Penundaan Pemilu 2024, Kejahatan Konstitusi dan Mendegradasi Makna Demokasi

oleh -186 Dilihat
oleh

Oleh: Z. Saifudin, S.H., M.H*

“Penundaan Pemilu Tahun 2024 berpotensi mempercepat sejarah terulang seperti tragedi tahun 1998. Mempercepat terungkapnya penjahat konstitusi. Akan seperti apa skenario mereka selanjutnya? Mari kita memperlambat arus pejabat yang haus akan jabatan itu…”

Historis

Dalam perjalanan bangsa telah dilaksanakan pemilu sebanyak 12 kali sejak tahun 1955 sampai 2019. Sejarah telah mencatat bahwa terdapat penundaan pemilu pasca pemilu pertama tahun 1955. Ideal waktu harus dilaksanakan pada tahun 1959. Hal itu disebabkan atas dasar dan sebab kegoncangan keadaan dalam negeri. Bahkan ancaman terhadap ideologi negara karena PKI saat itu menempati 4 besar dari hasil pemilu tahun 1955. Belum lagi ancaman dari penjajah yang masih ingin menguasai Indonesia.

Atas dasar keadaan yang makin tidak kondusif dikeluarkan Dekrit Presiden oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Konsekuensi hukum selanjutnya sampai dikeluarkan Penetapan Presiden tahun 1960. Dampak salah satu dari Dekrit Presiden adalah dengan pembubaran DPR (badan konstituante).

Lalu atas dasar tersebut Penulis mempertanyakan? Apakah kondisi sekarang relevan jika diadakan penundaan pemilu? Apakah sudah dapat dikatakan sebagai tolak ukur negara dalam keadaan bahaya? Ada ancaman apa?

Jika sedikit komparasi dengan negara lain terkait wacana penundaan pemilu, misalkan di Filipina. Pada tahun 2018 ada wacana perpanjangan jabatan Presiden yang akan masa habis pada tahun 2022. Penolakan publik keras, akhirnya gagal. Ada juga wacana perpanjangan masa jabatan Presiden di Rusia yang akan habis pada tahun 2024. Konsep referendum digunakan. Bahkan kepanitiaan telah dibentuk. Referendum akan dilaksanakan pada Juli 2022. Celah tersebut jika mendapat kesepakatan akan merubah konstitusi tentang masa jabatan Presiden. Hal tersebut diduga memberikan ruang pada Presiden Putin agar dapat menjabat sampai 2036.

Jelas keadaan di luar negeri berbeda dengan situasi di Indonesia. Lalu, apakah wacana penundaan pemilu di Indonesia akan senasib seperti di Filipina? Akibat penolakan publik akhirnya gagal?  Apakah justru terus  berlanjut dengan konsep referendum seperti di Rusia?

Pertanyaan yang tidak kalah penting buat renungan publik, apakah trust rakyat pada Presiden sekarang tinggi? Jika melihat keadaan yang sekarang? Bukankah justru dapat memicu dan membuka kotak pandoro pada sebuah pilihan, misalkan apakah jabatan Presiden masih akan berlanjut sampai tahun 2024?

Kejahatan Konstitusi

Dalam Pasal 7 UUU 1945  berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Jika kita cermati tiap redaksional dalam pasal tersebut sudah mengikat agar tidak ada lagi celah terbuka untuk melanggengkan kekuasaan. Setelah redaksional “lima tahun” ditutup dengan “hanya untuk satu kali masa jabatan”. Benang merah yang tidak kalah penting adalah redaksional “….memegang jabatan selama lima tahun….”.

Hal ini jika kita cermati dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 terkait periodesasi pemilu yaitu “….setiap lima tahun sekali”. Estafet kepemimpinan nasional harus berganti setiap 5 tahun. Ukuran sebagai konvensi ketatanegaraan yaitu setiap tanggal 20 Oktober kepemimpinan nasional berganti. Agenda sebelum itu wajib ada pemilu sebagai proses regenerasi politik nasional. Lalu jika ada pihak yang ingin menunda adanya pemilu tahun 2024? Ini salah fatal. Penundaan adalah cover belaka untuk memperpanjang jabatan Presiden. Apakah ada kejahatan dibalik itu? Jelas melanggar konstitusi. Pun sebagai kejahatan dan makar berjamaah terhadap konstitusi.

Anasir politik

Matematika koalisi? Jika menurut hitungan angka suara mayoritas Parpol dalam pemerintah ada 471 suara (minus PKS dan Demokrat sebesar 104) dari jumlah 575 suara. Ini juga masih akan tergantung jumlah 136 suara dari DPD. Apakah suara mayoritas MPR akan dapat dipegang kendali? Tidak mudah. Apalagi resistensi perlawanan publik sangat kuat. Andaikan saja wacana itu terus bergulir, bisa saja badai politik akan terjadi. Mengingat peta koalisi mayoritas ada dalam pemerintah. Apalagi dugaan keras penundaan pemilu juga muncul dari lingkaran istana. Dapat kita cermati bersama sebelum dan setelah penetapan tanggal 14 Februari 2024 suara keras juga muncul dari kalangan pemerintah.

Sebelum penetapan ada suveyor. Dikuatkan dengan adanya pembentukan Timses pemenangan agar dapat 3 periode. Bahkan deklarasi sekretariat nasionalnya ada. Relawan juga terbentuk. Tidak hanya itu, salah 1 menteri agar ada perpanjangan jabatan Presiden terang-terangan dinyatakan ke publik agar sampai tahun 2027.

Pasca penetapan juga tidak kalah cerdik manuver penundaan terus dihembuskan ke publik. Hal ini terbukti wacana perpanjangan jabatan Presiden dengan bungkus penundaan pemilu dimunculkan lagi melalui PKB, PAN, dan Golkar sudah memberikan sinyal agar ada penundaan pemilu. Ketum langsung yang menyampaikan. Pola agar penundaan sebelum dan penetapan waktu pemilu seolah berirama menjadi satu kesatuan yang tersistematis.

Jika kita cermati bersama, dugaan keras komando agar melakukan manuver pada ketum Parpol dipegang oleh salah 1 Kemenko. Ini bukan rahasia umum lagi. Istana terlihat bagian dari skenario itu. Sampai saat ini pun manuver itu masih tampak jelas ada. Bahkan ada klaim rakyat mendukung. Dianggap dalam big data ada 110 juta rakyat yang mendukung penundaan pemilu.

Realitas klaim data ini seolah sangat kontradiktif dengan hasil survey bahwa sekitar 82% rakyat tidak setuju penundaan pemilu (Litbang Kompas dari SMRC dalam Kompas TV tanggal 15 Maret 2022). Pembodohan publik ini akan sampai kapan berhenti?

Kalau Parpol yang lain? Tampaknya masih wait and see. Ada juga yang sudah memberikan penolakan secara resmi dari Parpol koalisi pemerintah. Parpol di luar pemerintah PKS dan Demokrat sudah pasti memberikan penolakan. Bahkan isu sekarang saling klaim banyak Parpol yang mendukung penundaan pemilu. Banyak suara rakyat yang mendukung. Ini adalah bisa jadi bagian propaganda dan agitasi yang terus digulirkan untuk mendapat legitimasi bahwa sangat urgent dan layak adanya penundaan pemilu demi perpanjangan jabatan Presiden.

Wacana terus digulirkan dan tidak mungkin akan mempengaruhi Parpol lain. Sampai nanti ada celah dijadikan alasan untuk amandemen ke-5 konstitusi lewat pintu adanya Pokok-Pokok Halauan Negara (PPHN). Fenomena ini juga masih menjadi bagian dari badan kajian MPR untuk terus dilakukan pembahasan.

Dampak

Dalam pandangan Penulis, jika wacana penundaan pemilu terus bergulir tidak dihentikan dan bahkan diteruskan akan berdampak pada 5 (lima) hal. Pertama, Pelanggaran konstitusi. Kedua, Runtuhnya nilai demokrasi. Ketiga, Krisis kepercayaan terhadap pemimpin. Keempat, Stabilitas nasional dapat terganggu. Kelima, Berpotensi akan terjadi tragedi seperti tahun 1998. Semuanya akan membawa dampak buruk bagi hukum, demokrasi dan kehidupan nasional. Ancaman dis integrasi bangsa pun tidak akan dapat dihindari. Kegoncangan politik secara nasional dapat terjadi. Dampak pembelahan masyarakat akan ada. Bahkan dapat mengancam persatuan bangsa. Ini pasti berbahaya.

Alternatif Solusi

Jika berbicara pada solusi tentunya solusi nyata dan konkret sudah ada. Tinggal dijalankan on the track saja. Konstitusi dan hukum sudah jelas mengaturnya. Dalam Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 jelas pijakan konstitusinya. UU Pemilu (No.7 Tahun 2017) yang tidak jadi direvisi sebagai rujukan dalam pemilu tahun 2024. Aturan teknis yang tidak kalah penting adalah penetapan tanggl 14 Februari tahun 2024 sebagai waktu adanya pemilu nasional serentak tahun 2024 telah disepakati bersama oleh pihak pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu yaitu KPU. Bahkan KPU melalui Surat Keputusan KPU No.21 Tahun 2022 tertanggal 31 Januari 2022 sudah memberikan legalitas formal sebagai pijakan KPU untuk mengeluarkan aturan lebih teknis baik berupa PKPU maupun SE. Lalu jika Parpol dalam pembahasan yang diwakili fraksi sudah setuju, kenapa masih ada wacana agar ada penundaan? Ini sangat aneh.

Lalu jika penundaan pemilu berhasil diagendakan? Tentunya para pengambil kebijakan khususnya pihak pemerintah dan DPR mengebiri kebijakan yang telah dibuat bersama. Bukankah saat sidang komisi sampai penetapan waktu adanya pemilu tahun 2024 sudah ada perwakilan Parpol? Jika sudah menyetujui, kenapa harus mengulang kebijakan lagi?

Proses penundaan pemilu dalam format ketatanegaraan tentunya tetap ada celah untuk merealisasikan. Andaikan semua pengambil kebijakan siap dengan dampak negatif yang ada jika penundaan pemilu dijalankan, ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Pertama, Amandemen konstitusi. Kedua, Dekrit atau maklumat atau Perppu. Ketiga, Referendum atau konvensi bersama.

Sejak reformasi, UUD 1945 sebagai konstitusi negara telah diamandemen sebanyak 4 kali. Substansi dan isinya sebagai bagian paling fundamental adalah adanya pembatasan jabatan Presiden dan membatasi pelanggengan kekuasaan. Jika ingin jabatan Presiden ada penambahan berarti harus amandemen konstitusi yang ke-5.  Walau dalam Pasal 37 ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD 1945 ada celah. Dianggap suara mayoritas ada pada pemerintah, dalam praktek tidak akan mudah. Apalagi ada kelompok DPD di luar DPR. Merubah redaksional klausula khususnya dalam Pasal 7 UUD 1945. Wacana amandemen konstitusi bukan hal yang baru. Banyak kepentingan yang masuk untuk merubah konstitusi. Termasuk wacana terakhir adalah dengan memanfaatkan adanya Pokok-Pokok Halauan Negara (PPHN) sebagai celah dan jalan amandemen konstitusi.

Dalam sistem presidensial, tentunya Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan (Pasal 4 UUD 1945) memiliki peranan penting untuk mengatur urusan bernegara. Khususnya jika ada dalam keadaan bahaya atau darurat. Hal ini bisa dilakukan dengan “Dekrit atau Maklumat”. Redaksional ini dalam historis ketatanegaraan pernah ada dan dilakukan (zaman Presiden Soekarno). Cuma pasca reformasi istilah itu harus ada dasar terlebih dahulu dalam bungkusan sebuah “Perppu” (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945). Tanpa adanya itu tidak bisa dilakukan.  Tidak memiliki kekuatan hukum.

Opsi lain dengan konsep “referendum” atau konvensi bersama antara pemerintah dengan rakyatnya. Hal ini pasca reformasi pernah ada saat penentuan status provinsi Timor Timur dengan pilihan ingin tetap integrasi dengan NKRI atau pisah sebagai negara sendiri. Konsep referendum ini tentunya juga harus ada pijakan. Presiden atau pemerintahan dapat mengeluarkan kebijakan sebagai dasar adanya panitia atau penyelenggara referendum. Bisa lewat PP, Perpres atau bahkan Keppres adanya sebuah kepanitiaan bersama sebagai tangan panjang pemerintah dengan rakyat untuk menentukan beberapa pilihan yang ada. Dalam konsep ini pilihannya hanya penundaan pemilu tahun 2024 atau tidak?. Jangan sampai melebar jabatan Presiden masih ingin bertahan sampai tahun 2024 atau tidak?.

Menolak penundaan pemilu tahun 2024

Fakta dan anasir politik tersebut, jika Penulis cermati tidak jauh dari hasil sintesa dalam David, Runciman. (2012). Politik Muka Dua: Topeng Kekuasaan dari Hobbes Hingga Orwell, diterjemahkan oleh Toni Setiawan dkk. Substansi “politik muka dua” identik dengan pemanfaatan celah kekuasaan belaka. Tanpa melihat realitas fakta di lapangan. Rakyat pasti jadi korban. Hal ini jelas sangat mendegrdasi makna demokrasi. Jauh konsep dan hasil dari kajian dalam Lijphart Arend. (1984). “Democracies : Patterns of Majoritarian and Consensus Goverment in Twenty-One Countries”.

Demokrasi jika dianggap sebuah pilihan dalam bernegara seperti di Indonesia idealnya sangat menjunjung tinggi konstitusi sebagai panglima dan fondasi dalam proses penyenggaraan bernegara. Presiden sebagai harapan peredam suara dan penengah atas konflik tersebut justru juga tampak main dua kaki (pernyataan Presiden tanggal 5 Maret 2022). Tidak tegas. Justru memberikan sinyal penundaan adalah sah saja. Pernyataan Presiden tidak menunjukan kapasitas sebagai strong leadership.

Walaupun ada celah dan cara dalam penundaan pemilu, bukan berarti cara tersebut akan dibiarkan berjalan mulus dan terealisasi. Setuju dan menggangukan kepala terhadap adanya penundaan adalah bentuk kejahatan konstitusi yang tersismatis. Ikut merusak negara. Menghianati amanah reformasi dan tidak menunjukan sikap etika yang baik dalam bernegara. Cara yang dianggap legal secara politik adalah hakikatnya ilegal dan mengarah  pada tindakan inkonstitusional berjamaah.

Demi tegaknya martabat konstitusi dan dalam menjaga marwah demokrasi, sudah sewajarnya penundaan pemilu harus kita tolak keras. Jika suara publik dari berbagai kalangan baik akademisi, praktisi, dan aktivis serta berbagai pihak lainnya tidak menyuarakan penolakan, bukan tidak mungkin penundaan pemilu akan benar terwujud. Jika hal ini terealisasi, maka sudah jelas penghianatan terhadap konstitusi benar adanya dilakukan oleh para penjahat konstitusi. Mari kita tolak dan lawan.(#)

*)penulis adalah Direktur Law Firm Pedang Keadilan & Partners, Penulis Buku “STRONG LEADERSHIP DALAM QUASI PRESIDENTIAL (Indonesia Negara Demokrasi Terbesar Dunia)”

No More Posts Available.

No more pages to load.