Sepak Bola Identitas dan Nasionalisme

oleh -128 Dilihat
oleh

 Oleh: Rosnindar Prio Eko Rahardjo*

World Cup 2022 Qatar resmi berakhir ketika tendangan penalti Gonzalo Montiel yang menjadi algojo ke 4 Argentina dalam babak adu tendangan penalti di partai final gagal dibendung penjaga gawang Perancis Hugo Lloris. Argentina menang 4-2 dalam adu penalti setelah bermain imbang 3-3 selama 2×45 menit dan perpanjangan waktu 2×15 menit.

Argentina menjadi kampiun untuk kali ke tiga sepanjang sejarah setelah menang di World Cup 1978 Argentina dan World Cup 1986 Meksiko. Kemenangan Argentina kali ini yang dipimpin Il Capitano Lionel Andrés Messi seolah meredakan perdebatan sengit tentang siapa pemain sepak bola terbaik di dunia era now, Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo (Portugal). Perdebatan itu harus diakhiri karena Messi sudah membuktikan diri bisa meraih semua trofi dibanding dengan Ronaldo yang belum (dan mungkin tidak akan pernah) memenangi trofi Piala Dunia.

Perjalanan Argentina dan Perancis tidak lepas juga dari “keikutsertaan” penggemar sepak bola Indonesia. Meski tim nasional tidak ikut bertanding di putaran final World Cup 2022 Qatar, netizen tanah air juga turut dalam hingar bingar dukungan kepada tim nasional lain. Namun rata-rata pembahasan yang dilakukan netizen justru jauh dari sepak bola itu sendiri. Ada yang meramalkan menggunakan sisi klenik seperti warna jersey, nomor punggung pemain, hingga soal dukungan kepada komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dan soal keyakinan (baca: agama).

Beranda media sosial begitu penuh ucapan puji syukur alhamdulillah hingga pekik takbir tatkala kesebelasan Arab Saudi berhasil mengalahkan Argentina, 2-1, di laga pembuka penyisihan grup. Pun ketika kesebelasan Iran berhasil menang atas Wales yang secara terbuka ingin mengenakan ban kapten bermotif pelangi bertuliskan One Love sebagai simbol dukungan kepada komunitas LGBT. Terlebih saat tim nasional Maroko sukses melaju hingga semifinal, beberapa postingan dan komentar di media sosial menyebut sebagai kebangkitan sepak bola negara muslim. Ketika Maroko berhasil mengalahkan Spanyol di babak 16 besar dan Portugal di babak 8 besar, banyak netizen mengunggah dukungan di media sosial yang mengaitkannya dengan persoalan agama. Tidak hanya itu, ada juga klaim bahwa kesebelasan Maroko tampil mewakili umat muslim sedunia.

Di dunia maya juga beredar video durasi 30-60 detik yang beredar menampilkan seorang pendeta di beberapa gereja mendoakan (dalam bahasa Indonesia) kesuksesan kesebelasan Argentina, Belanda, dan Inggris agar mereka meraih kemenangan. Jelang partai final, foto Paus Fransiskus mengangkat bendera Argentina ‘dipolitisasi’ sebagai dukungan umat Katolik mendukung Argentina agar menjadi juara World Cup 2022 Qatar. Jika berpikir rasional, adalah sebuah hal yang wajar jika Paus Fransiskus mendukung tim nasional Argentina karena Paus Fransiskus yang memiliki nama asli Jorge Mario Bergoglio itu lahir di Buenos Aires, 17 Desember 1936. Secara logika, Paus Fransiskus adalah orang Argentina, jadi mana mungkin dia mendukung tim lawan?

Fenomena di atas mengingatkan kita pada kontestasi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden 2019 silam. Agnes Heller mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah gerakan politik yang memilik fokus perhatian pada suatu perbedaan sebagai suatu sumber utama untuk meraih kemenangan. Politik identitas dengan menggunakan isu agama dipakai untuk memenangkan kontestasi. Ada justifikasi jika tidak memilih pasangan calon A, maka si pemilih dianggap golongan kafir dan sebagainya karena pasangan calon tersebut dianggap mewakili etnis, agama, dan golongan tertentu.

Usai memenangkan World Cup 1986 Meksiko yang kontroversial karena peristiwa “Tangan Tuhan”, Diego Armando Maradona mengatakan, “Sepak bola akan menemukan jalannya sendiri. Pada akhirnya ini tentang apakah Tuhan ingin kami berada di final, tapi saya tahu itulah yang Tuhan inginkan. Kali ini kami tidak membutuhkan ‘Tangan Tuhan’ karena itu adalah kehendak Tuhan. Tuhan membantu mereka yang membantu diri mereka sendiri. Ketika Tuhan menentukan waktunya, saya kira dia akan datang untuk kita.”

Kini, di media sosial bermunculan akun-akun yang menginformasikan berita-berita, foto, dan informasi terbaru sepak bola dari pemain yang beragama Islam. Beberapa di antaranya adalah akun Instagram Muslim Footballers (@muslimfoorballer) dan Muslim Athletes (@muslimathletes). Semakin banyaknya pemain sepak bola top dunia yang beragama Islam seperti Mohammed Salah, Sadio Mane, Mesut Ozil, Paul Pogba, dan terbaru skuad Maroko di World Cup 2022 Qatar membuat “kiblat” penggemar sepak bola mengidolakan pemain atas dasar kebangsaan dan klub bergeser menjadi berdasar atas dasar agama. Per tanggal 19 Desember 2022, jumlah followers akun Muslim Footballers tercatat sebanyak 10.500 dan akun Muslim Athletes sebanyak 178 ribu pengikut.

Sepak bola identitas sepertinya sudah tidak tepat lagi diterapkan di era sekarang yang batas-batas identitas nasionalnya semakin tipis. Ketika semifinal kedua World Cup 2022 Qatar yang mempertemukan Perancis melawan Maroko, terjadi perdebatan ketika sekelompok orang menyebut Maroko tampil mewakili umat Muslim sedunia. Mengapa hal itu disangkal? Karena ada beberapa pemain yang memperkuat tim nasional Perancis juga memeluk agama Islam. Mereka adalah anak-anak imigran asal Afrika yang memilih identitas sebagai warga negara Perancis.

Benedict Anderson menyebut setiap manusia memiliki identitas interseksional yang suku, agama, ras, gender, strata sosial dan lainnya. Menurut Anderson, nasionalisme adalah suatu imagined community yang menjadi konstruksi sosial sebagai pemersatu beragam identitas ke dalam suatu komunitas yang dilandasi dengan rasa kepemilikan atau sense of belonging terhadap suatu bangsa inilah yang membuat seorang pemain sepak bola membanggakan bendera negara mereka meski mereka bukan asli orang negara itu.

Ketika tampil di partai final World Cup 2022 Qatar melawan Argentina, dari 11 pemain pertama Perancis, hanya Adrien Rabiot-Provost yang memiliki “darah murni” Perancis. 10 Pemain lain merupakan pemain-pemain keturunan dari negara lain seperti penjaga gawang Hugo Lloris (berdarah Spanyol), Kylian Mbappe (Kamerun), Antoine Griezmann (Portugal), Oliver Giroud (Italia) dan lainnya. Pun Argentina, sebagian besar pemainnya merupakan keturunan negara lain. Ada yang berasal dari Skotlandia, Spanyol, Italia, dan sebagainya.

Bagi Argentina dan Perancis, keberagaman etnis, agama dan asal-usul leluhur tidak menjadi sebuah perpecahan. Justru melalui keberagaman mereka mampu menciptakan prestasi, khususnya di bidang olahraga. Argentina menjadi juara World Cup 2022 Qatar, sementara Perancis menjadi jawara di World Cup 2018 Rusia. Kepada BBC, bek Perancis ketika menjadi juara World Cup 1998 Lilian Thuram mengatakan, “Aku ingat persis ketika kami akan berjalan masuk ke lapangan dan melihat pemain Brasil. Lantas aku berpikir mereka tidak mungkin bisa menang karena mereka hanya 11 orang, sedangkan kami ada jutaan.”

Yang dimaksud Thuram adalah Perancis tampil di hadapan publik sendiri sekitar 80.000 penonton di stadion dan lebih dari 50 juta lainnya di layar televisi di seluruh dunia. Kesebelasan Brasil juga melawan para pemain dari berbagai bangsa: Afrika, Arab, Pasifik, dan Eropa Timur yang memperkuat Perancis kala itu.

Jadi siapa pemenang sebenarnya? Seperti kata Maradona, sepak bola lah pemenangnya karena dia akan menemukan jalannya sendiri untuk tetap bisa dinikmati dan dimainkan oleh seluruh orang di dunia.

*Penulis adalah jurnalis, candidat doktor

No More Posts Available.

No more pages to load.