Deep Purple dan Generasi Asam Urat

oleh -90 Dilihat
oleh

Oleh: Ferry Is Mirza DM*
SETELAH 21 tahun (2002) lalu, malam nanti di Edutorium Universitas Muhammadiyah Solo, Deep Purple bakal tampil menghentakkan musik cadas di depan penonton, khususnya generasi milenial.

Deep Purple adalah salah satu band rock paling dikenal di muka bumi sejak era 70-an. Deep Purple merupakan band cadas pionir heavy metal dunia selain Black Sabbath, Leed Zeplin.

Setiap konser tiketnya selalu terjual habis dan telah menjual lebih dari 100 juta keping album di masa jayanya.

Tahun 1975 silam –penulis yang kala itu masih mahasiswa baru– sangat amat ingin nonton Deep Purple yang kali pertama datang ke Indonesia. Namun, keinginan penulis tak keturutan meski Ian Gillan – Ian Paice Cs selama dua malam menggelar konser di Istora Senayan malam di Jakarta.

Puji syukur 27 tahun setelah (1975) atau tahun 2002 penulis yang waktu itu sudah usia 46 tahun, keturutan menonton “Legenda Hidup” musik rock Deep Purple, di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, Selasa (30/4/02) malam.

Waktu itu penulis dari Surabaya berangkat ke Jakarta Selasa pagi naik R4 Jeep Mercy milik Eddi Antoro owner Kusuma Agro Batu, bersama Pemred Jawa Pos Dhimam Abror yang kini sudah bergelar Doktor.

Saat jingkrak jingkrak mengikuti hentakan musik yang dimainkan Deep Purple, penulis juga bertemu dengan para generasi asam urat seperti Setyawan Djodhi, Eddy Rumpoko, Bang Haji Rhoma Irama dan Robby Sumendap (mantan owner) Bouraq Airline.

Seingat penulis, lagu pembuka Deep Purple malam itu Woman From Tokyo. Ian Gillan dan empat rekannya memukau dan memuaskan sekitar 6.000 penggemar fanatiknya dari berbagai usia.

Selama dua jam pertunjukan energik itu –pukul 21.00 hingga 23.00 WIB, “Singa Rockers” asal Inggris antara lain Ian Gillan (vokal), Steve Morse (gitar), Don Airey (keyboard), Roger Glover (bas), dan Ian Paice (drum) memainkan musik dengan rancak. Mereka yang berusia di atas 50 tahun –tergolong generasi asam urat– itu adalah Deep Purple formasi bongkar pasang ke-10 sejak berdiri awal tahun 1970.

Meski Ian Gillan Cs dan penonton kebanyakan golongan generasi asam urat, buktinya, mereka tampil ganas dan hampir seluruh penonton turut melantunkan setiap lagu yang dibawakan Deep Purple. Lagu lawas seperti Woman From Tokyo, Smoke On The Water hingga When A Blind Man Cries yang tentunya cukup akrab bagi penggemar musik rock.

Selama pertunjukan dua jam itu, ribuan penonton tetap disuguhi sajian musik dengan kemampuan bermain kelas tinggi. Namun untuk soal stamina tanpa berusaha disembunyikan, vokalis Ian Gillan di beberapa lagu bernada tinggi terlihat kehabisan napas. Toh, penonton tetap memberi aplaus pada kualitas suaranya yang masih garang. Sedangkan Steve Morse yang menggantikan Ritchie Blackmore tampak seperti terbebani untuk menunjukkan diri bahwa dia memang layak sebagai pengganti gitaris pertama Deep Purple itu. Kelima singa musik rock itu juga membawakan satu lagu baru berjudul Well Dress yang diwarnai permainan ciamik Morse.

Selain lagu baru tersebut, Deep Purple juga memberikan kejutan dengan permainan solo hammond dari Don Airey yang mengalunkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Secara keseluruhan, tak kurang dari 16 lagu disuguhkan.

Tapi, yang paling menghentak penonton justru tiga lagu bonus, yaitu Hush, Black Night, dan Highway Star. Saat itulah, penonton tak hanya turut bernyanyi, tapi juga berjingkrak-jingkrak. Boleh jadi, inilah puncak kepuasaan dan kenikmatan menyaksikan permainan panggung lima musisi gaek tersebut. Dan konser berakhir pukul 22.45 WIB. Konser itu sekaligus membuktikan bahwa band pelopor aliran hard rock dan heavy metal ini pantas disebut sebagai satu di antara legenda hidup musik dunia.

Tidak rugi, mungkin itu kesan dibenak para penonton konser Deep Purple. Meski harus merogoh kocek untuk tiket termurah kelas festival sebesar Rp 300 ribu. Sedangkan tiket kelas Very Very Important Person seharga Rp 750 ribu dan VIP Rp 550 ribu. Memang tak murah untuk ukuran kantong mahasiswa, misalnya. Namun, bagi sebagian penggemarnya konser kali ini adalah nostalgia generasi asam urat.

*penulis adalah Wartawan Utama, Sekwan Kehormatan PWI Jawa Timur