KMS untuk Pemilu Demokratis Sebut Terjadi Kecurangan Pemilu yang Masif dan Sistematis

oleh -241 Dilihat
oleh
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani

JAKARTA, PETISI.CO – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) untuk Pemilu Demokratis menyebut aksi ribuan perangkat dan kepala desa yang menggelar acara deklarasi dukungan kepada Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, pada Minggu (19/11/2023) di Jakarta menjadi bukti bahwa telah terjadi kecurangan pemilu yang masif dan sistematis.

Perwakilan Koalisi sekaligus Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani menyampaikan, merujuk pernyataan MC pada acara tersebut yang menyatakan dukungan terhadap pasangan capres-cawapres no 2 menegaskan bahwa ada pengerahan dan sikap netral dari aparatur negara di level desa.

“Jadi ini sebuah bentuk nyata ya, kecurangan pemilu yang masif, yang sistematis. Jadi sudah sepatutnya Bawaslu tidak boleh tinggal diam, Bawaslu harus turun tangan dan menindak dengan tegas.  Ini bukan cuma persoalan administrasi saja, ini persoalan paling fundamental betul,” kata Julius dalam siaran persnya, Kamis (23/11/2023).

Menurutnya, intervensi kekuasaan terhadap pemilu kali ini tidak hanya soal pengerahan aparatur negara untuk memasang baliho saja. Namun juga sudah mengarah kepada kriminalisasi terhadap pendukung paslon tertentu.

Ancaman itu juga termasuk apabila ada pemeriksaan dengan pasal-pasal karet terhadap orang-orang yang kritis, terhadap pendukung atau tim dari paslon-paslon lain yang bukan merupakan tim dari si penguasa ini.

“Nah itu yang kami sebut juga dengan salah satunya adalah kriminalisasi. Itu sudah kami tengarai sejak awal, jadi tahapannya sudah mulai dari membantu hal-hal teknis, lalu pengerahan untuk ‘sosialisasi dan kampanye, dan yang terakhir adalah pengerahan aparat,” ucapnya.

Seharusnya, perangkat pemerintahan desa tidak terlibat dan menjauhkan diri dari politik dukungan terhadap kandidat presiden. Ketidaknetralan aparat dalam Pemilu disebutnya tak boleh terus dibiarkan.

Apalagi, Undang-undang Pemilu dan Undang Pemerintahan Desa secara jelas dan tegas melarang perangkat desa untuk dilibatkan atau terlibat dalam kegiatan kampanye pemilu.

Keterlibatan aparatur desa tidak hanya berpotensi melanggar UU, tapi juga membuat perangkat desa tidak fokus dengan fungsi dan tugasnya dan yang jauh lebih berbahaya adalah berpotensi mendorong polarisasi politik yang mengancam kohesi sosial masyarakat desa.

“Karena itu, di tengah kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di berbagai desa, sebaiknya perangkat desa di seluruh Indonesia fokus pada fungsi dan tugasnya yang dimandatkan oleh UU,” jelasnya.

Pihaknya mendesak untuk mencegah potensi pelanggaran dan kecurangan dalam Pemilu. Ini sangat penting bagi Bawaslu di semua tingkatan untuk menjalankan fungsinya secara efektif dalam mengawasi dan mencegah potensi penggunaan sumber daya dan aparatur negara di semua level untuk kepentingan politik praktis.

Termasuk dalam hal ini adalah merespon dan menindaklanjuti kekhawatiran masyarakat akan adanya indikasi dan potensi deklarasi dukungan perangkat desa terhadap Prabowo-Gibran yang dapat mengarah pada pelanggaran dan kecurangan pemilu yang akan datang.

Pihaknya, juga mendesak agar aparat penegak hukum tidak menggunakan “politik mengancam” kepada kepala desa untuk dimobilisasi pemenangan salah satu kandidat capres dan cawapres. Politik ancam mengancam kepada kepala desa dengan tuduhan terlibat korupsi misalnya, menjadi hal yang tidak baik dalam penyelenggaran pemilu yang Jurdil.

Para kepala desa harus berani untuk melaporkan jika terdapat politik mengancam kepada mereka untuk memenangkan salah satu kandidat. Praktik politik mengancam kepada kepala desa diduga kuat pernah terjadi dalam pemilihan kepala daerah.

“Dengan kondisi ini pun Bawaslu diberikan kewenangan oleh undang-undang tanpa perlu ada pelaporan dari masyarakat dia bisa melakukan pemeriksaan. Dia bisa melakukan penindakan, jadi tidak perlu menunggu masyarakat untuk datang dan melapor,” paparnya. (bm)