Parpol, Kandidasi Capres, dan Jebakan Nihilitas Sensitifitas Sosial

oleh -145 Dilihat
oleh

Oleh: Surokim Abdus Salam*

Saat ini kita tengah menyaksikan ajang pemanasan politik menuju panggung depan partai politik 2024. Proses yang sesungguhnya kian dekat menuju tahap krusial dalam pilpres yakni tahap kandidasi parpol menuju pencalonan capres pada pertengahan 2023.

Dalam proses itu, kita semua memahami bahwa parpol punya relasi kuasa penuh. Kita memahami juga bahwa ruang itu adalah zona darkzone milik partai dengan segala otoritasnya, yang memang sulit diakses publik. Kewenangan parpol benar-benar penuh dan memiliki daulat full di situ. Bahkan tidak jarang daulat itu kemudian muncul dalam otoritas pribadi ketua umum para ketua umum parpol.

Ruang tersebut bisa jadi memang steril dari pengaruh publik sehingga para ketua umum parpol bisa otonom dan leluasa menentukan pilihan dan jagonya untuk dimajukan ke pilpres 2024. Sejauh ini kita masih wait and see keputusan yang akan diambil oleh para ketua umum partai dan koalisi. Kendati demikian dibalik kuatnya otoritas para ketua umum, tidak dimungkiri sesungguhnya mereka juga sedang berhadapan dengan rezim elektabilitas publik karena ada skema pemilu langsung dimana masyarakat yang menentukan lewat mekanisme pemilu one man one vote.

Akibatnya ruang darkzone kandidasi parpol tersebut sering juga gaduh dan tak terhindarkan adanya interplay (tarik ulur). Apalagi dalam penentuan kandidasi tersebut, parpol sebagian besar tidak bisa mandiri karena belum bisa memenuhi syarat presidential threshold (PT) 20% sehingga harus menyesuaikan dan melibatkan koalisi dengan partai yang lain. Akibatnya, ruang tersebut kendati sering menjadi zona gelap, tetapi kerap gaduh dan proses nya kadang dramatis, penuh liku dengan interplay (tarik ulur) yang tinggi. Bahkan tak jarang menimbulkan episode episode dramatik akibat banyaknya  kepentingan yang turut  bermain baik di internal parpol maupun di eksternal parpol.

Ya memang politik akan selalu terikat dengan ruang dan waktu. Ada konteks yang membuat momentum politik selalu bisa menjadi pengendali dan pemenang. Bagaimanapun dalam politik memahami konteks tersebut selalu penting agar organisasi politik dan perannya senantiasa relevan dengan perkembangan lingkungan.  Konteks itu selalu dinamis dan tidak permanen. Bahkan kadang dalam konteks politik, pemenangnya bukan lagi siapa yang kuat, yang lama, dan faktual powerfull sebagaimana hukum adaptasi alam, tetapi yang muncul adalah organisasi atau orang yang bisa adaptif seusai dengan kebutuhan lingkungannya.

Alam dan lingkungan memang selalu punya juga kehendak dan pemihakan. Hal ini memang sering dilupakan politisi dan parpol kita. Seolah tidak menyediakan ruang untuk menjaga kearifan sosial dan lingkungannya dan lebih menghamba kepada kontestasi perebutan kuasa semata. Nihilisme visi lingkungan dan kepekaan sosial ini yang kerap menjadi masalah dan membuat politik kita ahistoris, kesulitan adaptif, kerap tergopoh-gopoh dan juga terkaget-kaget tanpa bisa melakukan antisipasi perubahan lingkungan dan masa depannya.

Kemampuan untuk belajar sejarah sebagai cara mengambil best practice, membaca lingkungan kekinian, dan masa depan kerap menjadi problematik parpol saat ini. Cara pandangnya sering spasial, temporer, dan tidak tersambung sehingga langkah dan policynya sering tidak tersambung dengan kebutuhan kini dan masa depannya. Akhirnya, parpol sering terjebak dalam politik dan policy tambal sulam dan kerap korektif sepanjang aktivitasnya tanpa memiliki horizon yang utuh mengenai apa yang akan terjadi di lingkungan dan masa depan sebagi konteks makro politik.

Memahami konteks politik makro, meso dan mikro sesungguhnya mengarahkan parpol untuk bisa belajar bagaimana membaca secara komprehensif terkait lingkungan. Ketepatan memahami konteks ini biasanya juga akan memberi kontribusi terhadap eksistensi partai khususnya citra udara partai yang memengaruhi positioning pemilih Indonesia. Kemampuan untuk menyesuaikan dengan konteks yang melahirkan momentum ini sering menjadi kunci untuk mendapatkan citra udara yang baik.

Sementara itu tidak juga dimungkiri akibat banyaknya disrupsi juga membuat parpol sering montang manting dan kadang sering menjadi tidak relevan karena banyaknya gab antara harapan, espektasi, dan kenyataan yang diperbuat parpol di masyarakat. Solusi solusi efektivisien sering tidak bisa dihadirkan dan parpol akhirnya menjadi selfish dan terkena syndrom instan, kehilangan daya substantif dan hanya mau bekerja sesaat saja menjelang pemilu saja.

Sesungguhnya jika kita bisa mengingatkan tugas abadi partai pada dasarnnya adalah melindungi, melayani, membersamai, dan mensejahterakan. Parpol punya kewajiban untuk mendekatkan gab antara ideal ekspektasi kewajiban tersebut dengan kenyataan faktual sehingga keberadaannya senantiasa relevan dan parpol tetap bisa dijangkau publik. Tugas itu butuh energi positif dan konsistensi serta ketulusan. Sekali lagi konteks sudah berubah dan parpol butuh cara baru menghadpai lingkungan yang berubah saat ini.

Munculnya berbagai disrupsi baik di level teknologi, pandemi, maupun lingkungan, khusunya perubahan cuaca dan iklim menjadikan masyarakat sering berada dalam situasi penuh pancaroba. Situasi yang oleh para ahli disebut sebagai situasi VUCA ini membuat peta jalan ke depan tidak bisa dihadapi dengan cara biasa. Butuh penangganan yang lebih terpadu, komprehensif dan berdimensi berkelanjutan. Situasi ini membutuhkan jalan solusi yang juga tidak biasa. Butuh energi empathi yang lebih. Munculnya berbagai cobaan, tragedi dalam konteks politik membutuhkan kompas jalan politik baru. Disinilah politik empahty dan politik mengayomi menemukan momentumnya dan melahirkan nurturent politics yang relevan dengan kebutuhan saat ini .

Perkembangan pemahaman tentang konteks ini kadang membuat kita sering kehilangan kendali. Hukum kita sering berjalan kelewat prosedural dan sering lepas dari konteks substantifnya. Yudi Latif (2022) menyebutnya kebanyakan para ahli hukum kita sebagai legal technician, kurang memahami visi hukum sebagai penanda peradaban. Peradaban politik kita sering berada dalam tahap membahayakan tidak mampu mencipta kohesivitas dan sering membuat peta jalan konflik kian mengangga antarmasyarakat.

Membaca perasaan publik dan sensitifitas sosial itu kini menjadi tugas yang tidak kalah peliknya. Parpol harus menjadi garda depan bersama publik agar eksistensi dan perannya selalu kelihatan relevansi dan fungsinya di masyarakat. Jangan sampai wujuduhu ka adamihi, adanya sama dengan tidak adanya dan parpol hanya bersemangat menjalankan fungsi itu hanya pada saat menjelang pemilu dengan orietasi sesaat mengaet suara semata.

Ya parpol harus diakui sering abai terhadap situasi ini dengan membuat agenda selfish tanpa peduli dan emphatik kepada kepentingan dan rasa publik. Hal ini penting untuk diingatkan agar parpol benar-benar bisa membangun rumah besar warga. Rumah yang nyaman bagi publik untuk mau berteduh, mendialogkan, dan mencari solusi terbaik bagi mereka. Publik bisa leluasa mengadukan segala bentuk kesulitan hidupnya, dan parpol bisa turutserta menyemai harapan harapan dan gagasan gagasan baik sehingga bisa menjadikan parpol sebagai rumah kedua masyarat agar masyarakat bisa kuat menghadapi segala dan semua cobaan dan perubahan lingkungan yang serba cepat saat ini.

Nihilitas sensitifitas ini bisa kita amati akhir-akhir ini dan menjadikan parpol menjadi tumpuan kritik publik tiada henti. Parpol menjadi bulan bulanan sasaran kritik publik hingga tingkat kepercayaan publik terhadap parpol selalu rendah. Refleksi atas semua ini adalah dengan membangun peta jalan politik baru yakni menguatkan politik emphatik, politik mengayomi. Jangan sampai ditengah banyak duka dan cobaan parpol justru pesta pora tidak memiliki kepekaan dengan apa yang sedang ddihadapi masyarakat dan lingkungannya. Hal itu akan kian membuat gab apa yang seharusnya dan senyatanya ada dalam parpol kian menjauh. Sudah waktunya parpol terus mengasah kepekaan dan selalu bersama logika, ekspektasi, dan harapan publik sehingga mampu membangun politik. Hal hal fundamental menyangkut fear dan kenyamanan publik juga menjadi bagian dari tugas abadi parpol dan para politisi guna turut serta menciptakan situasi kondusif, nyaman, dan bahagia.

Last but not least, publik jelas menginginkan parpol dan para poltisi yang emphatik, bisa mengayomi dan terus mau membersamai masyarakat dalam kondisi sulit. Parpol harus terus merevitalisasi peran dengan memiliki kepekaan sosial yang tinggi, kepekaan lingkungan yang kuat. Jenis parpol dan politisi dengan gen seperti ini yang akan bisa punya jaminan memenangkan suara dalam konteks pemilih kita yang masih banyak memilih dalam diam serta wait and see. Semoga.

*)penulis adalah Peneliti SSC, Dekan FISIB UTM

 

No More Posts Available.

No more pages to load.