Menuju Pertarungan Tahta Jawa Timur 2018

oleh -51 Dilihat
oleh

Oleh: Afan Ari Kartika*

Di tengah arus pembangunan demokrasi di Indonesia, salah satunya adalah momentum pemilihan Kepala Daerah, masyarakat seakan masih terjebak terhadap persoalan suku, agama, dan golongan dalam kepemimpinan. Hal demikian tidak menutup kemungkinan juga bisa terjadi di Jawa Timur menjelang Pilkada 2018 mendatang.

Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa para calon-calon kepala daerah melakukan berbagai strategi untuk menarik simpati masyarakat. Ada yang melakukan pendekatan lewat jalur keagamaan untuk merasionalisasikan ini (terlepas pro dan kontra), ada juga yang melakukan pendekatan ilmiah dan politis untuk dapat diterima masyarakat luas.

Namun, terlepas dari itu semua, siapapun yang nantinya akan memimpin Jawa Timur di tahun 2018, harus mampu memberikan ruang yang besar dan baik bagi pembangunan demokrasi dan komitmen penegakan hukum di Jawa Timur.

Kita sebagai bagian dari masyarakat Jawa Timur berharap agar partai politik tidak asal dalam merekomendasi kadernya untuk maju dalam bursa kandidat kepala daerah, karena dominasi peran partai ini akan membuka peluang kemungkinan terjadinya ”politik dagang sapi” di satu sisi dan suburnya money politics di sisi lain seperti yang terjadi selama ini.

Jika hal ini terjadi maka bukan saja mencederai demokrasi, melainkan juga merupakan kemunduran bagi proses demokratisasi. Karena secara esensial sistem baru ini tidak ada bedanya dengan sistem politik di masa lalu, ibarat pameo ”lagu lama kaset baru”.

Sosok pemimpin Jawa Timur ke depan haruslah sosok yang otentik (jujur, mau mendengarkan suara rakyat, apa adanya) dan tentunya harus visioner. Sosok yang demikian inilah yang dibutuhkan guna menyelamatkan Jawa Timur dari keterpecahbelahan dan mampu menjadi perekat bagi seluruh elemen masyarakat Jawa Timur.

Namun demikian, realita yang ditampilkan selama ini membuat kita jadi bertanya-tanya, apakah agenda pesta demokrasi yang akan digelar di Jwa Timur tahun depan akan konsekuen dan substansial? Atau justru akan terjadi “pembantaian demokrasi” yang dilakukan secara beramai ramai oleh elit-elit politik?

Apalagi kalau kita berkaca pada pentas demokrasi yang telah berlangsung di daetah lain, kita semua dipertontonkan sebuah drama politik yang seakan akan mengajak kita untuk menikmati dari episode ke episode.

Lantas, bagaimana sosok ideal pemimpin Jawa Timur mendatang? Setidaknya ada 4 hal yang harus dipertimbangkan untuk memandang sosok pemimpin Jawa Timur ke depan.

Pertama, sosok pemimpin Jawa Timur kedepan haruslah sosok yang lahir secara “historis”, bukan secara “mitologis”. Artinya pemimpin Jatim kedepan harus mampu memahami perasaan rakyat, tidak otoriter, tidak anti kritik, serta senantiasa memiliki komitmen penegakan hukum dan menjunjung tinggi nilai demokrasi.

Kedua, pemimpin Jatim kedepan haruslah memiliki integritas moral dan tentu saja legitimasi rakyat. Integritas moral disini memiliki kaitan dengan aspek religiusitas, sebab atas dasar ini seorang pemimpin meletakkan dasar kewibawaannya di mata Tuhan dan juga rakyat.

Ketiga, pemimpin Jatim kedepan haruslah memiliki visi yang jelas/visioner, dalam konteks mampu menjawab tantangan kedepan. Harus mampu menjadi problem solver bagi setiap masalah yang muncul. Tanpa adanya visi yang jelas, mustahil akan mencapai tujuan yang diharapkan. Dan ini justru akan berakibat fatal.

Keempat, pemimpin Jatim kedepan harus mampu menunjukkan gaya kepemimpinan demokratis-egalitarian. Artinya pemimpin kedepan harus mampu memanajemen konflik. Ia bukan lah sumber dari konflik, namun penengah dalam sebuah konflik.

Empat hal tersebut setidaknya harus dimiliki oleh pemegang tahta Jatim ke depan. Lantas, dari nama-nama kandidat pemimpin Jatim ke depan yang sudah santer dan beredar selama ini, siapakah sosok yang paling tepat memimpin Jawa Timur?

Jawabannya tentu saja ditentukan oleh masyarakat Jawa Timur.

Namun demikian, siapapun yang akan menjadi pemegang tahta Jatim berikutnya, ia harus mementingkan persoalan masyarakat luas, bukan kepentingan kelompok (politis). Dengan kata lain, ketika sudah terpilih sebagai pemimpin, maka harus memunculkan karakter negarawan, bukan politikus.(#)

 *penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia  (DPP PERMAHI)