Pakar Jelaskan Penyebab KDRT, Mulai Trauma Pelaku di Masa Kecil Hingga Ekonomi

oleh -213 Dilihat
oleh
Ilustrasi

SURABAYA, PETISI.CO – Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kini telah banyak menjadi perbincangan di media maupun sosial media, seiring dengan jumlah kasusnya yang disebut tinggi, termasuk di Jatim. Seperti yang yang sedang ramai diperbincangkan ialah kasus artis Venna Melinda menjadi KDRT oleh suaminya Ferry Irawan.

Menurut Praktisi Psikolog Klinis dan Forensik Surabaya, Riza Wahyuni SPsi MSi, ada beberapa macam dari penyebab KDRT, yang mana bukan hanya melakukan kekerasan.

KDRT pertama bisa dilakukan oleh pasangan. Bisa KDRT suami ke istri atau sebaliknya, orang tua terhadap anak, atau majikan terhadap asisten rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah. Baik kekerasan sifatnya fisik, dipukul, ditendang, dijambak atau lainnya yang berkaitan dengan fisik.

Kedua, kekerasan psikologi, serperti merendahkan, menghina sampai diskriminasi. Ketiga, kekerasan seksual yang berkaitan dengan pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga, pemaksaan pemakaian alat kontrasepsi.

“Kami menemukan juga kasus seperti ini. Atau kemudian pemaksaan streil dan sebagainya. Dan kekerasan keempat itu adalah penelantaran yang menyebabkan korban menderita, baik secara fisik, psikologi atau sosial, itu yang kita sepakati. Artinya kekerasan dalam rumah tangga itu harus komplek,” kata Riza, Kamis (12/1/2023).

Riza menjelaskan, KDRT bisa terjadi dengan banyak faktor. Ia menyebutkan beberapa pemicu KDRT, yakni masalah ekonomi, perbedaan kepribadian atau ketidakcocokan sifat pasangan, faktor kesehatan mental atau pelaku mengalami masalah yang berkaitan dengan maslah mental.

“Lalu berkaitan dengan masalah orang ketiga. Itu macam-macam, bisa saja perempuan atau laki-laki lain, atau orang tua, atau anggota keluarga lain yang ikut campur,” ujarnya.

Secara pendekatan psikologi, ditemukan karakter orang yang rentan menjadi pelaku kekerasan, salah satu penyebabnya memiliki riwayat pola asuh. Misalnya, orang yang dari kecil mengalami kekerasan yang dilakukan orang tuanya, kemudian saat menikah menjadi pelaku kekerasan.

“Hal ini berpegaruh terhadap pembentukan karakter dan kepribadiannya, sehingga perilaku kekerasan menjadi kebiasan. Kasus ini akan terdeteksi ketika sudah melakukan pendekatan kepada orang tersebut,” kata Riza.

Akan tetapi, beberapa korban yang ia tangani selalu berpikir pelaku bisa berubah seiring berjalannya waktu, dengan alasan memiliki anak atau kondisi ekonomi lebih baik, atau menganggap setelah menikah akan lebih baik.

“Kemudian, terjadi fase bulan madu, ditambah lagi KDRT itu berbasis gender apalagi si perempuan merasa suami marah karena tidak melayani dengan baik,” tambahnya.

Fase bulan madu sendiri seperti orang jatuh cinta. Setelah kembali dengan pasangan, maka bisa terjadi lagi kekerasan. Bahkan, yang mulanya bentakan, kemungkinan berikutnya mulai bermain fisik.

“Biasanya semakin lama akan semakin parah, itu yang tidak disadari oleh korban sehingga mereka cenderung memilih untuk diam,” katanya.

Korban memilih diam pun ada berbagai alasan. Yaitu karena masih mempunyai harapan agar pasangannya berubah, arena stigma masyarakat yang masih belum berpihak pada perempuan, seolah-olah perempuan menjadi korban KDRT diwajar karena berani melawan suami atau tidak bisa melayani suami.

“Di masyarakat yang banyak disalahkan perempuan. Sehingga perempuan ga berani mengadu. Kemudian dianggap privasi, masalah keluarga kok disebar aibnya, gitu. Itu yang membuat perempuan atau IRT atau anak-anak yang mengalami kekerasan tidak berani speak up,” pungkas Riza. (dvd)

No More Posts Available.

No more pages to load.