Oleh: Reno Eza Mahendra*
Pada awal tahun 2020, dunia dikejutkan oleh sebuah virus yang berasal dari Cina. Pada awalnya, virus ini hanya menjangkit beberapa orang dan gejala yang ditimbulkan pun mirip penyakit yang bernama Sars, penyakit yang telah lebih dulu menyebar pada beberapa tahun sebelumnya.
Dengan cepat, penyakit ini menjangkit sejumlah orang lain, sampai berhasil menghasilkan situasi outbreak di daerah asalnya, Wuhan. Situasi tersebut mirip dengan kondisi yang terjadi pada franchise game zombie yang berjudul Resident Evil, ketakutan dan kekacauan menyebar kemana-mana.
Namun, karena pemerintah China dapat bergerak dengan cepat sehingga kekacauan tersebut dapat dinetralisir. Sayangnya, petaka tak hanya berhenti disitu. Virus ini menyebar dengan cepat di dunia. Negara Eropa menjadi titik episentrum penyebaran virus ini lewat negara Italia dan Spanyol sebagai negara dengan kasus positif paling tinggi di Eropa. Virus ini juga dengan cepat menyebar ke Amerika Serikat.
Ketika kasus positif di Eropa mulai melandai, sebaliknya di Amerika Serikat, kasus naik dengan sangat cepat, sehingga menempatkan Amerika Serikat sebagai negara dengan kasus positif terbanyak di dunia. Disusul dengan Brasil yang masih berada dalam satu kawasan dengan Amerika Serikat.
Di Asia sendiri, kasus penyebaran virus ini juga tergolong masif. Karena Benua Asia merupakan episentrum awal dalam penyebaran virus ini lewat negara China, maka negara tetangga Tiongkok pun tidak dapat menolak dengan adanya gelombang virus yang masuk ke negara mereka. Seperti Korea Selatan, Jepang, India, dan Indonesia. Merupakan negara Asia yang memiliki kasus positif yang tergolong tinggi. Selain itu, terdapat juga negara yang tergolong sukses dalam menanganni virus ini. Bisa dibilang Vietnam, Kuba, Korea Selatan dan Selandia Baru. Negara tersebut sukses memukul mundur virus ini dengan mengadakan pencegahan dan penanggulangan secara masif, seperti test massal dan lockdown.
Sedangkan di Indonesia, sayangnya kita belum termasuk negara yang sukses menjinakkan virus ini. Kurang seriusnya pemerintah, serta kurangnya sinergisitas antara pemerintah daerah dan pusat menyebabkan penanganan wabah ini tergolong carut marut.
Pada awal penyebaran, para pejabat pun cenderung meremehkan virus ini dengan berkelakar ria di sosial media, dan juga pada saat kasus pertama muncul, pemerintah cenderung menutupi fakta yang beredar demi menunjukkan jika Indonesia bebas Covid-19. Hal tersebut menimbulkan chain reaction yang akan memicu masalah baru di kemudian hari.
Marilah kita cukupkan membahas kegagalan pemerintah dalam menangani wabah ini, karena itu bukan merupakan topik kita. Sebenarnya, wabah ini merupakan suatu tantangan khusus yang harus dilalui manusia dalam berkembang atau bertahan hidup. Meskipun belum usai dan garis finish tersebut cenderung abu abu. Dari sekarang, kita bisa memikirkan bagaimana kondisi masyarakat kita setelah pandemik. Secara tidak langsung, pandemik ini menciptakan masyarakat kosmopolitan yang konsepnya sering dikatakan Diogenes. Ketika dulu, Diogenes ditanya mengenai kebangsaannya, dia selalu menjawab jika aku adalah warga dunia. Mungkin konsep tersebut telah menjadi riil seperti sekarang. Ketika batas negara telah ditembus, tidak ada lagi penghalang yang dapat menghalangi manusia antar bangsa, antar negara untuk bertemu.
Internet inilah, yang dapat mewujudkan dunia tanpa batas dan masyarakat kosmopolitan. Sekarang kita dapat berdiskusi, bertukar pikiran dengan orang yang memiliki jarak ratusan kilometer menggunakan aplikasi video call dengan hanya bermodalkan gawai dan koneksi internet yang memadai. Mungkin itulah gambaran masyarakat ketika pandemik berlangsung.
Bagaimanakah kondisi masyarakat pasca pandemi? Hal ini sangat menarik untuk didiskusikan, mengingat pandemi ini menghantam hampir seluruh aspek dalam kehidupan manusia. Kita bisa menggunakan imajinasi dalam membayangkan bagaimana nanti akan jadinya, apakah manusia akan semakin terpuruk? Atau justru akan semakin maju dan berkembang?
Seperti yang dikatakan Karl Marx, “History repeats itself, first as tragedy, second as farce.” Atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini, “Sejarah akan berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai komedi.” Dunia seratus tahun lalu telah mengalami wabah yang merenggut hampir sepertiga dari populasi penduduk Eropa saat itu, wabah ini dinamakan “black plague.” Tentu, kita tidak akan membahas wabah ini. Tapi kita akan mencoba mengaitkan bagaimana masyarakat pasca pandemi itu sendiri.
Sudah banyak analisis yang diterbitkan oleh para ahli terkemuka mengenai gambaran bagaimana dunia setelah pandemi, satu fakta yang pasti adalah bahwa kita akan tetap terus hidup berdampingan dengan virus ini. Meskipun vaksin telah disuntikan, namun rasa was-was itu masih ada. Karena dengan mudahnya virus ini bermutasi, dapat menyebabkan ketakutan akan tidak pernah ditemukannya vaksin. Vaksin yang sekarang akan beredar hanya akan dapat memperkuat imun kita, tidak secara langsung menjinakkan virus ini.
Mungkin sebelum virus ini menyerang, kita sebagai manusia terlalu hidup soliter dan individual, kita mengayuh sampan yang berbeda untuk menuju ke satu pulau. Sudah seharusnya, kita sebagai manusia dalam masa krisis seperti ini untuk menaiki satu kapal yang sama, kita sekarang ada di kapal yang sama!
Kemungkinan bahwa kita akan hidup berdampingan dengan virus ini semakin besar, impian kita mengenai kembali hidup normal seperti sedia kala telah musnah. Tidak ada yang namanya new normal, karena dari dulu kehidupan kita sudah tidak normal. Kita perlu rekonstruksi lapisan sosial masyarakat agar kita dapat menerima fakta bahwa kehidupan tidak akan pernah normal kembali. Solidaritas perlu dibangun agar rakyat bantu rakyat dapat segera terwujud.
Dunia pasca pandemi merupakan sebuah dunia yang sangat penuh dengan kemungkinan yang bersifat abstrak maupun absolut, entah akan menjadi sosialis atau malah kuat cengkraman kapitalis. Yang pasti kedua konsep tersebut tak akan dipisahkan jika kita membayangkan dunia pasca pandemi. Karena memang faktanya, golongan menengah lah yang sangat terpukul dengan adanya virus ini. Ketika golongan menengah bingung hendak makan apa untuk besok, golongan bawah sudah pasrah untuk urusan hidup atau mati besok. Hal ini semakin membuktikan bahwa rakyatlah yang terdampak paling parah dalam pandemi ini.(#)
*)penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga