Kritik Otentik bagi Rezim Jokowi

oleh -64 Dilihat
oleh

Untuk kehidupan demokrasi yang sehat, kita butuh kritik otentik. Seperti selalu, ada bagian bagian yang manis, ada bagian yang pahit. Jokowi juga begitu.

Pemerintahan Jokowi punya sekian prestasi. Pembangunan infrastruktur sangat massif. Semua orang merasakannya. Semua orang menikmatinya. Ekonomi tumbuh di tengah goncangan geopolitik global.

Perang Rusia-Ukraina belum reda. Harga pangan dan energi membubung tinggi. Dunia diambang resesi. Tetapi, Indonesia punya modal untuk optimis: pandemi terkendali, PPKM dicabut, kegiatan tidak lagi dibatasi.

Jokowi, harus diakui, mengangkat marwah Indonesia di fora dunia. Indonesia sukses menggelar G-20 di Bali.

Jokowi punya prestasi lain. Dia berusaha merombak tata kelola sumber daya alam dan memutus kutukan kolonial.

Puluhan tahun Indonesia menjadi eksportir komoditas mentah, entah itu perkebunan, seperti kopi dan sawit, atau pertambangan. Indonesia sejak lama terhubung dengan pasar dunia, sebagai pemasok bahan mentah. Bahan mentah itu dijual dan diolah negara lain. Nilai tambahnya parkir di luar. Ini yang disebut kapitalisme periferal.

Di pertambangan, Indonesia jualan ‘tanah air.’ Mineral digali dari perut bumi. Galian mentah itu disebut bijih atau ore atau konsentrat. Dalam bentuk mentah, berujud kerukan tanah dan air, galian itu diekspor. Yang kaya negara lain.

Biji bauksit kita ekspor. Produk olahannya jadi alumunium. Alumuniumnya kita impor. Biji timah kita ekspor. Diolah jadi aneka ragam produk, antara lain suku cadang otomotif. Suku cadangnya kita impor. Biji nikel kita ekspor. Diolah jadi baja tahan karat (stainless steel). Lalu kita impor. Nikel bisa diolah jadi baterai, termasuk baterai kendaraan listrik (Electric Vehicle/ EV).

Larangan ekspor bijih mineral adalah mandat UU Minerba No. 4 Tahun 2009. Lalu diturunkan dalam Permen ESDM No. 1 Tahun 2014. Tetapi tidak jalan. Kenapa ? Pelaku usaha tambang, pemegang Kontrak Karya, menolak. Pemerintah tidak berdaya. Jokowi lalu bertindak tegas. Per 1 Januari 2020, tidak ada lagi ekspor bijih nikel.

Dunia meradang, Uni Eropa menggugat. Indonesia kalah di sidang arbitrase WTO. Pemerintah tidak ciut dan menyatakan banding. Jokowi bahkan lebih berani lagi. Mulai Juni 2023, Indonesia akan melarang ekspor bijih bauksit. Jokowi tegar dengan agenda hilirisasi.

Hilirisasi adalah gunting paling tajam untuk memutus rantai kutukan kapitalisme periferal. Di titik ini kita harus membersamai Jokowi, membela dan mendukungnya.

Secara objektif, kita mengakui ada bagian dari periode jabatannya yang harus ditulis dengan tinta emas. Tentu tidak semuanya.

Program hilirasasi tambang ‘terserempet’ dengan derasnya TKA China. Kasus bentrok berdarah di Morowali tempo hari adalah api dalam sekam. Investor China di kantong nikel Sulawesi membawa serta orang-orangnya. Gajinya lebih tinggi dari tenaga kerja lokal, padahal skill-nya biasa-biasa saja.

Ini potensi letupan, yang bisa berulang kapan saja.
Isu lain soal penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan adalah asap yang tidak mungkin berhembus tanpa api.

Jokowi sudah tegas menyatakan taat konstitusi. Tidak ada jabatan presiden tiga periode. Suksesi kekuasaan harus jalan sesuai tahapan pemilu. Tetapi, semua orang tahu. Gerakan itu, entah berasal dari mana, belum sekarat. Masih ada gelagat cek-cek ombak.

Noktah lain adalah terbitnya Perppu Cipta Kerja. MK sebelumnya telah membatalkan UU No.11Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Beleid ini cacat formal karena pembentukannya sim salabim. Pemerintah tidak kehilangan akal. Lalu terbitlah Perppu. Orang bertanya di mana aspek kegentingannya. Toh, tanpa Perppu itu, investasi masih jalan.

Kata ekonom Faisal Basri, investasi Indonesia not so bad, bahkan lebih bagus daripada Vietnam. Pemerintah terkesan memaksakan kegentingan, padahal tidak ada kegentingan yang memaksa. Ini bentuk praktek kenegaraan yang buruk. Istilah Prof Jimly, ini pernyataan kekuasaan yang angkuh.

Lalu, karena bagian yang pahit ini, apa Jokowi layak disebut Fir’aun ? Dari sudut apa pun, pernyataan itu keterlaluan. Bukan hanya terlalu, tapi ngawur sekali. Sejelek-jeleknya Jokowi, kalau oposisi menganggap seperti itu, Jokowi tidak mengaku Tuhan. Dia muslim. Sementara Fir’aun kafir, kafirnya kuadrat berpangkat.

Dalam teologi Ahlussunnah, menyamakan muslim dengan kafir itu dosa parah.

Ekonomi era Jokowi, katanya, dikuasai taipan China, sembilan atau sepuluh naga. Ini seperti orang bangun kesiangan. Taipan-taipan China sudah bercokol di Indonesia sejak dulu kala. Siapa pun presidennya, sejak Sukarno sampai Jokowi, mereka adalah pemeran utama.

Richard Robison, dalam The Rise of Capital, menyebut modal keturunan Tionghoa—di era Orde Baru—mendominasi sekitar 70-75% dari total investasi kapital domestik. Di era reformasi, peran mereka kokoh setegar karang, tidak berkurang. Tidak mungkin China dimusuhi. Pernah dicoba tetapi gagal.

Program Banteng, Peristiwa Malari 1974, dan kerusuhan rasial 1998 adalah tindakan antagonis terhadap China. Apa yang terjadi? Pelarian modal (capital flight), lalu ekonomi Indonesia limbung. Keturunan Tionghoa punya kecakapan bisnis. Itu fakta. Siapa pun pemegang kekuasaan politik akan berhubungan dengan mereka untuk menggerakkan mesin ekonomi. Bukan hanya Jokowi!

Bangsa besar tidak akan menyulut sentimen anti-asing. Xenofobia adalah lambang mental kerdil dan tidak siap bersaing. Kita terpacu dan maju karena persaingan.

Nasionalisme harus disertai administrasi yang baik, meritokrasi, dan tata kelola yang handal. Tanpa itu, nasionalisme merosot jadi Chauvinisme.

Investasi asing penting sebagai penggerak pertumbuhan. Islam mengajarkan keterbukaan sikap dan berpikir. “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China,” kata Nabi. Kita bisa belajar banyak dari China, kecakapan bisnis dan keuletannya.

Sekali lagi, bagian terbaik dari kinerja Jokowi harus diapresiasi. Noktah hitamnya kita kritisi. Kritik yang otentik bukan lahir dari sentimen, tapi komitmen.

Kenapa saya sebut Faisal Basri dan Prof Jimly? Karena saya melihat objektivitas dari kritik keduanya. Itu bentuk kritik yang otentik, yang lahir dari nalar ilmiah dan integritas moral.

Sementara suara-suara pendengung, baik pemuja maupun pembenci ekstrem, sering kali hanya noise untuk menghasilkan invoice. Maklumi saja, tapi jangan dipercaya. (#)