Saksi Sebut Setorkan Rp 250 Juta ke Walikota

oleh -34 Dilihat
oleh
Mendengarkan keterangan empat saksi yang digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya

Sidang Dugaan Korupsi Pasar Besar Madiun

SURABAYA, PETISI.CO – Empat saksi dihadirkan dalam sidang perkara dugaan korupsi pembangunan Pasar Besar Madiun (PBM) tahun 2009-2012 yang melibatkan Walikota Madiun Bambang Iriant sebagai terdakwa.

Empat saksi itu adalah Harsono Lupito (PT Bumi Pembangunan Pertiwi), Suharyono (Kepala PT Lince Romali Raya Cabang Surabaya), Jamhadi (PT Tata Bumi Raya) dan Ferry Susanto (pemilik toko UD Besi Remaja).

Pada kesempatan pertama, Harsono mengaku dimintai tolong oleh Bambang untuk membantu menjadi pemasok material bangunan dalam proyek pembangunan PBM. Itu dilakukan setelah pembangunan PBM macet.

“Awal 2011 saya ditelepon pak Bambang,” ujar Harsono.

Sebagai pemasok semen, besi dan asbes, dia sempat ragu. Dia sempat menanyakan siapa yang akan menanggung semuanya. Ternyata BI mengatakan bahwa dia yang akan jadi jaminannya.

“Untuk keamanan, semua nota atas nama pak Bambang,” lanjut pengusaha asal Kabupaten Madiun ini.

Sedangkan Suharyono mengakui bahwa dirinya lah yang mengurus dana retensi yang nilainya 5% dari nilai proyek. Atau sekitar Rp 3,37 miliar. Karena saat itu, dia menggantikan posisi direktur PT LRR yang lama, Berry Simson.

“Saya dipanggil pak BI untuk membahas pencairan dana retensi,” terangnya.

Setelah uangnya cair, Suharyono melapor ke Purwanto (mantan Kadis PU) dan BI. Dari pertemuan itu, disepakati uang untuk Ali Fauzi diserahkan ke BI.

Padahal, menurut keputusan pengadilan perdata, dana retensi itu harusnya dibagi kepada tiga pihak. Yaitu M Ali Fauzi mendapat jatah Rp 2,26 Miliar, PT Tata Bumi Raya Rp 740 juta dan Berry Simson sebesar Rp 280 juta.

Sementara Jamhadi banyak menceritakan bagaiamana awal dia bertemu Musa Supriyanto (mantan direktur PT LRR) sampai keterlibatan dirinya sebagai sub kontraktor PT LRR dalam pembangunan PBM.

“Maret 2011 tanda tangan kontrak sebagai sub kontraktor,” bebernya.

Mengenai uang retensi, dia mengaku sebenarnya uang itu lebih kecil daripada utang PT LRR kepada pihaknya. Utang PT LRR lebih besar, sekitar Rp 1,79 miliar. Tapi putusan pengadilan hanya Rp 740 juta. Parahnya, uang yang diterimanya hanya Rp 627 juta.

“Dipotong lagi untuk biaya keamanan, kebersihan, dll,” jelasnya.

Terakhir adalah Ferry Susanto pemilik toko bangunan UD Besi Remaja itu mengaku kenal Bambang sejak sebelum menjadi wali kota.

“Ketika bangun rumah, pak BI sudah sering beli material ke kami, jadi sudah biasa saja,” terangnya.

Termasuk dalam proyek pembangunan PBM. Seringkali orang proyek datang dan membeli bahan bangunan. Namun, dia mengaku dirinya tidak ikut tender pembangunan PBM. Juga tidak mengenal kontraktor yang membangun. Hanya saja, kontraktor tersebut membeli material di tokonya.

“Itu saja hanya kecil-kecil nilainya,” terangnya. Sempat juga, BI yang membeli dan melakukan pembayaran langsung.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyinggung terkait upeti yang diberikan kepada BI. Sekitar pertengahan 2013, Ferry berencana membangun hotel Amaris di Jl Kalimantan, Kota Madiun. Nah, untuk pembangunan hotel bintang dua itu, Ferry mengaku membayar sebesar Rp 150 juta. Alasannya untuk biaya perinjinan. “Saat itu saya dipertemukan kepala dinas terkait,” ujarnya.

Tidak hanya itu, ada biaya tambahan yang diminta BI. Jumlahnya bahkan lebih besar. Yaitu Rp 250 juta. Kali ini, latar belakangnya tidak jelas.

“Sebenarnya saya cuma bawa Rp 200 juta, tapi katanya pak BI uang itu kurang Rp 50 juta, saya setorkan hari itu juga,” bebernya.

Menanggapi keterangan keempat saksi, kuasa hukum terdakwa, Indra Priangkasa menganggap keterangan Harsono justru menguntungkan kliennya. Karena membuktikan bahwa Bambang benar-benar memberikan penyertaan modal sekitar Rp 4 miliar. Bahkan, Suharsono hanya mau mensuplai kalau ada jaminan dari Bambang.

“Kalau tidak ada suplai material, siapa yang mau melanjutkan?” tanyanya.

Dia juga berkilah bahwa uang Rp 150 juta untuk perijinan sudah dilakukan secara transparan. Di depan para kepala dinas dan pejabat terkait. Namun, Indra menolak menjelaskan tentang upeti Rp 250 juta yang diberikan Ferry. “Itu saya tidak tahu, tanyakan langsung saja kepada terdakwa,” pungkasnya.(kur)