Gaduh Piala Dunia U20 hingga Jokowi Mbalelo

oleh -132 Dilihat
oleh

MENGUTIP pernyataan Smith Alhadar Advisor Institute for Democracy Education (IDe) bahwa beberapa hari ini Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri teronggok di rumah penuh penyesalan.

“Belum pernah kondisi mentalnya terganggu seperti sekarang ini. Mood-nya rusak. Tak ada lagi semangat hidupnya. Ini lantaran Jokowi sebagai petugas partainya Mbalelo,” tulis Smith Selasa 4 April lalu dari Tanggerang Selatan.

Mega tak menyangka anak yang ia pungut dari pinggir jalan di Solo kini berani mbalelo  “melawan” kepadanya. Dulu, Mega mengusung si tukang mebel itu sebagai capres karena wajahnya menyerupai wong cilik. Mega tak menyangka Jokowi punya orientasi politik yang berbeda. Juga ideologinya.

Ternyata Jokowi kapitalis ambisius. Penyesalan Mega dipicu sikap permusuhan petugas partai itu. Semisal, sejak jauh hari Mega telah meminta Jokowi mempertimbangkan kembali posisi Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 yang pasti akan menggebrak seluruh rakyat.

Pasalnya, timnas Israel akan berpartisipasi di dalamnya. Dengan begitu, bendera Israel akan dikibarkan dan lagu nasionalnya akan berkumandang di negeri ini. Padahal, Indonesia tak punya hubungan diplomatik dengan penjajah Palestina itu, sehingga atribut- atribut negara Zionis itu akan terlihat mengejek tuan rumah NKRI.

Lalu, Mega merasa akan mengkhianati legacy politik ayahnya, Bung Karno, yang dua kali menolak Israel dalam event olahraga yang mempertemukan tim Indonesia dengan tim negara itu. Juga karena alasan konstitusi kita tak membenarkannya.

Di pihak lain, Mega tak ingin even bergengsi Piala Dunia itu digelar di negeri ini. Apalagi, sebelumnya, rilis lembaga survei yang kredibel mengungkap bahwa lebih dari 70% koresponden menolak keikutsertaan timnas Israel dalam ajang PD-U20 ini.

Badan Inteljen Negara (BIN) pimpinan Budi Gunawan juga telah memperingatkan akan ada demo besar bila timnas Israel ikut serta. Lalu Mega menawarkan beberapa opsi kepada Jokowi. Di antaranya, bendera Israel tak dikibarkan, lagu nasionalnya tak dinyanyikan, dan tak ada liputan serta penonton tiap kali timnas Israel bertanding di lapangan bola di Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, atau di Surabaya dan Bali.

Tapi Jokowi tak menggubris. Mungkin karena ia telah dapat jaminan dukungan dari Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf yang dikenal dekat dengan Israel. Lagi pula, Jokowi secara keliru hendak menaikkan pamornya di pentas nasional maupun internasional bila ajang PD U20 ini berhasil dilaksanakan tanpa diskriminasi terhadap Israel sebagaimana keinginan FIFA.

Karena sikap Jokowi yang meremehkan dirinya inilah mendorong Mega memerintahkan Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo untuk menolak ketempatan pertandingan itu. Harapannya, PDIP juga akan meraih simpati kaum Muslim yang tentunya berguna dalam konteks Pemilu 2024 mendatang. Namun, tampaknya ekspektasi itu tak tercapai. Bahkan, mungkin pemilih PDIP merosot karena kasus ini.

Sesal Mega pada Jokowi bertambah jadinya. Sebelumnya, Mega kecewa pada mantan walikota Solo itu karena tergiur pada gagasan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan (LBP) untuk memperpanjang masa jabatannya. Lagi-lagi permintaan Mega agar wacana itu dihentikan, diabaikan Jokowi.

Karena disepelekan, Mega kesal bukan main. Apalagi ternyata Jokowi lebih mendengar dan patuh serta loyal ke LBP daripada dirinya. Hal ini bisa dipahami lantaran Jokowi memang tidak berbagi ideologi dengan PDIP. Wong cilik malah diperlakukan secara hina dengan melemparkan sembako dari jendela kaca mobil. Tujuannya bukan membantu mereka yang terpinggirkan, justru untuk pencitraan.

Sikap Jokowi memuja harta dan kekuasaan terlihat dari pembiarannya terhadap ambisi anak-anaknya mengumpulkan kekayaan dengan cara-cara yang tidak elegan. Buktinya, Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep yang anak kemarin sore masih ingusan ujug-ujug jadi kaya raya setelah berkolusi dengan oligarki yang bermasalah.

Jokowi juga secara tidak langsung memfasilitasi Gibran dan menantunya si Bobby Nasution merebut kekuasaan di Solo dan Medan. Malahan kini giliran Kaesang diplot menjadi calon Walikota Depok. Jokowi ingin membangun dinasti politik. Mungkin hal ini tak terlalu merisaukan Mega, toh PDIP yang mengusung mereka ketika berkontestasi di Pilwalkot Solo dan Medan.

Yang paling mengecewakan Mega hari ini adalah upaya Jokowi mengisolasi PDIP, partai yang berjasa membawa Jokowi –dengan kapasitas moral dan intelektual yang terbatas– ke istana presiden. Yakni, hari Sabtu 1 April lalu, dengan sangat arogan Jokowi membuat acara Bukber di kantor DPP PAN dengan menghimpun para Ketum Parpol Golkar, Gerindra, PKB, PAN, PPP untuk membangun koalisi besar. Nyaris pasti koalisi ini akan menjagokan Ketum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum Golkar Airlangga Hartarto sebagai pasangan bakal capres-cawapres 2024.

Dengan begitu –kalau koalisi besar ini tidak berubah– Partai Banteng Moncong Putih dibiarkan sendirian setelah Koalisi Perubahan untuk Persatuan (Nasdem, Demokrat, PKS) terbentuk mengusung Anis Rasyid Baswedan sebagai bacapres. Memang PDIP bisa mengusung capres sendirian tanpa perlu berkoalisi dengan parpol lain.

Namun, peluang menangnya kecil kalau Puan Maharani adalah bacapresnya. Mengingat elektabilitasnya rendah. Ganjar Pranowo lebih menjanjikan. Tapi apakah PDIP telah berdamai dengannya? Kalaupun Ganjar yang diusung, tanpa berkoalisi dengan partai lain propspek kemenangannya pun kecil.

Apalagi Ganjar kini dilihat sebagai musuh Jokowi setelah ia menolak timnas Israel. Sikap PDIP terkait Israel inilah yang membuat Jokowi merasa dipermalukan, sehingga menantang Mega dengan membentuk koalisi besar tanpa Ganjar. Padahal, salah satu variabel penting yang menempatkan Ganjar di tiga besar bakal capres bersama Prabowo dan Anies adalah politik asosiasinya dengan figur Jokowi. Jokowi terpaksa meninggalkannya karena ia telah berubah menjadi “Brutus” bagi Mega.

Terlebih, elektabilitas Ganjar diprediksi merosot terkena getah Israel. Alhasil, posisi PDIP kini tak menguntungkan. Partai itu juga tak dapat berharap dari Jokowi. Jokowi kini telah menjadi anak “durhaka”. Kesalahan Mega yang utama adalah tak melihat watak asli Jokowi. Padahal, watak itu telah diperlihatkan Jokowi dengan jelas pada 2014 lalu.

Sebagaimana diketahui, setelah Prabowo membawanya dari Solo untuk bersaing dengan gubernur petahana DKI Jakarta Fauzi Bowo, Jokowi berjanji tak akan ikut Pilpres 2014 di mana Prabowo adalah salah satu capres. Ternyata Jokowi mengingkari janjinya itu. Waktu itu Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) diusung PDIP mengalahkan pasangan Prabowo – Hatta Rajasa.

Kini giliran Mega merasakan pengkhianatan Jokowi. Mungkin ini merupakan balaknya Prabowo. Sebab, pada 2009, Mega menandatangi Perjanjian Batutulis dengan Prabowo dimana berjanji akan mengusung Prabowo pada Pilpres 2014. Nyatanya ia ingkari dengan mengusung Jokowi-JK

Bagaimanapun, masih ada jalan keluar bagi Mega. Yakni ada Menko Polhukam Mahfud MD yang kini popularitasnya melejit sebagai efek dari pembongkaran mega skandal transaksi mencurigakan Rp 349 Triliun di Kementerian Keuangan. Bisa jadi pembongkaran kasus ini –kalau memang ini inisiatifnya sendiri– terkait ambisinya Mahfud menjadi capres atau cawapres dalam pilpres menadatang.

Kalau Mahfud berhasil membongkar kasus ini hingga tuntas, memuaskan publik maka, dalam konteks pilpres, tidak ada figur bacapres yang lebih populer daripada Mahfud saat itu. Apalagi kalau nanti Mahfud jadi dipecat Jokowi dalam rencana reshuffle mendatang.

Tapi kalau kasus megaskandal itu gagal dituntaskan, Mahfud akan kembali ke titik nol. Sebaliknya kalau dituntaskan –apalagi kalau usul Mahfud agar dibuat UU penyitaan harta koruptor terwujud– bukan tidak mungkin orang-orang PDIP juga akan terseret. Situasi politik carut marut tak menentu inilah yang membuat Mega terkulai di rumahnya Jln Teuku Umar, Menteng.

Mega mungkin tak mau percaya lagi pada siapa pun. Seperti Jokowi wajah dan penampilan sederhana tetapi ternyata sering mengecoh dan mbalelo.

Sedangkan soal FIFA memutuskan mencabut PSSI sebagai house –tuan rumah– PD U20, sebenarnya terkait dengan tragedi tewasnya 135 suporter akibat Gas Airmata saat menonton laga Arema vs Persebaya di stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022.  Peristiwa Kanjuruhan ini membawa duka dan disorot dunia. Pasalnya lantaran korban tewas 135 jiwa itu merupakan angka yang terbesar dalam sejarah sepakbola dunia.

Dan kejadian Kanjuruhan ini menjadi cermin bagi FIFA menilai bahwa mode pengamanan yang dilakukan aparat, tidak sesuai dengan regulasi FIFA. Salahsatu yang utama petugas keamanan dilarang membawa senpi dan sejenisnya termasuk gas air mata. Kenyataan di setiap pertandingan di tanah air, aparat keamanan, baik Polri dan TNI selalu membawa senpi. Begitupun penonton kerap lolos membawa kembang api, yang seharus dilarang dibawa masuk ke stadion. Itulah fakta dunia sepakbola Indonesia. Apa kata dunia…(fim)