan di Indonesia pun sampai detik ini masih belum dirasa sempurna, hal ini terjadi karena setiap pergantian Menteri Pendidikan pun juga berbeda di setiap kebijakannya. Kebijakan Merdeka Belajar pun tak sebagus namanya, kata ‘Merdeka’ pun tidak dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, masih banyak anak-anak di beberapa pulau dan provinsi di Indonesia yang tak bisa bersekolah. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menunjukkan terdapat 75.303 orang anak-anak yang putus sekolah di tahun 2021. Jenjang Sekolah Dasar (SD) menjadi yang paling tinggi peringkat putus sekolah dengan jumlah sekitar  38.716 orang.

Tak hanya berhenti disitu saja, Indonesia pun masih mengalami masalah Pendidikan yang masih banyak lagi, yakni sarana dan prasarana yang kurang memadai. Mungkin di daerah perkotaan masih banyak sekolah yang bagus dan memadai, tetapi kita harus melihat kondisi sarana dan prasarana sekolah yang ada di pedesaan apalagi di luar pulau jawa, masih banyak yang bisa dibilang jauh dari kata layak. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 60,60% ruang kelas pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dalam kondisi rusak ringan dan sedang pada tahun ajaran 2021/2022. Pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat 53,30% ruang kelas rusak ringan atau sedang pada tahun ajaran yang sama. Dan ada sekitar 45,03% ruang kelas rusak ringan atau sedang pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun ajaran yang sama pula. Terakhir, permasalahan Pendidikan kita yang sangat dirasakan saat ini adalah biaya pendidikan yang mahal. Ini menjadi permasalahan dasar yang sangat larut dan tidak menemukan jalan keluarnya.

Ironisnya, banyak masyarakat yang tidak mampu membayar Pendidikan yang akhirnya menjadi putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Catatan ini pun selalu digaungkan oleh para mahasiswa kepada setiap institusi pendidikan untuk memberikan dispensasi biaya pendidikan kepada masyarakat atau para mahasiswa yang kurang mampu. Namun perjuangan itu menjadi sia-sia karena alasan para pemimpin lembaga pendidikan yang masih mengedepankan proyek pembangunan sekolah atau universitas daripada kelancaran pendidikan bagi masyarakat kurang mampu.

Ini menjadi catatan merah kepada setiap pemangku kebijakan mengenai kesejahteraan buruh dan kesejahteraan guru dan murid di bidang pendidikan. Seharusnya bangsa ini bersyukur dengan dua momen sakral, yakni Hari Buruh Internasional dan Hari Pendidikan yang beriringan, karena para pemangku kebijakan seharusnya sadar dan paham bahwa dua hal ini sangat penting dan menjadi permasalahan serius yang dihadapi Indonesia saat ini. Selain itu, buruh dan pendidikan mempunyai relevansi yang sangat erat.

Kita bisa ketahui bahwa seorang buruh memiliki tanggung jawab yang besar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Maka akses pendidikan juga ditentukan oleh pendapatan keluarga, karena permasalahan biaya yang mahal menjadi hambatan untuk anak-anak yang ingin merasakan dunia sekolah. Dapat dibayangkan, bila kesejahteraan 130 juta buruh dipertaruhkan, maka pemerintah juga mempertaruhkan nasib 130 juta hingga 260 juta anak sekolah dan bahkan memungkinkan lebih dari angka tersebut. Menjadi niscaya bahwa dua hari sakral ini menjadi momen baik untuk refleksi para pemangku kebijakan dalam merumuskan sebuah kebijakan yang tepat sasaran. Perbaikan dan solusi konkrit sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia tentang kesejahteraan buruh dan peningkatan kualitas Pendidikan kita. Semoga!

*) Penulis adalah Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga

No More Posts Available.

No more pages to load.