Tanah Memadu Kasih di Desa Wisata Penglipuran

oleh -192 Dilihat
oleh
I Ketut Kedung menunjuk plakat Karang Memadu.

BALI, PETISI.CO – Sekilas lahan di Karang Memadu di Desa Wisata Penglipuran, Kabupaten Bangli, Bali, mirip sebuah taman biasa. Luas lahannya sekitar 300 meter persegi. Ditumbuhi berbagai macam jenis tumbuhan.

Di lahan itu, ada jalan setapak menuju rumah penduduk. Disamping kirinya, lahan kosong yang ditumbuhi tanaman. Sebelah kanan lahan, ada rumah penduduk yang membuka usaha warung kopi, makan dan berbagai macam kerajinan khas Bali.

Namun, jika dicermati lebih jauh asal usul lahan Karang Memadu, ada cerita menarik. Lahan itu, bukan sembarang lahan. Dari penuturan warga setempat, lahan Karang Memadu merupakan lahan khusus. Tidak sembarang orang bisa memiliki lahan itu.

Tak peduli orang kaya atau miskin. Siapapun bisa memiliki Lahan Karang Memadu asalkan mau memenuhi syarat yang diberikan para sesepuh desa Penglipuran. Syaratnya, harus berpoligami atau beristri dua dan poliandri (bersuami dua).

Lahan Karang Memadu yang disiapkan untuk warga Penglipuran berpoligami dan poliandri.

Uniknya, hingga kini belum ada yang berani memiliki lahan Karang Madu. Padahal, kepala desa bersama warga Penglipuran siap memberikan sebuah rumah di atas lahan itu kepada warganya yang ingin berpoligami maupun poliandri.

Kenapa warga Penglipuran tak ada yang tertarik untuk poligami dan poliandri?. “Warga di sini takut melanggar pantangan poligami atau poliandri,” kata I Ketut Kedung (64), warga desa Penglipuran kepada petisi.co, saat mengunjungi desa wisata Penglipuran bersama rombongan Humas dan Pokja Wartawan Pemprov Jatim, Senin (27/1/2020) lalu.

I Ketut Kedung tahu persis sejarah Karang Memadu, karena dibesarkan di desa ini. Lahir dari keluarga yang kurang mampu, Ketut tinggal di rumah yang berada di samping lahan Karang Memadu. Luas rumah Ketut tak beda jauh dengan lahan Karang Memadu.

“Kenapa dinamakan Karang Memadu. Tentu ada artinya. Nama Karang artinya tanah. Memadu berarti memadu kasih. Jadi, Karang Memadu itu artinya tanah untuk memadu kasih,” paparnya.\

Pondok Kopi milik Khrisna yang menyediakan menu kopi beraneka macam.

Menurut dia, masyarakat yang tinggal di Desa Wisata Penglipuran, tidak bisa seenaknya melakukan poligami atau poliandri. Memiliki istri dan suami lebih dari satu merupakan suatu larangan yang sudah digariskan oleh para sesepuh dahulu.

Jika ada warga yang berani melanggar larangan itu, maka siap-siap menerima sanksi. Antaranya, tidak mendapat layanan dan dikucilkan oleh penduduk. “Boleh bertempat tinggal tapi tidak bisa bersama-sama dan harus tinggal di luar,” tegasnya.

Cerita Ketut Kedung dibenarkan Khrisna. Pengusaha Pondok Kopi ini mengaku sudah bertahun-tahun lamanya lahan di Karang Memadu tak berpenghuni. Sebab, hingga kini belum ada yang melakukan poligami.

“Heran kan. Lahan ada, bahkan akan dibangunkan rumah untuk warga yang ingin berpoligami. Toh, hingga sekarang tak ada yang mau poligami,” tuturnya.

Khrisna juga lama tinggal di desa wisata Penglipuran. Rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari lahan itu. Di samping lahan itu, Khrisna membuka usaha Pondok Kopi. Namanya Pondok Kopi, tentu yang dijual kopi berbagai jenis.

“Sejak diresmikan menjadi desa wisata tahun 1992, perekonomian warga desa Penglipuran meningkat. Termasuk saya berani membuka usaha warung kopi. Banyak wisatawan berkunjung kesini, terutama hari-hari libur,” ujarnya.

Para wisatawan yang berkunjung ke desa wisata Penglipuran, selain melihat keindahan alamnya, ada yang tertarik mengunjungi Karang Memadu. Sebab, pihak pengelola desa wisata Penglipuran selalu memberikan penjelasan seluruh isi desa wisata ini kepada setiap pengunjung.

“Yang ingin melihat rumah-rumah dengan variasi bambu, silahkan. Ada yang menarik lagi. Yakni, keberadaan Karang Memadu yang sudah menjadi tetenger disini,” kata Ketua Pengelola Desa Wisata Penglipuran, I Nengah Muneng.

Menurutnya, desa wisata Penglipuran banyak diminati wisatawan, terutama asing. Dalam sehari, ada ratusan hingga ribuan wisatawan yang berkunjung. Tergantung pada momen hari libur nasional.

Wisatawan dari berbagai negara itu tertarik mengunjungi desa wisata ini yang mempunyai visi berbasis masyarakat yang berbudaya dan berwawasan lingkungan. Lingkungan di desa wisata Penglipuran bersih dan asri.

Keberadaan bambu di setiap rumah penduduk, menambah indahnya desa wisata ini. “Karena itu, desa wisata Penglipuran mendapat penghargaan desa terbersih nomer tiga dunia,” tandasnya.

Di Penglipuran ada hutan bambu yang luasnya 45 hektar. Warga dan aparat desa sudah sepakat untuk tidak mengubah lahan hutan bambu. Justru, mereka ingin menjaga kelestariannya agar tetap terlihat pesona.

Sedangkan di desa wisatanya ada 77 pekarangan. Setiap pekarangan terdiri dari dua rumah adat, dapur tradisional dan balai sakenem, serta tempat suci bernama Sanggahan. Jumlah penduduknya sebanyak 1.038 orang jiwa dan 240 Kepala Keluarga.

Ya, desa wisata Penglipuran telah memberikan berkah bagi warga desa ini. Dari semula mata pencaharian warganya sebagai petani, kini sudah beralih profesi sebagai pedagang dan pengusaha yang cukup sukses. (Bambang W)