Ade Firmansyah Sebut Jumlah Dokter Spesialis Forensik di Indonesia Masih Sangat Minim

oleh -738 Dilihat
oleh
Ketua PDFI periode 2019-2022 Dr. dr. Ade Firmansyah Sugiharto, Sp.FM(K) saat memberikan pemaparan dalam PIT dan Muktamar PDFI Tahun 2022 di Hotel Gumaya Kota Semarang

SEMARANG, PETISI.CO – Masih minimnya jumlah dokter spesialis forensik yang ada di Indonesia menjadi kendala tersendiri oleh para dokter saat menangani kematian seseorang, utamanya dalam pembuktian ilmiah suatu kasus. Apalagi kasus yang terjadi atau tempat kejadian perkaranya berada jauh dari fasilitas instalasi forensik yang ada.

Ketua Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) periode 2019-2022 Dr. dr. Ade Firmansyah Sugiharto, Sp.FM(K) mengungkapkan, jumlah dokter forensik yang ada di Indonesia saat ini masih sangat minim, sehingga diperlukan perhatian pemerintah agar kedepannya, setiap kabupaten kota di Indonesia bisa tersedia minimal satu dokter spesialis dan satu instalansi forensik.

Sekarang ini, kata Ade Firmansyah, jumlah dokter forensik di Indonesia baru ada 283 orang yang tersebar tidak sampai 34 Provinsi, bahkan di beberapa provinsi masih ada yang kosong.

“Kita lihat saja misalnya, dalam rangka pembuktian ilmiah suatu kasus forensik ya, kasus pidana, itu kita membutuhkan fasilitas pertama adalah instalasi forensiknya. Kedua tentu laboratorium penunjangnya, baik itu misalnya laboratorium untuk pemeriksaan barang bukti, laboratorium untuk pemeriksaan organ tubuh atau cairan tubuh, itu semua termasuk pemeriksaan zat-zat yang ada di dalam tubuh seperti zat-zat racun dan lain sebagainya. Itu yang memang memerlukan suatu kerja sama dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” ujarnya saat ditemui di sela-sela kegiatan Pertemuan Ilmiah Tahunan dan Muktamar PDFI Tahun 2022 di hotel Gumaya Kota Semarang, Sabtu (19/11/2022).

Ade menerangkan, dengan menetapkan suatu standar layanan, diharapkan bisa mengadvokasi pemerintah agar layanan dokter forensik di seluruh wilayah Indonesia itu kualitasnya sama tidak berbeda-beda.

“Jangan hanya misalnya karena di Jateng nih ya karena di Semarang jadi bagus, tapi nyuwun sewu begitu kita di Brebes, Brebes itu tidak ada dokter forensiknya lho. Nah jadi yang otopsi di sana siapa?, Apakah setiap kasus akan tertangani dengan baik, tentu kualitasnya beda dengan di Jateng,” ucapnya.

Ke depannya, PDFI, lanjut Ade akan terus mendorong pemerintah supaya punya atensi lebih, sehingga diharapkan pemerintah pada akhirnya dapat memberikan dukungan terhadap program kerja yang sudah dijalankan oleh PDFI.

“Seperti yang kita contoh ini Pemkot Semarang, laporan dari dokter Tuntas, Pemkot Semarang mendukung sekali kegiatan kita ini, makanya kita harapannya dari hasil di sini nanti kita bisa bawa dan kita dukung. Tujuannya apa, tujuannya supaya pemerintah itu kan harus memberikan hak atas keadilan, hak atas kesehatan, salah satu bagian dari hak kesehatan itu adalah juga hak hukumnya dia ketika dia menjadi korban, baik hidup ataupun mati, ditangani dengan baik, ditangani oleh dokter juga yang berkualitas, memiliki kompetensi yang sesuai, dan bukti-bukti yang ada juga dapat diproses secara ilmiah sehingga akhirnya hak-hak hukumnya juga terpenuhi,” kata Ade.

Belum meratanya jumlah dokter forensik yang ada di Indonesia salah satu penyebabnya adalah kurang adanya minat para lulusan dokter-dokter untuk melanjutkan spesialisasi ke forensik medikolegal.

“Tapi sekarang kita lihat trend ya, dari 283 dokter forensik ini kita punya 88 residen atau PPDS yang sedang pendidikan di 7 sentra pendidikan dokter forensik mulai dari USU, UI, Undip, Unpad, UGM, Unair dan Unhas. Lha dari tujuh ini kita punya 88 artinya kedepan dengan seperti ini seharusnya insyaallah kita produksi untuk lulusan dokter forensik itu akan bisa bangkit, sambil kita juga mendorong fakultas-fakultas kedokteran lainnya untuk bisa membuka prodi spesialisasi forensik,” ujar Ade.

“Harusnya untuk satu kabupaten kota ada satu fasilitas instalasi forensiknya, coba bayangin, satu kabupaten kota besar ya minimal satu, dan dokter forensiknya minimal empat, kalau cuman satu orang setengah mati dia, kalau kita shif-shifan itu kan pagi sore malam, terus belum lagi kita peran forensik itu bukan hanya di kamar mayatnya saja di instalasi forensiknya, mulai dari TKP sampai ke saksi ahli di sidang pengadilan, lha kalau dokter forensiknya cuman satu kan pasti bisa dibayangkan,” ungkapnya. (lim)