Banjir Ijen, Akar Masalah dan Bencana yang Dibuat?

oleh -261 Dilihat
oleh

Oleh : Ahmad Zairudin, S.H.,M.H*

Apa yang menimpa kepada Ijen (Banjir Ijen) pada (Minggu (12/2/2022) ternyata tidak menjadi pelajaran berarti bagi semua pihak, khususnya Pemerintah Kabupaten Bondowoso. Banjir yang kembali menerjang dua desa, Sempol dan Kalisat di Kecamatan Ijen, seharusnya menjadi cacatan penting untuk dapat diantisipasi, karena persoalan banjir ini sudah menjadi langganan banjir tahunan. Dan sebelumnya banjir ini pernah terjadi pada Januari 2020. Disinyalir banjir ini akibat karena kerusakan hutan (hutan gundul akibat alih fungsi).  

Padahal ancaman kerusakan hutan dari hari ke hari semakin nyata, sebagian besar kerusakan hutan adalah karena adanya pembukaan lahan baru (alih fungsi) yang tidak mengikuti kaidah ekologi atau lingkungan. Banyak ditemukan hutan dirusak hanya untuk kepentingan tertentu dari individu maupun kelompok atau institusi tanpa ada pertimbangan untuk pelestariannya. Adanya pengembangan aktifitas ekonomi, atau daerah pemekaran yang membutuhkan lahan baru untuk pembangunan daerahnya akan mengakibatkan dibukanya hutan.

Akibat dari aktifitas ini akan merusak keseimbangan ekosistem lingkungan, hutan yang sudah banyak rusak tentu akan memberi pengaruh buruk pada lingkungan. Jika hutan kita menjadi gundul atau terbakar, hutan rusak dan tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan banjir bandang akan terus terjadi seperti yang terjadi kepada Ijen.

Padahal menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, soal larangan Pasal 69 (1) Setiap orang dilarang: huruf a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Huruf h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Artinya dari sini sudah cukup jelas bahwa tidak dibenarkan dalam bentuk tindakan dan kegiatan apapun yang dapat merusak ekosistim hutan. Selain UU, Pemerintah juga telah memperkuat dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana didalam PP ini telah diatur dan dijelaskan secara rijit apa dan bagaimana dalam melindungi hutan. (buka PP No 22 Tahun 2021)

Hutan yang hijau, bagus dan di jaga kelestariannya secara tidak langsung akan memberikan pengaruh pada kehidupan di hilirnya, karena hutan mempunyai fungsi perlindungan terhadap tata air. Dengan adanya resapan di lantai hutan dan struktur tanah gembur, air hujan terserap dan masuk ke dalam tanah. Hal ini tentu akan berdampak terhadap debit air hujan dapat dikurangi, dengan demikian bahaya banjir berkurang.

Akan tetapi tidak banyak yang sadar akan itu, sebagian oknum dan pelaku usaha tidak bertanggungjawab, mereka mencoba mengeksploitasi hutan untuk kepentingan pribadinya dan kelompoknya tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi, dimana hasil ekonomi kadang tidak sebanding dengan dampak musibah dan kerusakan yang diakibatkan, bahkan kesejahteraan hanya di monopoli oleh segelintir orang saja. Bisa saja apa yang menimpa pegunungan di daerah Ijen juga demikian, gundulnya hutan akibat dari keserakahan orang-orang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan dirinya sendiri dan kelompok, kepentingan usahanya. Kalau bisa dipastikan akar masalah dari banjir disebabkan hal-hal ini, maka harus dibangun kesadaran bersama semua pihak, mari kita setop eksploitasi hutan.

Pemerintah, Reboisasi dan Tanggung Jawabnya

Lantas apa tanggungjawab pemerintah untuk menanggulangi persoalan ini? Kerusakan hutan, kebakaran hutan dan lahan banyak didominasi oleh perbuatan masyarakat, baik dari warga sekitar yang melakukan pembakaran lahan untuk membuka lahan baru pertanian, atau adanya kegiatan korporasi (perusahaan tertentu) yang memanfaatkan sumber daya hutan untuk kepentingan bisnis di daerah tersebut. Ada anggapan kebakaraan hutan dan lahan yang terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh lemahnya pemerintah dalam hal pengawasan, penegakan hukum khususnya terhadap korporasi yang melakukan kegiatan yang merugikan hutan, peraturan yang memberikan celah bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan pembakaran, serta tumpang tindihnya lembaga-lembaga yang menanggulangi kebakaran hutan dan lahan tidak segera disikapi secara tegas. Padahal kalau pemerintah setempat itu tegas dalam mengambil sikap untuk menyelamatkan hutan, tidak ada kompromi dengan pihak-pihak berkepentingan, maka kejadian seperti diatas tidak akan terjadi.

Sebagaimana amanah UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 71 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Di dalam Undang-undang yang sama di jelaskan, Sanksi Administratif Pasal 76 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. (2) Sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis, b. paksaan pemerintah, c. pembekuan izin lingkungan, atau d. pencabutan izin lingkungan. Bisa saja jika ditemukan aktifitas yang mengandung unsur kesengajaan atas perusakan hutan, dapat di lakukan sanksi Pidana. Disini sebenarnya pemerintah sudah dibekali dengan perangkat UU, artinya ada perlindungan hukum dalam penindakannya. Semua pihak tentu akan mendorong adanya langkah tegas yang dilakukan oleh pemerintah untuk dilakukan, agar hal-hal negatif seperti diatas dapat di antisipasi secara dini. Sehingga penyakit tahunan (Banjir Ijen) tidak terulang kembali.

Selain adanya langkah serius dari pemerintah dalam menangi persoalan pelanggaran-pelanggaran hutan, pemerintah juga harus melakukan adanya Upaya reboisasi, hal ini perlu sebagai salah satu bagian solusi dari hilangnya hutan di di kawasan Ijen Bondowoso, dengan melakukan penanaman hutan yang baru pada wilayah-wilayah yang mengalami kehilangan tutupan lahan hutan.  Reboisasi yang memiliki fungsi atas keberlangsungan hutan dan manusia ini perlu terus digalakkan. Reboisasi ini bertujuan untuk mencegah terjadinya erosi tanah, melestarikan kesuburan tanah yang bisa dijadikan sebagai lahan pertanian, menjaga struktur tanah agar tidak rusak. membuat tanah tetap kokoh sehingga risiko tanah longsor bisa dihindari. Dalam kata lain reoisasi  untuk mengembalikan fungsi dan peranan hutan. Menambal kembali hutan yang gundul.

Karena kawasan hutan yang perlu untuk segera direboisasi membutuhkan penelitian dan pengembangan lebih lanjut, selain itu perlu didalami secara serius sebab musabab akar masalah dari persoalan banjir ini, perlu adanya kajian matang dan serius. Maka pemerintah harus bisa menggandeng stake holder yang ada di Bondowoso, seperti OPD, OKP Kepemudaan, Organisasi Kemahasiswaan, NGO (LSM) dan Media. Selain Instansi diatas, memang harus melibatkan instansi yang pakar dan paham dalam menangani persoal kehutanan misal seperti walhi. Oleh karenanya semua elemen ini harus bergandengan tangan untuk bersama-sama mencari jalan keluar atau akar masalah serta mencari solusi atas masalah banjir yang terus terjadi. Kita berharap pemerintah tidak mengindahkan hal-hal ini, jangan sampai ada tudingan kejadian yang menimpa Ijen, banjir tahunan merupakan musibah yang dibuat, disengaja atau di buat sendiri!

*) Penulis adalah Ketua LBH GP Ansor Kabupaten Bondowoso,  Peneliti PUSKAKUM Unuja

 

No More Posts Available.

No more pages to load.