Pengesahan UU Ciptaker Bikin Rakyat Makin Celaka?

oleh -204 Dilihat
oleh
Oleh: Muhamad Abrar Ghifari*

Belum selesai masalah pandemi, muncul sebuah masalah baru yang jauh lebih berbahaya dari Virus Corona. Jika sebelumnya kita berjuang melawan musuh yang tak kasat mata, kali ini kita berhadapan dengan musuh yang tampak di depan mata, musuh yang seharusnya menjadi sosok pembela rakyat.

Hari Senin, 5 Oktober 2020 akan menjadi hari yang bersejarah, hari dimana DPR dan pemerintah kompak mengkhianati 268 juta warganya. Setelah sebelumnya sempat ditunda, Rancangan Undang Undang Cipta Kerja akhirnya resmi disahkan.

Disahkannya RUU Ciptaker ini tentu menimbulkan kemarahan dari berbagai kalangan, mulai dari buruh, akademisi hingga mahasiswa.

Sebagai bentuk protes atas disahkannya Undang Undang Cipta Kerja (Ciptaker) ini, buruh dan mahasiswa melakukan demonstrasi di berbagai penjuru daerah, puncaknya ketika tanggal 8 Oktober lalu, kerusuhan tidak dapat dihindari dan banyak fasilitas publik yang mengalami kerusakan.

Sikap DPR dan pemerintah yang terkesan terburu-buru dalam mengesahkan Undang Undang ini menimbulkan sebuah tanda tanya besar, mengingat pengesahan ini dilakukan di tengah pandemi.

Pemerintah seharusnya tahu, apabila RUU Ciptaker ini disahkan, akan terjadi gelombang demonstrasi. Dikhawatirkan akan muncul klaster baru penyebaran virus corona akibat adanya aksi penolakan RUU Ciptaker ini.

Penolakan oleh berbagai kalangan terhadap pengesahan RUU Ciptaker, didasari dengan berbagai alasan yang logis, mengingat ada berbagai pasal yang dianggap merugikan masyarakat khususnya kaum buruh.

Dari banyak pasal yang dinilai bermasalah, terdapat tiga diantaranya yang mengancam kehidupan para pekerja jika aturan itu diberlakukan.

Pertama adalah tidak adanya batas waktu dan jenis pekerjaan dalam sistem kontrak yang menyebabkan para pekerja dapat dikontrak seumur hidup tanpa ada kewajiban mengangkat sebagai pegawai tetap.

Kedua, status kontrak itu akan berimplikasi pada hilangnya jaminan sosial dan kesejahteraan, seperti tunjangan hari raya, pensiun dan kesehatan. Ketiga, dihapusnya upah minimum sektoral (provinsi dan kabupaten), dan adanya persyaratan dalam penerapan upah minimum kabupaten/kota, serta diwajibkannya penerapan upah minimum provinsi (UMP) yang nilainya jauh lebih rendah.

Sudah bukan rahasia kalau ada agenda terselubung di balik berbagai upaya mati-matian Pemerintah dan DPR segera mengesahkan undang-undang yang dibahas secara serampangan. Sudah terjadi di UU KPK tahun lalu yang dibahas sangat kilat. Dan hari ini kita bisa lihat gimana impotennya KPK.

Nah, seperti déjà vu, Omnibus Law ini nasibnya tidak akan jauh berbeda, karena sama-sama dibahas sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan pakar betulan, apalagi masyarakat umum yang sebenarnya paling terdampak.

Kalau nggak masalah, kenapa rapatnya harus sembunyi sembunyi? Dan buru buru disahkannya, yakin nggak ada yang bermasalah kalau model rapatnya sembunyi sembunyi gitu?

Lagian, masalah investasi di Indonesia itu bukan soal syarat perizinan di birokrasi (yang jadi alasan dibuatnya omnibus law), melainkan karena korupsi dan low quality of investmen. Artinya Omnibus Law ini sama sekali tidak menjawab persoalan.

Ibarat orang punya masalah sakit kulit, tapi disuruh minumnya obat buat demam, mau sampai kapanpun ya tidak akan selesai masalahnya. Kira kira begitulah gambaran anggota DPR yang terkenal gabut, tiba tiba jadi rajin sekali.

Kita sedang berbicara dengan DPR yang sama yang terus menerus menunda pembahasan RUU PKS dan RUU pekerja rumah tangga, yang bahkan draftnya sudah ada 16 tahun sebelumnya.

Mendadak ada pandemi yang mengalihkan perhatian kita semua, ketika sedang disibukkan dengan adanya virus corona, DPR dan Pemerintah yang melihat rakyat sedang lengah, buru-buru mengesahkan RUU Ciptaker ini.

Akan tetapi, rakyat akan tetap melawan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Dan tidak ada apapun yang bisa menghalanginya. Pengerahan Polisi untuk menakuti dan membubarkan aksi dengan dalih penyebaran corona itu upaya yang sia-sia, rakyat lebih takut hak-haknya yang akan dirampas daripada virus corona itu sendiri.

Aksi itu amanat konstitusi, salah satu pilar penting demokrasi dan ia adalah ekspresi paling konkret dari kehendak mayoritas. Jadi ya secara logika juga tidak ada alasan untuk melarang aksi yang dilakukan masyarakat, toh masyarakat juga tidak akan tinggal diam melihat Undang Undang yang melegitimasi perusakan lingkungan, menerapkan perbudakan modern dengan menurunkan kondisi kerja para pekerja, memiskinkan kelompok rentan dan mengakibatkan perampasan serta penghancuran ruang hidup rakyat.

Satu satunya langkah yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah dengan mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang). Seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 22 ayat 1 yang berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai penganti Undang Undang”.

Perppu memiliki tingkat kekuatan hukum dan materi muatan yang sama dengan Undang Undang. Pemerintah harus segera mengeluarkan Perppu, ini adalah cara terakhir agar tidak ada lagi aksi besar-besaran yang dapat menimbulkan korban jiwa, kerugian materi dan tentunya sebagai antisipasi agar tidak ada klaster baru penyebaran virus Corona.(#)

*) penulis adalah mahasiswa ilmu politik Universitas Airlangga

No More Posts Available.

No more pages to load.