Pilkada di Tengah Pandemi, Berebut Suara atau Bertaruh Nyawa?

oleh -171 Dilihat
oleh
Oleh : Muhamad Abrar Ghifari*

Tidak terasa 2 bulan lagi, tepatnya tanggal 9 Desember 2020, akan digelar pesta demokrasi di negara kita tercinta. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak sudah ada di depan  mata, para pasangan calon (paslon) dengan timses-nya telah memulai kampanye di berbagai penjuru daerah.

Pilkada kali ini terasa berbeda, mengingat sudah hampir 7 bulan pandemi Covid 19 ada di Indonesia. Tercatat, hingga saat ini total korban positif sudah mencapai 303.498 kasus, dengan rata-rata penambahan jumlah kasus positif setiap harinya mencapai 2.000 orang.

Sudah seharusnya, pemerintah menjadikan hal ini sebagai bahan pertimbangan untuk pelaksanaan Pilkada yang akan berlangsung sebentar lagi. Dengan memaksakan pilkada tetap diselenggarakan, tentunya hal ini bisa merubah ajang pilkada ini menjadi ritual bunuh diri masal.

Kita mempercayakan kepada KPU untuk melindungi pemilih, tapi dua komisioner KPU saja kena Covid-19. Dan para calon yang ingin meyakinkan kita itu ada 62 yang kena Covid-19.

Pelaksanaan Pilkada juga akan meningkatkan resiko penularan virus corona yang bisa berujung dengan bertambahnya korban jiwa.

Jika pilkada tetap dilaksanakan, akan terjadi bencana kemanusiaan, karena banyaknya korban jiwa. Selain itu juga hal ini akan menjadikan pilkada kali ini sebagai sebuah bencana politik dan demokrasi ini akan terkenang mundur dan dicatat sebagai momen yang gelap dalam demokrasi kita.

Jika KPU tetap bersikeras untuk mengadakan pilkada, maka KPU wajib merubah cara kampanye para paslon menjadi daring untuk meminimalisir kerumunan, dengan memanfaatkan teknologi yang ada, sosialisasi via media sosial atau cara lainnya.

Meskipun beberapa paslon sudah mulai melakukan kampanye secara daring, seperti yang dilakukan calon walikota Solo, Gibran Rakabuming. Gibran menggunakan virtual box untuk mendengar aspirasi dari masyarakat, namun hal ini tidaklah efektif, mengingat karena adanya virtual box ini masyarakat malah berkumpul, membuat kerumunan, karena penasaran dengan adanya alat ini.

Maka, langkah terbaik yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan menunda pelaksanaan pilkada ini hingga kondisi membaik.

Keselamatan rakyat harus menjadi prioritas pemerintah. Pemilihan kepala daerah bisa ditunda nanti, tapi nyawa yang hilang tidak akan pernah bisa kembali.(#)

*)penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fisip Universitas Airlangga

No More Posts Available.

No more pages to load.