Kisah Inspiratif Arif Lila “Dubai” Wijanaka, Master Kuliner Stan Gaza

oleh -216 Dilihat
oleh
Lila (pojok kiri) bersama rekan-rekan Spekal (Serikat Pedagang Kali Lima) Surabaya/foto istimewa.

Profile Warkop-an, Pengalaman Kuliner Kelas Internasional-an

Oleh: Mochamad Makrup

 Don’t judge the book by the cover. Jangan menilai orang dari cover atau pakaiannya. Itu-lah yang diperlihatkan  Arif Lila Wijanaka, 45 tahun, warga Pakal, Benowo. Profile-nya seperti pedagang kali lima warkop-an. Tapi jangan tanya pengalamannya di bidang food and baverage perhotelan.  Kelasnya, internasional-an.  Dia mantan General Manager FnB Novotel Hotel Surabaya dan berpengalaman tiga tahun di Novotel, Dubai, EUA. Berikut ceritanya.

Sabtu (24/12/22) pukul 12.30,  kawasan Jalan Semolowaru, Surabaya diguyur hujan deras. Sehari sebelumnya juga demikian. Untung, hujan hari itu hanya berlangsung 10 menit dan setelah itu reda.   Usai sholat Dhuhur di masjid kampus Universitas Dr Soetomo, penulis dan teman keluar di pintu gang sisi timur masjid. Waktunya makan siang.

Di sisi timur masjid ada jalan gang. Di situ berkumpul warung kopi dan makanan. Namanya Stan Gaza yang lokasinya  bersebalahan antara Kampus Unitomo dan Universitas 17 Agustus (Untag).

Kami masuk salah satu warkop dan pesan makanan dan kopi. Usai makan, ada seorang lelaki berkaos merah menghampiri pemilik warung. Tampaknya, mereka berdua sudah kenal. Terdengar obrolannya yang akrab.

Penulis sepertinya mengenal wajah.  Pria itu sepertinya alumni Fakultas Sastra (FS) Inggris yang masuk di WA group UELA (Unitomo English Literature Alumni). Penulis sempat memantau WA ada alumni—yang memiliki stand dan koordinator PKL di Stan Gaza.

Penulis pun menanyakannya soal itu dan namanya. ‘’Iya, saya Lila, alumni Sastra Inggris,” katanya tersenyum.  Penulis memperkenalkan diri juga. Lila senang dan tertawa. Secara tidak sengaja, kami berdua dipertemukan di Stan Gaza.  Masing-masing kami  hanya berhubungan via komentar di WA group UELA.

Penulis tidak menduga Lila adalah sarjana Sastra Inggris. Saat itu, dia mengenakan kaos dan bersandal jepit seperti pedagang kaki lima umumnya di situ. Kaos dan celananya tidak branded. Penampilannya juga tidak klemis atau trendy. Tidak berjas dan berdasi. Tidak memakai parfum.

Tapi banyak orang belum tahu potensinya yang luar biasa. Bahkan, Pemerintah Kota Surabaya dan Provinsi Jawa Timur jarang memanfaatkannya atau tidak tahu siapa dia. Justru orang luar Surabaya dan luar pulau tahu dan menggunakan jasanya. Dia pernah diundang antara lain di Black Box Cafe, Genteng, Banyuwangi, Cafe and Resto K62, Ternate (2014), dan Provinsi Kalimantan Barat untuk urusan perintisan bisnis cafe dan resto.

Lila ketika briefing mahasiswa kuliner di Pontianak/foto: istimewa

Khususnya di Kalimantan Barat, yakni pada 2015,  dia merintis dan mengajari membuat menu pendirian Cafe Red Zone, Pontianak milik Angelina, putri, Drs. Cornelis, MH, Gubernur Kalimantan Barat dua periode (2008 -2018).

Apa hubungannya orang warkop-an Stan Gaza dengan kuliner internasional? Ini rahasianya. Lila ternyata adalah mantan Food and Baverage (FnB) Manager Novotel Hotel, jaringan Accor Hotel,  dan ketika level Captain, dia pernah bertugas selama tiga tahun di Novotel Hotel, Ras Al Khor, Dubai (UEA). ”Di Dubai, tahun 2001 sampai 2003, saya level Captain,” katanya merendah.

Dia berpakaian ala kadarnya, karena dia menginginkan seperti itu. “Saya tidak mau branding diri. Toh nantinya orang akan tahu. Saya juga tidak mau membuat jarak antara dia dan rekan-rekan sesama pedagang kaki lima. Dan, sebagian besar rekan-rekan saya alumni Dubai, menduduki GM di hotel-hotel berbintang. Nama saya di kalangan alumi accor Dubai,  Lila Dubai,” ujarnya.

Ketika di Dubai, selain pengalaman perhotelan yang semakin matang, segala kesenangan dunia sudah dia dapatkan.

“Saya suka kongkow di cafe-cafe Dubai dengan teman-teman Jakarta. Banyak biayanya juga. Tidak seperti rekan-rekan asal Bali. Mereka hemat, karena sebagian gajinya dikirim ke Indonesia untuk membeli tanah. Saya tidak hemat saat itu,” ujarnya.

Berapa gajinya saat Dubai? “Gaji saya Rp 15 juta per bulan atau 3.659 dirham (kurs 1 dirham=Rp. 4.100). Itu untuk level captain. Bila level waiter, Rp. 9 juta per bulan. Gaji saya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan orang lokal Dubai sendiri. Tidak kerja, orang lokal disubsidi oleh pemerintah, 10.000 dirham. Anda kalikan sendiri,” jelasnya.

Lila mengajari ibu-ibu pengajian sukses menjadi entreprenuer kuliner/foto: istimewa

Banyak pengalaman yang didapatkannya di Dubai. “Suasana Dubai seperti kota-kota besar lainnya di dunia.  Ada tempat-tempat hiburan juga. Surban yang biasanya dipakai oleh pria Dubai ternyata pakaian adat. Bila di Indonesia, seperti pakaian batik. Namanya pakaian adat, tidak mengindikasikan si pemakainya seorang ulama . Ya pakaian adat. Kehidupan di Dubai ya seperti itu gemerlap,” ujarnya.

Sepulang dari Dubai, Lila naik pangkat sebagai FnB Manager Novotel Hotel di Surabaya yakni mulai tahun 2016 sampai 2019. Lila lantas ingin berkarir di Yogyakarta. ”GM Mercure Yogyakarta asal Perancis juga teman saya ketika di Dubai, menawarinya masuk.  Saya menolaknya karena gajinya cuma Rp 5 juta.  Saya memilih tetap di Surabaya. Buka warung, jadi guru produktif  FB, front office, dan kaprog perhotelan di SMK Pembangunan, Balongsari, dan bina pedagang kaki lima,” katanya.

Dari mana Lila memperoleh pendidikan hotel? ”Selepas SMA, saya kemudian  masuk Diploma 1, Surabaya Hotel Training Center di Bubutan mulai 1996.  Saya memperoleh pendidikan hotel itu sebenarnya hanya empat bulan saja. Itu karena saya keluar setelah diterima di Mercure Hotel, Surabaya.  Pada 2001, saya ditugaskan ke Novotel Dubai,” ujarnya.

Pada 2010-2019, Lila pernah sebagai dosen atau coach tamu di Tristar Culinary, Jemursari, Surabaya. ”Selama di Tristar, saya juga sempat keluar pulau mengajari para klien untuk mendirikan bisnis cafe dan resto. Pokoknya pengalaman di bidang resto, cafe, dan perhotelan banyak,” ujarnya.

Lila ketika di Jumeirah Beach, Dubai, EUA/foto: istimewa

Meski malang melintang di cafe dan perhotelan, Lila juga tidak melupakan pendidikan. Pada 2013, dia masuk Fakultas Sastra Inggris Unitomo Surabaya dan bisa menyelesaikan sampai sarjana. “Masuk Sastra Inggris ini sebenarnya terpaksa. Karena saya aslinya masuk FS Jepang Unitomo. Karena ada sesuatu kendala, saya akhirnya transfer ke FS Inggris. Dan, mengasyikan ternyata,” ujarnya.

Saat ini kegiatannya apa? ”Selain ada warkop di Stan Gaza, saya juga bisnis catering. Saya melayani catering sekolah SD-SMP Islam Terpadu di Pakal. Melayani makan satri mulai makan pagi, siang, dan malam di Ponpes Al Qur’an  Permata juga di Pakal. Yang terpenting membina pedagang kaki lima se-Surabaya. Saya aktif sebagai pengurus Spekal (Serikat Pedagang Kali Lima) Surabaya yang beranggotakan 60 pedagang. Saya di bidang Kominfo,” katanya.

Lila juga kerap diundang sebagai pembicara soal kuliner dan entrepeneur kuliner ibu-ibu PKK atau pengajian di kampung-kampung. ”Saya berbagi ilmu yang saya punya. Bukankah berbagi ilmu juga amal jariyah,” ujarnya.

Dia juga aktif di partai politik,  PKS. ”Di PKS, saya sebagai Ketua Bidang Kaderisasi Kecamatan Semampir,” jelasnya.

Pada 2019, Lila sempat memiliki resto sendiri, yakni Kedai Lila yang menempati ruko empat lantai di Ngagel No.77 J, Surabaya. Namun, bisnisnya tidak berjalan mulus. ”Pada 2020, saya tutup bisnis itu. Sewa ruko dilanjutkan teman yang bisnis Pempek,” katanya.

Dengan pengalamannya sebagai master kuliner, apa yang membahagiakan dirinya? ”Saya bisa mengajari mahasiswa-mahasiswa perantauan masak-masakan yang layak jual di resto. Nantinya pengalaman itu, bisa digunakannya membuka usaha kuliner di kampung halaman di luar Jawa. Saya sudah mengerjakan itu semua.  Saya terbuka bila ada mahasiswa perantauan yang belajar kuliner. Saya bisa ditemui di Stan Gaza,” ujar Lila–yang mengakhiri sesi wawancara ketika Suara Adzan Ashar bergema di Masjid Unitomo dan bergegas sholat. (#)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.