PEMAKZULAN merupakan proses hukum yang mengarah pada pemberhentian seorang pejabat negara dari jabatannya karena dinilai telah melanggar hukum atau tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Isu pemakzulan sering kali memicu perdebatan besar, terutama jika menyangkut pejabat dengan kedudukan tinggi, seperti Wakil Presiden.
Salah satu isu terkini yang menjadi perhatian publik adalah pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari jabatannya sebagai Wakil Presiden Indonesia. Isu ini menarik perhatian karena melibatkan tokoh muda yang dekat dengan kekuasaan tertinggi di Indonesia, yakni Presiden Joko Widodo, serta menyentuh aspek hukum dan politik yang sensitif.
Dalam artikel ini, kami akan membahas isu pemakzulan Gibran dari dua perspektif: pertama, melalui lensa hukum Indonesia, yang mencakup aturan-aturan dasar dalam konstitusi dan tata negara, serta kedua, melalui perspektif hukum Islam, yang menyoroti prinsip-prinsip kepemimpinan, keadilan, dan akuntabilitas. Dengan dua perspektif ini, diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai dinamika yang terjadi dan apakah pemakzulan tersebut sesuai dengan nilai-nilai hukum yang berlaku baik di Indonesia maupun dalam ajaran Islam.
Latar Belakang Pemakzulan Gibran
Gibran Rakabuming Raka, anak dari Presiden Joko Widodo, diangkat sebagai Wakil Presiden Indonesia dalam sebuah periode pemerintahan yang penuh dinamika. Namun, kedudukannya sebagai Wakil Presiden yang dianggap mewakili keluarga presiden memunculkan kontroversi politik dan perdebatan mengenai kinerjanya.
Dalam beberapa waktu terakhir, Gibran menghadapi isu pemakzulan yang memunculkan spekulasi tentang kemungkinan dirinya diberhentikan dari jabatan tersebut. Isu ini bukan hanya menjadi bahan pembicaraan di kalangan politisi, namun juga menjadi perhatian luas di masyarakat, karena melibatkan tokoh muda yang memiliki pengaruh politik signifikan.
Pemakzulan Gibran menimbulkan pertanyaan besar: apakah langkah ini didorong oleh alasan hukum yang sah atau hanya oleh pertarungan politik di belakang layar? Menurut Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara, pemakzulan harus didasarkan pada alasan hukum yang jelas dan tidak boleh terpengaruh oleh kepentingan politik yang sempit (Asshiddiqie, 2020). Jimly mengingatkan bahwa pemakzulan harus dilakukan melalui mekanisme yang transparan dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Perspektif Hukum dalam Pemakzulan Gibran
Dari sudut pandang hukum Indonesia, pemakzulan seorang pejabat negara seperti Wakil Presiden harus mengikuti prosedur yang sah dan sesuai dengan UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya. Berdasarkan Pasal 7 UUD 1945, seorang Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam dua kondisi utama, yaitu jika terbukti melanggar hukum atau jika tidak lagi mampu menjalankan tugasnya secara efektif.
Namun, dalam praktiknya, pemakzulan seringkali terpengaruh oleh situasi politik yang berkembang. Dalam konteks pemakzulan Gibran, isu ini sering kali dipandang lebih sebagai langkah politik daripada langkah hukum murni. Dr. Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara, menyatakan bahwa pemakzulan sering kali dipengaruhi oleh pertarungan politik antara aktor-aktor kekuasaan, dan bukan semata-mata karena alasan hukum (Susanti, 2021).
Menurut Prof. Dr. H. Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan pakar hukum, pemakzulan harus melalui proses yang sah dan adil. Mahfud menekankan bahwa hukum harus tetap berdiri di atas kepentingan politik, dan bahwa keputusan hukum yang diambil dalam konteks pemakzulan harus sepenuhnya mengedepankan asas keadilan dan transparansi.
Dinamika Politik di Balik Pemakzulan Gibran
Politik Indonesia selalu diwarnai oleh pertempuran kekuasaan antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda. Dalam hal ini, pemakzulan Gibran dapat dilihat sebagai upaya untuk mengurangi pengaruh keluarga Presiden dalam pemerintahan. Sebagai putra Presiden Joko Widodo, Gibran sering dianggap sebagai representasi dari kekuatan politik keluarga Presiden. Dengan demikian, pemakzulan Gibran bisa menjadi langkah strategis dari kelompok politik yang ingin mengurangi kekuasaan atau pengaruh keluarga Presiden dalam jalannya pemerintahan.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa pemakzulan Gibran lebih berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap kinerjanya sebagai Wakil Presiden, yang dianggap tidak banyak memberikan kontribusi signifikan terhadap kebijakan pemerintahan. Dr. Bivitri Susanti dalam artikelnya mengingatkan bahwa dalam sistem politik multipartai seperti Indonesia, keputusan untuk memakzulkan seorang pejabat tinggi negara seringkali lebih kompleks dan melibatkan pertimbangan politik yang tajam.
Perspektif Hukum Islam dalam Pemakzulan Gibran
Dalam hukum Islam, kepemimpinan adalah amanah yang diberikan oleh umat, dan pemimpin harus bertanggung jawab untuk menjalankan tugasnya dengan adil, bijaksana, dan penuh integritas. Islam menekankan prinsip keadilan (al-‘Adl), akuntabilitas, dan integritas dalam setiap keputusan yang diambil oleh seorang pemimpin. Surah An-Nisa (4:58) mengingatkan bahwa pemimpin harus menjalankan tugas dengan penuh amanah dan keadilan.
- Amanah dalam Kepemimpinan
Seorang pemimpin dalam Islam diibaratkan sebagai penjaga amanah yang diberikan oleh umat. Jika pemimpin seperti Gibran tidak dapat menjalankan amanah dengan baik atau terbukti menyalahgunakan kekuasaan, maka ia harus mempertanggungjawabkan tindakan tersebut. Surah Al-Ahzab (33:72) menyatakan bahwa amanah adalah beban yang berat yang tidak bisa dipikul oleh sembarang orang, kecuali mereka yang mampu menjalankan dengan adil.
- Prinsip Keadilan dalam Islam
Prinsip keadilan menjadi salah satu landasan utama dalam setiap keputusan pemimpin dalam Islam. Pemakzulan Gibran, jika dilakukan, harus mempertimbangkan apakah tindakan tersebut berlandaskan pada keadilan atau semata-mata untuk kepentingan politik. Surah Al-Ma’idah (5:8) mengajarkan umat Islam untuk berlaku adil meskipun terhadap diri sendiri atau keluarga.
Dalam konteks pemakzulan ini, hukum Islam menuntut agar setiap keputusan diambil dengan mengedepankan prinsip keadilan yang tidak didasarkan pada prasangka atau kepentingan pribadi. Proses pemakzulan Gibran, jika terjadi, harus dilakukan dengan transparansi dan bukti yang sah.
- Akuntabilitas dalam Kepemimpinan
Seorang pemimpin dalam Islam harus siap untuk dimintai pertanggungjawaban atas setiap keputusan yang diambil. Surah Al-Imran (3:164) menyebutkan bahwa pemimpin yang baik adalah yang mampu memberikan teladan bagi umatnya. Jika Gibran gagal menjalankan tugasnya dengan baik, ia harus siap untuk menerima konsekuensi atas tindakannya.
Pemakzulan dalam konteks hukum Islam bukanlah langkah yang ringan, dan harus dipertimbangkan dengan seksama berdasarkan bukti yang jelas dan proses yang sah.
Kesimpulan
Pemakzulan Gibran sebagai Wakil Presiden Indonesia menimbulkan pertanyaan penting, baik dari sisi hukum Indonesia maupun hukum Islam. Di satu sisi, hukum Indonesia mengatur bahwa pemakzulan harus dilakukan berdasarkan prosedur yang sah dan alasan hukum yang jelas, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik. Di sisi lain, dalam hukum Islam, pemimpin dianggap sebagai penjaga amanah yang harus menjalankan tugasnya dengan adil dan bertanggung jawab. Jika Gibran terbukti gagal dalam menjalankan amanahnya, maka menurut hukum Islam, pemakzulan bisa dianggap sah.
Namun, penting untuk memastikan bahwa proses pemakzulan ini tidak hanya dipengaruhi oleh agenda politik semata, tetapi juga mengikuti prinsip-prinsip hukum yang berlaku, baik dalam hukum Indonesia maupun ajaran Islam. Proses ini harus dilakukan dengan transparansi, keadilan, dan akuntabilitas, agar keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat dan negara. (*)
*penulis adalah: R. Arif Mulyohadi, Dosen Prodi Hukum Pidana Islam, Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan dan Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) Orwil Jatim