Pengamat: Politik Identitas Silahkan! Asal Demokratis

oleh -117 Dilihat
oleh
diskusi publik bertema Cegah Agama Disalahgunakan Menjadi Alat Politik, di ruang hampa.id, kawasan Lenteng Agung Raya Jakarta Selatan

JAKARTA, PETISI.CO – Memperjuangkan politik identitas di Indonesia dianggap sah-sah saja, asal dilakukan dengan cara-cara yang demokratis. Namun siapapun dilarang memaksakan faham keagamaan melalui cara-cara non demokratis atau kekerasan.

Demikian disampaikan pengamat politik Universitas Al Azhar, Zaenal Budiyono dalam diskusi publik bertema Cegah Agama Disalahgunakan Menjadi Alat Politik, di ruang hampa.id,  kawasan Lenteng Agung Raya Jakarta Selatan, Kamis 21 Desember 2017.

Menurut lelaki asal Jepara ini, Indonesia sudah lama mengenal yang namanya politik identitas. Seseorang tentu akan mencalonkan diri di daerah yang memiliki kedekatan identitas, entah itu daerah, suku, maupun agama  yang banyak dianut warganya.

“Kalau misalnya saya mau mencalonkan diri tentunya akan memilih di Jepara karena saya punya teman kecil yang bisa saya manfaatkan meraih suara. Bukan di Jakarta atau di daerah lain,” katanya mencontohkan.

Sayangnya, akhir-akhir ini eskalasi aspirasi keagamaan itu meningkat. Zaenal mencontohkan, kasus yang menimpa mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kasus Ahok, baginya merupakan permasalahan yang sifatnya sementara. Ujaran Ahok kian membesar lantaran ada faktor eksternal dan internal yang mempengaruhinya.

“Faktor internal di Jakarta misalnya. Ucapan Gubernur Ahok waktu itu, maaf-maaf, hingga membuat reaksi di masyarakat. Sementara faktor eksternal adalah meningkatnya eskalasi politik identitas di sejumlah negara. Sebelumnya (Presiden AS Donald) Trump juga menerapkan kampanye politik rasis yang membuat sentimen di banyak negara,”papar Zaenal.

Baca Juga : Geliat Radikalisme Islam Karena Kesalahan Persepsi di Masyarakat

Namun dirinya menyebut, sebelum permasalahan Pilkada Jakarta sebenarnya di banyak daerah di Indonesia juga banyak yang menerapkan politik identitas. Untungnya, impact dari suhu panas politik identitas itu hanya terjadi pada saat pemilihan saja, yakni hanya di media, perdebatan dan sosial media.

“Menurut saya itu jauh lebih beradab daripada jika panasnya di masyarakat, di lapangan. Itu yang tidak sehat,” katanya.

Karena itulah, Zaenal menggarisbawahi bahwa agama dalam konteks perjuangan politik masih bisa dimaklumi selama dilakukan dengan cara-cara yang demokratis. Pasalnya, demokrasi memberikan ruang bagi ideologi apapun untuk bertarung dalam percaturan politik. Zaenal mencontohkan, di Eropa ada gerakan yang namanya Kristen Kanan yang sangat keras. Begitu juga di Indonesia ada yang namanya fundamentalism Islam. Selama tidak melanggar apa yang digariskan Pancasila, semua itu masih diperbolehkan.

“Itu (politik identitas) sah-sah saja untuk diperjuangkan selama melalui demokrasi.  Karena demokrasi memberi ruang itu. Yang tidak boleh adalah memaksakan faham keagamanan melalui cara-cara non demokrasi atau kekerasan, apapun agamanya,” tegasnya.(sdk)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.