UU KUHP, Merusak Hukum, Penghancur Demokrasi?

oleh -144 Dilihat
oleh

Ambyaarr…..

R-KUHP akhirnya resmi jadi UU-KUHP. Ini setelah disetujui DPR RI dalam sidangnya Selasa (6/12/2022). Padahal banyak pasal yang kontroversial. Karena itu berbagai elemen masyarakat melakukan protes dan berdemo, menolak KUHP produk rezim ini.

Saat penulis mengkririk RKUHP, seorang sejawat bertanya solusi apa atas kritik yang penulis sampaikan. Idealnya, selain menyampaikan kritik penulis juga diminta menyampaikan solusinya.

Sebenarnya, kalau pemerintah dan DPR tidak tuli, sangat mudah mengambil solusi dari banyaknya kritik publik. Yakni, cukup dengan menghapus sejumlah pasal kontroversi yang banyak dikritik publik.

Misalnya saja, saat penulis mengkritik ketentuan pidana dalam pasal 218 RKUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden. Solusinya sederhana: Hapus pasal ini.

Juga soal pasal penghinaan lembaga Negara. Solusinya ya cukup menghapus ketentuan Pasal 349. Kritik kriminalisasi dan pembungkaman demonstrasi, solusinya tinggal menghapus Pasal 256.

Belum lagi Pidana penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila, yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1) :

“Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”

Pasal ini karet, dan sangat subjektif. Tafsirnya akan sangat tergantung kehendak kekuasaan. Kalau ditanya apa solusinya? Ya hapus saja, atau buat norma pasal yang lebih limitatif.

Namun penulis paham, tujuan aktivasi norma yang tidak limitatif, yang obscuur dan lentur. Agar bisa menjadi alat represi, alat gebuk untuk membungkam lawan politik.

Jadi, problemnya bukan karena rakyat atau yang mengkritik tidak menyampaikan solusi. Tapi karena pemerintah dan DPR memang sudah tebal kuping, tak mau mendengar kritikan rakyat. Pemerintah dan DPR RI sesumbar dengan sombongnya mengatakan “KITA TELAH MENGAKHIRI KUHP KOLONIAL BELANDA”. Padahal produk UU KUHP baru ini penjajah hokum, penghancur demokrasi, melanggar HAM.

Pemerintah dan DPR digaji untuk melahirkan solusi. Bukan malah menambah masalah dan beban rakyat.

Sebut saja, ketika Pemerintah dan DPR melegislasi UU Cipta Kerja, UU Minerba hingga UU KPK, bukannya menjadi solusi malah menjadi masalah bagi rakyat. UU tersebut ditolak, bahkan memakan korban rakyat (pendemo).

Rakyat fokus mengkritik, karena UU tersebut akan diterapkan kepada rakyat. Rakyat adalah objek penerapan UU, sehingga rakyat berhak mengkritik.

Namun, apapun kritik yang disampaikan rakyat, faktanya RKUHP disahkan menjadi UU. Yang tidak sependapat silahkan ke MK. Sesampainya di MK, nantinya MK menyatakan rakyat tidak memiliki legal standing. Lalu maunya apa?

Selamat datang era pembungkaman, era tirani yang makin represif. Penjajahan baru, bukan oleh Belanda, tapi rakyat dijajah oleh bangsanya sendiri.

Contohnya seperti pasal 256 terkait Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi.

Pasal tersebut mengatur, setiap orang yang melakukan unjuk rasa tanpa adanya Pemberitahuan yang mengganggu kepentingan umum bisa dipidana selama enam bulan penjara.

“Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,” sebagaimana tertuang dalam Pasal 256.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti tak luput mengkritik UU KUHP yang disahkan. Dia menilai, KUHP terbaru akan merusak Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi.

“Jadi yang terjadi adalah kerusakan negara hukum dan demokrasi,” cetus Bivitri. (fim)

*)penulis Ferry Is Mirsa, wartawan senior petisi.co, Wartawan Utama, Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur

No More Posts Available.

No more pages to load.