Pendiri NU Bondowoso KH. Syamsuri Dinobatkan Sebagai Tokoh Daerah

oleh -840 Dilihat
oleh
Keluarga Pendiri NU di Bondowoso, KH. Syamsuri

BONDOWOSO, PETISI.CO – KH. Syamsuri sebagai Tokoh Pendiri NU di Bondowoso dinobatkan sebagai tokoh daerah. Penobatan merupakan inisiasi dari Ketua PC NU Bondowoso.

Di Kabupaten Bondowoso, Kecamatan Wonosari, tepatnya di Desa Pelalangan lahir seorang tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, konon dia lahir dari tokoh agama dan kepala desa di desa plalangan, sebut saja KH. Syamsuri yang lahir pada tahun 1901 Hijriyah.

Penerimaan buku sejarah sari keluarga KH. Syamsuri

Awal cerita, di tahun 1926 K.H. Syamsuri mendapat ijin dan doa restu Syaikhona Cholil Bangkalan untuk mendirikan Pondok Pesantren di Desanya, Sejak saat itu surau yang didirikan menjadi Masjid yang di kenal dengan nama Masjid Wakaf (sekarang dikenal masjid Assyamsuri).

Mohammad Nurhudan, S.Sos., M.Si., salah satu keturunan ke 3 mengungkapkan kala di temui di sela-sela acara Haul Akbar KH. Syamsuri. Sabtu petang (16/12/2023). Dimasa itu pemerintah Belanda melarang mendirikan masjid di desa kecuali masjid jamik di kota kewedanan.

Sikap menentang terhadap penjajah untuk tetap berjuang mendirikan masjid bagi masyarakat muslim Desa Pelalangan menyebabkan K.H. Syamsuri dipanggil dan ditahan selama 3 hari oleh Wedono Wonosari.

“Sehingga untuk menghindari penangkapan ia bersama masyarakat Pelalangan melaksanan sholat Jumat tepat waktu ataupun sholat jumat setelah petugas dari Kewedanan Wonosari selesai. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa Masjid Pelalangan adalah Masjid pertama yang ada di desa untuk wilayah Kewedanan Wonosari, Kabupaten Bondowoso,” ungkapnya

Lalu dirinya juga mengatakan, pada tahun 1926 K.H. Wahab Hasbullah Jombang berkunjung ke kediaman K.H. Syamsuri sebagai utusan K.H. Hasyim Asy’ari Jombang bertugas untuk mendirikan Cabang NU Bondowoso yang diterima langsung oleh K.H. Syamsuri dan K.H. Asy’ari, dan dengan pertolongan Allah NU Cabang Bondowoso terbentuk dengan susunan pengurus sebagai berikut:

  1. Ketua Tanfidziyah : K.H. Syamsuri desa Pelalangan, Kec. wonosari, Kab. Bondowoso, Jatim
  2. Rois Syuriah : K.H. Asy’ari desa Wonosari, kec. wonosari, Kab. Bondowoso, Jatim
  3. Wakil Syuriah : K.H. Marzuki desa kerang, Kec. Sukosari , Kab. Bondowoso, Jatim
  4. Sekretaris I : H. Abubakar desa tangsil Kulon, Kec. Tenggarang, Kab. Bondowoso, Jatim
  5. Sekretaris II : H. Dahlan desa Tangsil Wetan
  6. Bendahara : H. Abdus Syukur desa tangsil Kulon, tenggarang, Bondowoso, jatim

“Berdasarkan fakta sejarah kedua tokoh Ulama (K.H. Syamsuri dan K.H. Asy’ari) yang pertama (awwalun) secara langsung menerima NU Cabang Bondowoso dari Pengurus Pusat, selanjutnya membidani dan mensosialisasikan keberadaan NU dengan mengajak para kyai dan umat Islam di Bondowoso. Pada waktu itu banyak kyai yang kurang berkenan masuk anggota NU, namun setelah Munas di Tangsil Kulon banyak kyai yang masuk NU,” katanya.

Lalu, ia lelanjutkan, di tahun 1940 K.H. Syamsuri diangkat menjadi KESMAN sebagai wakil dari Kecamatan Wonosari sebagai anggota Dewan daerah dimana wakil-wakilnya satu kecamatan satu orang. Pada tahun 1943 K.H. Syamsuri masih sebagai Ketua Tanfidiyah NU ditangkap oleh pemerintah Jepang yang terkenal dengan Kingpitay selama 1 bulan.

Sejak menjadi ketua Laskar Hizbullah beliau tidak aktif lagi di kepengurusan NU karena negara membutuhkan pejuang-pejuang untuk bahu- membahu antara rakyat dan tentara Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

“Dan pada saat itu K.H. Syamsuri beserta keluarga berjuang menentang Belanda, bahkan rumah beliau digunakan sebagai markas tentara Indonesia pimpinan Mayor Magenda dan wakilnya Kapten Untung, bahkan rumah beliau di bakar oleh Belanda sampai dua kali (tapi hanya bagian dapurnya yang hangus),” tuturnya.

Yang pada akhirnya, dia mengungkapkan, pada tahun 1947 K.H. Syamsuri ditangkap oleh Belanda karena sebagai ketua Laskar Hizbullah Bondowoso, bersama ketiga saudaranya yaitu Mohammad Hasan, Mohammad Da’i, Mohammad Said dan menantunya H. Mohammad Yasin serta dua orang santrinya Abdul Azis dan Hunnah.

Namun Mohammad Hasan dan H.Mohammad Yasin setelah ditawan di Wonosari akhirnya dilepas. Sedangkan K.H. Syamsuri bersama yang lain dibawa ke penjara Bondowoso dan dikirim ke penjara Bubutan Surabaya yang terkenal dengan Gerbong Maut, dan di tawan di penjara bubutan Surabaya selama 2 tahun 2 bulan.

“Pada tahun 1950 tiga bulan setelah penyerahan Kedaulatan RI dan pindahnya ibukota negara dari Jogjakarta ke Jakarta, K.H. Syamsuri beserta dua orang sahabatnya yaitu K.H. As’ad Syamsul Arifin pengasuh P.P. Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Asembagus, Kab. Situbondo dan K.H. Ghozali pengasuh P.P. Daruth Tholabah,Wonosari, Kab Bondowoso silaturrahmi ke Istana Negara RI menemui Presiden Ir. Soekarno.

Dengan tujuan menunaikan nadzarnya K.H. Syamsuri sewaktu di dalam gerbong maut, beliau bernadzar bila negara ini sudah merdeka beliau akan datang ke istana untuk silaturrahmi pada Presiden Soekarno.

Beliau bertiga diterima dengan tangan terbuka oleh Presiden Soekarno, pada saat itu presiden Soekarno mengajak K.H. Syamsuri keruang keluarga dan dikenalkan kepada ibu Fatmawati yang pertama kali menjahit bendera pusaka merah putih, bahkan Presiden Soekarno berpesan agar para Kyai tidak terjun dalam politik praktis, dengan harapan bisa membina Pesantren secara maksimal.

“Setelah dari Istana Negara RI, ketiga tokoh tersebut langsung menghadiri rapat Syuriah NU di Jakarta,” ulasnya.

K.H. Syamsuri wafat pada tahun 1963 dimakamkan di makam keluarga di Belakang Masjid Assyamsuri di desa Pelalangan kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso Jawa Timur.

Lelaki yang akrab disapa mas Hudan ini yang kesehariannya bekerja di Universitas Jember berharap, akan ada pakar sejarah atau mahasiswa yang meneliti tentang fakta tersebut yang dirasa selama ini simpang siur, di versi sejarah NU ditemukan bahwa masih bersifat sementara, belum mempunyai kekuatan dan nilai sejarah sesuai fakta yang ada.

“Kami dari keluarga akan mensupport baik sejarawan atau mahasiswa yang masih menempuh atau sedang mencari bahas skripsi, kami akan support baik anggaran ataupun data-data pendukungnya,” tutupnya.

Sementara itu, KH. Abdul Qofir Syam, Ketua Tanfidziyah PCNU Bondowoso menyampaikan permohonan maafnya kepada keluarga. Pasalnya, dirinya mengakui organisasi yang ia pimpin hanya meneruskan apa yang sudah adanya, tidak pernah berupaya sebagai mana dahulu diperjuangnakan.

“Kadi kita hanya memetik buahnya saja, tidak mau merawat apa yg menjadi dasar berdirinya NU di Indonesia,” katanya.

Dirinya sangat mengapresiasi kegiatan yang dilaksanakan oleh keluarga dari alm. KH. Syamsuri yang sengaja mengusung tema “Napak Tilas Perjuangan KH. Syamsuri” ini.

“Keluarga mempunyai upaya untuk mengingatkan bahwa keberadaannya, dimana NU dahulu diperjuangkan, mungkin dari daerah-daerah yang didirikan, ada kemungkinan Kabupaten Bondowoso merupakan Organisasi NU pertama di Indonesia,” katanya.

Lalu dirinya menuturkan, pada masa itu tidak ada alat komunikasi apapun, namun apa yang dicita-citakan dapat terwujud. Menariknya pendirian NU di Bondowoso bersamaan dengan berdirinya NU di Pusat yang diselenggarakan di Surabaya waktu itu tanpa adanya alat komunikasi seperti sekarang ini, kami belum tahu pasti pendirian NU di Bondowoso ini, atau mungkin beliau (KH. Syamsuri) merupakan santri dari kyai Kholil Bangkalan. (cah)