Pokja Judes Gelar FGD, Ketua Komisi A DPRD Surabaya Tak Setuju Penempelan Stiker Keluarga Miskin

oleh -143 Dilihat
oleh
FGD Pokja DPRD Surabaya yang menghadirkan Pakar Sosial Politik dari UNESA dan Ketua Komisi A DPRD Surabaya

SURABAYA, PETISI.CO – Hingga kini, terobosan Pemkot terkait penempelan Stiker ‘Keluarga Miskin’ di kampung-kampung di Kota Surabaya, yang dimaksudkan agar bantuan dari pemerintah lebih tepat sasaran masih menuai respon serta polemik.

Dan masih terus menjadi perbincangan hangat dari berbagai pihak ditengah masyarakat. Bahkan beberapa dari pihak menilai, jika stempel tersebut bernuansa merendahkan harga diri dan juga martabat bangsa Indonesia, terutama warga Surabaya.

Hal tersebut dibahas dalam acara Forum Group Discussion (FGD) Obral-Obrol Jurnalis Dewan Surabaya 2023, dengan tema ‘Stiker Miskin VS Status Ekonomi’.

Turut hadir sebagai narasumber yaitu Dr. Moch. Mubarok Pakar Sosial Politik dari UNESA, serta Dra. Ec. Hj. Pertiwi Ayu Krishna SE, MM, selaku Ketua Komisi A DPRD Surabaya.

“Harus hati-hati loh, ucapan atau stempel itu sama saja dengan do’a. Jadi, kalau sudah ditempeli stiker miskin, ini bisa saja dikonotasikan sebagai do’a untuk warga tersebut,” ujar Ketua Komisi A DPRD Surabaya selaku narasumber dalam acara FGD Obral-obrolan Judes 2023, Rabu (25/01/2023) siang.

Padahal, menurut Ayu, nasib seseorang itu sewaktu-waktu bisa saja berubah seperti halnya searah jarum jam jika Tuhan berkehendak. Dan tidak ada satupun seseorang di dalam hidupnya yang mau menjadi miskin selamanya.

“Karena bisa saja, mereka itu tiba-tiba berubah menjadi warga yang mampu karena berbagai hal,” ucap Ayu, sapaan akabnya.

Ayu berharap, kriteria warga miskin itu jelas dan tegas seperti yang disyaratkan oleh pemerintah pusat.

Oleh karena itu, Ayu meminta kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk menggunakan kata atau kalimat yang lebih Soft (halus, red) dan tidak menyinggung. Karena status miskin bisa memunculkan ketersinggungan ditengah-tengah masyarakat, sehingga yang dikhawatirkan bisa menjadi masalah sosial.

“Kan bisa dengan menggunakan istilah Pra Sejahtera misalnya atau yang lain. Jangan langsung stempel ‘Keluarga Miskin’ begitu yang kesannya kurang etis,” tandasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Dr. Moch. Mubarok Muharam selaku narasumber kedua, yang meminta kepada Sang Pemangku Kebijakan (Pemkot Surabaya) untuk berhati-hati dalam memilih kalimat yang berkaitan dengan kebijakan.

“Kemiskinan itu ada dua, yakni kemiskinan Structural (Karena dampak kebijakan, red) dan kemiskinan Cultural (Karena dirinya sendiri, red),” ujar Pakar Sosial Politik dari UNESA ini.

“Namun sebaiknya, jika tujuannya pemerintah membantu, maka jangan memunculkan kesan yang bisa merendahkan harga diri dan martabat seseorang,” tandasnya, ketika memberikan tanggapan dalam acara diskusi Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Kelompok Kerja Jurnalis Dewan Surabaya. (riz)

No More Posts Available.

No more pages to load.