Dari Sukarno hingga Prabowo: Mengapa Retorika Anti-Asing Masih Laris?

oleh -106 Dilihat
oleh
Ferdinand, mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

AKHIR-akhir ini, publik sering menyaksikan Presiden terpilih Prabowo Subianto menyampaikan pidato dengan sentimen anti-asing, terutama ketika menghadapi kritik terhadap program-program populis seperti Makan Siang Gizi (MSG). Kritik semacam itu kerap dibalas dengan tudingan bahwa pihak asing berada di balik suara-suara sumbang. Tapi benarkah retorika seperti ini masih relevan? Atau justru berpotensi mengulangi kegagalan masa lalu?

Retorika anti-asing sejatinya bukan barang baru dalam sejarah politik Indonesia. Kita bisa menengok era Presiden Sukarno, ketika nasionalisasi besar-besaran terhadap perusahaan asing dilakukan atas nama kedaulatan. Melalui UU No. 86 Tahun 1958, Sukarno mengambil alih perusahaan-perusahaan milik Belanda. Tujuannya membangun ekonomi nasional yang mandiri dan bebas dari kolonialisme ekonomi.

Namun sejarah mencatat, visi besar itu tidak selalu sejalan dengan realitas di lapangan. Nasionalisasi yang dipaksakan tanpa kesiapan teknis dan sumber daya manusia hanya menghasilkan ketimpangan baru. Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya produktif berubah jadi beban negara karena manajemen yang lemah dan minimnya tenaga ahli setelah hengkangnya staf asing.

Contohnya sangat jelas, pengambilalihan ANIEM. ANIEM merupakan perusahaan listrik berdiri tahun 1909 yang berkantor pusat di Jl. Embong Wungu, Surabaya dan menguasai pangsa kebutuhan listrik Hindia Belanda sekitar 40 persen juga memiliki wilayah distribusi di Sumatra, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara Barat dilakukan tanpa koordinasi dan ganti rugi yang memadai. Begitu pula dengan Shell Indonesia yang akhirnya hengkang akibat tekanan buruh dan ketidakstabilan politik.

Ketika Prabowo menggunakan retorika serupa hari ini, kita perlu bertanya: apakah itu sekadar strategi politik untuk menggugah semangat nasionalisme, ataukah langkah awal menuju kebijakan ekonomi yang eksklusif dan anti-investasi asing?

Syafruddin Prawiranegara dan Mohammad Hatta, dua negarawan besar, pernah mengingatkan bahaya nasionalisasi yang didorong oleh emosi dan sentimen semata. Mereka menilai Indonesia kala itu belum cukup kuat secara ekonomi dan sumber daya untuk mengelola industri strategis tanpa keterlibatan asing.

Pesan itu tetap relevan hari ini. Di tengah ketergantungan ekonomi global, pemerintah sebaiknya tidak terjebak dalam narasi yang memusuhi pihak luar. Alih-alih menutup pintu, lebih baik membuka ruang kerja sama antara swasta nasional dan asing, khususnya di sektor strategis seperti energi, transportasi, dan infrastruktur.

Nasionalisme tidak harus diwujudkan dalam bentuk pengusiran modal asing. Sebaliknya, nasionalisme sejati justru menuntut kecerdasan dalam merancang kebijakan yang berpihak pada rakyat namun tetap realistis dalam konteks global. Retorika anti-asing tanpa strategi konkret hanya akan membawa kita mundur, bukan maju. (*)

*penulis adalah: Ferdinand, mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

No More Posts Available.

No more pages to load.