Aribowo: Kampanye Dibayar Negara, Kandidat Terpaksa Borong Amplop untuk Dikenal

oleh -64 Dilihat
oleh
Pengamat politik Aribowo

SURABAYA, PETISI.CO – Pengamat politik Aribowo menilai kampanye yang dibayar oleh negara dan dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), membuat kampanye kandidat sangat terbatas. Akibatnya, potensi terjadi money politics (politik uang) dalam Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) 2019 sangat besar.

“Akibatnya sekarang, mereka (caleg) membeli amplop sebanyak-banyaknya untuk memperkenalkan diri dari rumah ke rumah, karena dia tidak punya kesempatan kampanye lewat media televisi,” katanya di Surabaya, Jumat (25/1/2019).

Menurutnya, kondisi demikian sebagai imbas dari Pemilu langsung. Pemilu langsung ini cenderung kapital yang menang. Karena itu, agar kapital tidak menentukan segala-galanya, maka caleg atau kandidat tidak boleh mengeluarkan banyak dana supaya tidak korupsi. Kampanye para kandidat dibayar oleh negara.

“Dengan kampanye dibiayai negara, maka kampanye kandidat ini sangat terbatas. Misalnya, pilkada ada 5 calon, lalu ada tujuh hari untuk kampanye. Tujuh hari itu dibagi lima. Berarti satu kandidat, kampanye satu minggu satu kali. Kalau di Jatim, bisa-bisa kampanye tidak sampai di Banyuwangi, apalagi sampai desa-desa,” ungkapnya.

Cara yang efekttif, lanjutnya, yaitu memilih kampanye di televisi. Tapi, kampanye di televisi juga tidak boleh dilakukan, karena ranahnya KPU. Mau kampanye begini tidak boleh, mau kampanye di televisi juga tidak boleh. Maka, pilihannya kampanye dari rumah ke rumah.

“Dia harus memperkenalkan dirinya dengan masuk ke rumah-rumah, karena tidak punya kesempatan kampanye lewat media televisi. Karena itu, money politics lebih tinggi. Jadi, jangan dikira money politics karena masyarakat tidak berdaya,” katanya.

Meski demikian, dosen ilmu politik Universitas Airlangga menyebut tak semua masyarakat berubah karena money politics. Hanya 15 persen. “Tapi, memang dari tahun ke tahun money politics tinggi. Selama model pendataan penduduk atau penghitungan daftar pemilih tetap dengan stelsel aktif, maka money politics selalu tinggi,” paparnya.

Dia mencontohkan Pemilu di Amerika Serikat. Masyarakatnya mendaftar sendiri untuk mendapat surat suara. Cara itu akan mengurangi money politics.

“Misalnya di satu TPS isinya 500 suara, yang daftar cuma sepuluh orang. Maka, suaranya yang dihitung ya sepuluh. Kalau money politics sepuluh orang, membeli enam orang sudah menang,” jelasnya.

Di seluruh negara, tambahnya, semakin banyak golputnya, semakin demokrasi. Kalau yang memilih 90-100 persen, itu biasanya negara itu tidak demokrasi. “Jadi, negara-negara demokrasi itu golputnya banyak, karena kadang-kadang orang malas. Kalau kandidatnya tidak bagus, apalagi TPS nya jauh, lebih baik tidak usah memilih,” tegasnya. (bm)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.