TAHUN EMAS

oleh -79 Dilihat
oleh

Oleh : Syahbandiah Esha

KEMARIN, untuk kesekian kalinya, saya mendapat kesempatan “nyekseni’ syukuran HUT pernikahan emas. Kali ini, yang menggelar peringatan yang membuat ‘iri’ pasangan-pasangan ‘muda ‘ seperti kami, adalah orangtua sahabat saya sejak kuliah. Sebelumnya, saya juga sempat menikmati jalannya acara yang sama, empat bulan lalu, di rumah salah satu besan orangtua saya. Lebih dulu ibu bapak saya.

Tentu, bagi orang-orang sekarang seperti kami, pasangan-pasangan tadi, adalah langka. Langka karena berhasil, sukses, mampu, mempertahankan perjalanan hidup  bersama ‘belahan jiwa’ selama itu, bahkan ada yang lebih. Ketika hal ini saya tanyakan ibu bapak maupun orangtua sahabat saya di kesempatan berbeda, para sepuh itu justru menyatakan rasa sjukur karena masih diparingi usia panjang sehingga mengalami usia emas pernikahan.

Bagi mereka, awetnya pernikahan justru bukan hal yang aneh. Apalagi untuk orang-orang kuno seperti mereka. “Kami ini sisa-sisa orang dulu, yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi pernikahan,” kata ayah sahabat saya.

Semua itu, masih ayah sobat saya, terwujud lewat kebersamaan hingga kemarin. Hingga anak cucu menantunya merayakan perjalanan panjang perkawinan itu.

Mestinya, ya mestinya, hal ini juga menjadi semacam ‘warisan’ bagi pasangan-pasangan era kini yang begitu gampangnya bercerai. Termasuk para seleb dan artis yang justru kebanyakan menjadikan perceraiannya sebagai sebuah komoditi di media massa.

Ya, perceraian memang lekat dengan kehidupan artis. Diakui atau tidak, benar atau salah, ekspose perceraian yang begitu terbuka di kalangan artis, semakin ikut urun memberikan kesan kuat begitu gampangnya kawin-cerai di dunia mereka.  Bahkan, perceraianpun seperti tren. Bak virus yang dengan gampang menebar, menjangkiti lainnya. Susul-menyusul, silih berganti. Pasangan seleb yang selama ini dikenal harmonis, selalu mesra setiap tampil di depan umum maupun media massa, tiba-tiba esoknya mengejutkan masyarakat karena salah satu di antaranya mendaftarkan gugatan cerainya ke PN setempat.  Terkadang, tak ada kabar berita prestasi karir sang artis, yang muncul justru kisah pilu proses perceraiannya.

Penyuka infotainment sempat dikejutkan oleh isu cerai pasangan artis Risty Tagor dengan Stuart Collin yang April lalu dua tahun lalu merasa berjodoh dan menikah. Begitu relatif singkat umur pernikahan mereka. Soal kejelasan dan kepastiannya, masih simpang siur. Namun, media massa berhasil mengendus ada persoalan di dalam rumah tangga mereka yang baru seumur jagung itu hingga terkuak isu cerai menuju benar adanya.

Risty Tagor memang bukan satu-satunya seleb yang mengejutkan kita dengan perjalanan singkat rumah tangga teranyarnya. Ia juga bukan satu-satunya artis yang beralasan bahwa keputusan perceraiannya akibat ketidakcocokan. Sehingga, baginya, perceraian adalah pilihan terbaik. Sejauh itu, kita tidak tahu pasti penyebab utamanya.

Menikah, bercerai, seperti dialami Risty (sebelumnya bercerai dengan Rifky Balwell, artis juga) sebenarnya juga hal biasa terjadi di lingkungan sekitar kita. Menjadi istimewa karena dialami orang-orang terkenal, pesohor, yang hidupnya selalu menjadi bagian dari keingintahuan orang-orang awam.

Namun, siapapun dia, artis atau bukan, membuat keputusan cerai berarti mengingkari hukum Tuhan. Hukum perkawinan, bagaimanapun adalah unik dan khusus. Ia bukan buatan manusia, sebagaimana hukum-hukum yang berlaku di masyarakat. Sebab, perkawinan bukan sekedar mengucap janji dengan pasangan. Tapi, juga ‘langsung’ dengan Tuhan.

Maka, terkadang ada sedikit ‘aneh’ juga, ketika seseorang mengaku tidak cocok dengan pasangannya sebagai alasan berpisah, Bukankah semua bisa didialogkan, didiskusikan hingga diupayakan komunikasi dengan baik bila masih beritikad dan bertujuan baik? Apalagi, bila sang pasangan adalah pilihan sendiri, bukan dijodohkan atau dipaksakan. Bukankah pula, tak ada pribadi yang benar-benar sama dan persis, sehingga dua pribadi harus cocok?

Ketika zaman sudah begitu semakin akrab dengan kawin-cerai yang amat gampang terjadi pada siapa saja, bukankah sebuah ‘kelangkaan’ sekaligus kehebatan bila ada pasangan hingga mencapai usia pernikahan 50 tahun, bahkan lebih? Walaupun, ‘pasangan emas’ sendiri enggan dikatakan hebat, namun lebih pada sebuah keharusan. Ya, keharusan menjalani hidup dan mempertahankan pernikahan dengan pilihan.

Maka, melihat’ para pasangan sepuh hingga menapaki usia kebersamaan hingga sepanjang itu, tetaplah bercampur baur rasanya hati ini : bangga, bungah, takjub, juga sebersit sedih. Sedih karena, saya –mungkin juga para anak-anak dari ibu bapak yang sedang berbahagia itu—juga merasakan sesuatu yang lain. Jauh di lubuk hati ini, seolah saya diingatkan  sejumlah hal. Semakin sadar ibu bapak semakin sepuh, ringkih di tengah kesehatannya di usia mereka, juga seperti diingatkan, panutan menapaki kehidupan ini sebenarnya tak jauh-jauh dari saya.  Ada di hadapan saya. Nderek mangayubagya, para sepuh sekalian. (***)

dit.syahbandiah@gmail.com