Perempuan dan Politik: Bukan Sebuah Cerita Mudah

oleh -152 Dilihat
oleh

Oleh : Thoriq Haidar Al Roychan Ghozali*

Tak terasa kembali dipertemukan di tanggal 8 Maret. Sebuah perayaan besar dimana seluruh perempuan melakukan aksi turun ke jalan untuk mengkampanyekan isu kesetaraan gender dan keadilan bagi kaum perempuan.

Sejarah pernah mencatat bahwa pada tahun 1908, tepatnya di Kota New York, sebanyak 15.000 perempuan melakukan aksi besar-besaran untuk menuntut pemotongan jam kerja, gaji yang lebih adil, bahkan sampai ke permasalahan hak politik untuk memilih seorang pemimpin. Perjuangan untuk meresmikan Hari Perempuan tak berhenti disitu, Clara Zetkin mencetuskan sebuah gagasan tentang kesetaraan perempuan dan mendeklarasikan Hari Perempuan pada saat forum konferensi perempuan karir internasional (Working Woman International Conference). Hal demikian menjadi refleksi atas perjuangan Clara Zetkin dalam mengajak para perempuan di seluruh dunia untuk bersepakat bahwa peringatan untuk perjuangan seorang perempuan adalah suatu keniscayaan.

Lantas, perjuangan perempuan di masa kini telah memasuki babak-babak baru. Sebelum membahas lebih jauh, perlu diketahui bahwa ketika membicarakan perempuan maka tidak dapat terlepas dari peran dan kedudukannya dalam kehidupan bermasyarakat, terutama terhadap dunia politik yang akhir-akhir ini selalu digaungkan sebagai tanda-tanda pesta demokrasi di tahun 2024.

Dalam konteks dunia politik, peran dan posisi kaum perempuan dalam kacamata publik adalah bagian dari hak-hak yang dimiliki oleh seluruh masyarakat. Faktanya, keadaan perpolitikan di Indonesia masih jauh dari segi setara dalam perspektif gender. Sejatinya negara telah hadir melalui hukum yang mengatur tentang jumlah persentase perempuan yang duduk di lembaga legislatif, tetapi pada kenyataannya, perempuan hanya dijadikan token administratif bahkan sebatas untuk memenangkan demokrasi.

Lebih lanjut, UU No. 7 Tahun 2017 yang menjelaskan bahwa pemilihan legislatif masing-masing partai wajib menyertakan sekurang-kurangnya 30% calon perempuan yang telah lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan sampai menjadi Daftar Calon Tetap (DCT). Solusi atas ketimpangan atau maskulinitas lembaga politik ternyata tidak hanya cukup dengan perumusan regulasi saja. Problematika lain pun hadir sebagai dampak atas implementasi yang tidak optimal.

Menurut data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistika, keterwakilan perempan pada parlemen di tahun 2019 hanya berada pada angka 21%. Kemudian, Lenny N. Rosalin (2022) selaku Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyampaikan bahwa Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) sebagai sarana penilaian peran perempuan di dunia politik, pengambilan keputusan, dan ekonomi, menunjukkan hasil yang kurang signifikan. Di antara seluruh provinsi di Indonesia, hanya 5 (lima) provinsi saja yang berada di atas angka nasional, yaitu Provinsi Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Hal demikian berarti puluhan provinsi lain memiliki angka di bawah standar angka nasional.

Untuk itu, menjadi refleksi bahwa kemajuan sarana prasarana dan jaringan informasi tidak sepenuhnya menjamin dorongan partisipasi perempuan. Sehingga, diperlukan peran yang masif dari tiap individu dan secara kolektif oleh masyarakat untuk berperan serta mendukung upaya-upaya pemberdayaan.

Terlalu jauh membicarakan keterlibatan kaum perempuan dalam dunia legislatif, tetapi terlebih dahulu yang perlu direfleksikan adalah melihat soal representasi perempuan di ruang publik. Dalam ruang kemajuan teknologi yang begitu kompleks, dibutuhkan peran dari seluruh kalangan untuk terlibat dalam mengawal isu-isu yang sedang berkembang, terutama di bidang politik. Perempuan juga memiliki andil besar dalam mengawal isu-isu politik yang berkembang dengan memberi masukan bahkan mengawal proses isu tersebut agar diusut tuntas. Sehingga, peran perempuan selayaknya dapat dimulai dari hal terkecil, yaitu berkaitan dengan partisipasi mereka dalam pembangunan.

Secara konkrit, partisipasi politik pembangunan dapat dimulai dari adanya meaningful participation hingga daerah-daerah sub urban untuk membuktikan bahwa aspirasi perempuan sangat bernilai dan tanpa syarat.

Momen yang tepat pada perayaan International Women Day tahun ini sebagai wahana untuk menyepakati dan mengkampanyekan bahwa kaum perempuan juga harus terlibat dalam politik, tak hanya politik praktis tetapi dalam juga proses politik itu sendiri. Hal demikian menjadi urgensi dikarenakan peran perempuan sangat dibutuhkan untuk mengawal serta menjadi pengawas atau pelopor dan pelapor atas kebijakan yang dirasa menindas masyarakat bawah atau kaum perempuan.

Maka di tahun politik 2024 yang sebentar lagi dilaksanakan, peringatan IWD tahun ini menjadi pertanda bahwa isu-isu kesetaraan gender dan keadilan bagi kaum perempuan harus digemahkan kembali, sebelum kontestasi politik dilaksanakan. Jangan menjadikan kaum perempuan sebagai ladang politik yang hanya diperjuangkan untuk mencari suara saja, tetapi ini perlu dikawal sampai benar-benar dirasakan oleh kaum perempuan bahwa perempuan pun bisa ikut terlibat dalam posisi di parlemen atau bahkan mengikuti proses politik sebagai pengawal demokrasi. Hidup Perempuan Yang Melawan!

*)penulis adalah Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga

No More Posts Available.

No more pages to load.