“Adem Ayem” Pilkada Serentak, Prakmatisme Vs Romantisme

oleh -47 Dilihat
oleh
Oleh: Yunanto*

Januari 2020 segera lewat. Berarti pemilihan umum pasangan kepala daerah (pilkada) serentak 23 September 2020 kian dekat. Bila dihitung per awal Februari 2020 tinggal 236 hari lagi sampai di hari “H” tersebut.

Ada fakta dan fenomena menarik hingga menjelang akhir Februari ini. Fakta dan fenomena dimaksud adalah suasana “adem ayem” menjelang pilkada serentak se-Tanah Air. Makna “adem ayem” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung beberapa arti; antara lain beku, melempem, sepi, stagnan, “no reaction“.

Cita rasa dalam suasana “adem ayem” tersebut nampak dan terasa mencolok di kehidupan sosial masyarakat sehari-hari. Tidak terkecuali di Kabupaten Malang. Pilkada sebagai wujud pesta demokrasi rakyat, terasa melempem, minim gaung, nihil gema. Di kehidupan kalangan politisi dan pengurus parpol di tingkat kota/kabupaten pun terasa demikian.

Sangat terasa ada rasa kejenuhan yang amat kuat. Setelah gegap gempita pileg dan pilpres 2019, akan disusul pilkada 2020. Di beberapa desa di Kabupaten Malang (dan di daerah-daerah lain) malah sempat “disisipi” pilkades serentak pasca-pileg dan pilpres 2019. Menjadi bisa dimaklumi, ada kejenuhan berkontestasi-ria. Sebuah pesta demokrasi yang justru kerap “membelah” rakyat dalam faksi-faksi pilihan.

Jenuh dan Gamang

Suasana “adem ayem” hingga 200-an hari menjelang pilkada kali ini, terasa di luar kelaziman renstra (rencana strategis) ideal partai politik pada umumnya. Galibnya, “H minus satu tahun” (baca: “H – 1T”) adalah titik start implementasi renstra pemenangan pilkada. Kerja-kerja empirik politik pilkada sudah kasat mata di tataran rakyat pemegang hak pilih. Tak sekadar terasa.

Fakta di lapangan, hingga “H minus 200-an hari” belum ada satu pun DPP parpol atau gabungan parpol yang telah mengeluarkan rekomendasi pasangan kontestan peserta pilkada 2020. Dampaknya bisa ditebak. Pasangan kontestan penerima rekom peserta pilkada akan melakukan serangkaian kerja politik secara “nabrak-nabrak”. Pasalnya, dijepit mepetnya waktu yang tersisa menuju hari “H”.

Kejenuhan atau kegamangan? Dua hal tersebut bisa benar semua. Kejenuhan terjadi di tataran rakyat pemegang hak pilih. Kegamangan  terjadi di tataran politisi di daerah dan para kandidat bakal calon kontestan pilkada. Mereka gamang dalam situasi menunggu-nunggu antara dapat atau tidak dapat rekom (rekomendasi DPP parpol atau gabungan parpol).

Kejenuhan di tataran rakyat pemegang hak pilih bisa dimaklumi. Berulangkali pemilu mereka alami. Mulai dari pileg, pilpres, pilkada, bahkan hingga pilkades. Di benak mereka gaungnya memantulkan suara yang lazim sama:  “Yah… paling-paling begitu-begitu lagi proses dan hasilnya.”

Kegamangan di benak politisi dan para kandidat kontestan pilkada terasa lebih rasional. Sumbernya dari kepastian turunnya rekom dari DPP parpol atau gabungan parpol. Betapa tidak, bila serangkaian kerja praktika politik pilkada sudah dilakukan, bahkan hingga “jungkir balik”, tapi ternyata yang dijagokan tidak mendapat rekom DPP parpolnya. Sia-sia belaka, tentu saja.

Coba bayangkan. Si Fulan sebagai kandidat bakal calon kontestan pilkada sudah “jungkir balik” melakukan kerja-kerja politik empirik. Ibaratnya, ia sudah tancap gas, meski rekom DPP parpol atau gabungan patpol belum di tangan. Hal itu dilakukan setelah ia mendaftar ke satu parpol atau lebih.

Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam “kasus jungkir balik” semacam itu. Kemungkinan pertama, ia tidak mendapat rekom. “Jungkir baliknya” pun sia-sia, patah arang. Kekecawaan pastilah mendalam. Boleh jadi juga di internal tim suksesnya.

Kemungkinan kedua, Si Fulan mendapat rekom, tapi nyaris “kehabisan nafas, kehabisan bensin” justru saat masih di tengah perjalanan. Terengah-engah dan tertatih-tatih bergerak menuju garis “finish” di titik hari “H” akibat telanjur tancap gas sebelum rekom di tangan. Dua kemungkinan itulah yang bisa dijadikan kambing hitam dari suasana “adem ayem” pilkada serentak kali ini.

Gaya Paris

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem), M. Geng Wahyudi, SH, MHum, menyimak suasana “adem ayem” tersebut lewat pendekatan “style of thinking” (gaya berpikir). Sosok figur publik dari Dewan Penasihat DPW Partai Nasdem Jawa Timur ini mengakronimkan gaya berpikir dimaksud lewat singkatan Paris.

Kepanjangan dari akronim Paris dimaksud adalah pragmatis, analis, realis, idealis, dan sintesis. Di tataran faktual,  peringkat gaya berpikir pragmatis adalah yang tertinggi (terbanyak). Peringkat berikutnya gaya berpikir sistesis, nyaris sama tingginya dengan pragmatis.

Gaya berpikir sistesis nyaris serupa (atau menyerupai) pragmatis. Konkretnya, sepintas seperti idealis, tapi mau juga pragmatis. Sedangkan gaya berpikir realis di peringkat tiga. Realis hanya melihat fakta, tapi rendah gagasan dan cakrawala pandangnya pun tidak luas.

Peringkat keempat, gaya berpikir analis. Nyaris serupa dengan realis, tapi lebih mendominasikan kajian (analisis) secara matang berbasis data, fakta dan fenomena yang akurat. Peringkat terakhir sekaligus terendah adalah gaya berpikir idealis. Sayangnya, idealis mudah disingkirkan  meskipun ide dan gagasannya luar biasa.

Akhirnya, dalam suasana “adem ayem” menjelang pilkada 2020 ini, “modus operandi” lama sangat mungkin bakal terulang. Modus dimaksud adalah pragmatisme “versus” romantisme. Gaya berpikir pragmatis menyatu dengan sistesis di kubu pragmatis “versus” idealis dan analis di kubu romantisme.

Gaya berpikir mana yang bakal unggul dalam kontestasi pilkada? Jawaban normatif, penentu kemenangan adalah rakyat pemegang hak pilih. “Vox Populi Vox Dei” (suara mayiritas rakyat adalah “suara Tuhan”). Jika pragmatisme lebih disukai oleh mayoritas rakyat pemegang hak pilih, maka romantisme terkapar, kalah.

Sederet fakta telah berulangkali “bicara sendiri” dalam kontestasi pemilu. Mulai dari tingkat terbawah (pilkades) hingga tingkat nasional. Pragmatisme mendominasi kemenangan. Terminologi “Wani piro?!” dan “Kamu dapat apa? Kami dapat apa?” bukan hal asing dan tabu di tataran pemegang hak pilih.

Mau “adem ayem” atau mau “hangat-hangat tahi ayam” menjelang pilkada, menjadi tidak penting bagi kubu pragmatisme. Meskipun hal tersebut negatif dari perspektif pendidikan politik bagi rakyat.

Bagaimana nasib kubu romantisme? Ah, “wani piro?!” bila mayoritas pemegang hak pilih sudah telanjur terbiasa menggandrungi pragmatisme. Maka, konklusi opini ini adalah, suasana “adem ayem” hingga 200-an hari menjelang pilkada berpotensi memperkuat pragmatisme, kelak. ()

*)penulis adalah wartawan Harian Sore “Surabaya Post” 1982-2002; alumnus Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta.