Demokrasi dan Politik Identitas : Meneropong Pemilu 2024

oleh -149 Dilihat
oleh

Oleh: Muhamad Sufyan*

Indonesia tidak lama lagi akan menggelar perhelatan politik akbar, yaitu Pemilihan umum (Pemilu), dilaksanakan pada 2024 mendatang. Seolah pemilihan umum (pemilu) yang sejatinya adalah konsolidasi dan kontestasi demokrasi sebagai sarana sirkulasi kepemimpinan nasional, berubah menjadi gelanggang pertarungan antarkelompok masa. 

Meskipun pelaksanaan pemilu masih 2024 mendatang, akan tetapi suhu politik di republik ini mulai memanas, bahkan ada beberapa nama tokoh nasional sudah mengambil ancang-ancang untuk maju sebagai bakal calon Presiden atau Wakil Presiden. Beberapa nama yang beredar di masyarakat maupun media masih bersifat spekulatif, diantaranya Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Muhaimin Iskandar, Puan Maharani, AHY, Erick Tohir, dan bahkan mantan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.

Namun demikian, Pemilu yang akan diselenggarakan tahun depan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kondisi sosio-kultur masyarakat Indonesia. Bahkan saya meyakini bahwa tipologi atau sosio-kultur masyarakat memiliki dampak terhadap penyelenggaraan pemilu 2024. Sebagian masyarakat Indonesia masih ada yang meyakini bahwa pemilu adalah momentum penting penegasan identitas kelompok dalam ranah politik praktis. Sedangkan di sebagian pihak berpandangan bahwa pemilu harus dilihat sebagai pertaruhan besar guna menghadapi ancaman runtuhnya fondasi kebangsaan.

Narasi kebhinekaan dan multikulturalisme terus direproduksi dalam berbagai wacana di pelbagai ruang publik. Akibatnya, polarisasi antarkutub pun terjadi: kelompok keagamaan Vs kelompok kebhinekaan. Dan ketika “politik identitas/aliran”  yang lebih mendominasi, maka pemilu bisa menjadi pil pahit bagi demokrasi. Kontradiksi ini lahir dari ruang yang dibuka dengan basis suara terbanyak.

Di satu sisi, demokrasi dapat menjadi lahan subur bagi lahirnya partisipasi. Namun, di sisi lain demokrasi memiliki kerentanan dijadikan media dan jalan perubahan, bahkan bagi mereka yang tidak menghendaki adanya demokrasi. Di level ini, demokrasi pada akhirnya seolah sedang menggali kuburnya sendiri.

Politik identitas/aliran bermasalah bagi demokrasi setidaknya dilihat dari dua hal utama. Pertama, demokrasi lahir dan tumbuh dari prinsip kesetaraan dan rasionalitas publik. Politik identitas/aliran, di level ini berusaha menginterupsinya dengan menjadikan pilihan publik berjangkar pada ikatan primordial seperti kesamaan etnisitas, kesukuan dan agama. Hal tersebut tidak bermasalah sejauh kualitas, kredibilitas dan rekam jejak calon menjadi pertimbangan lain. Namun, politik identitas/aliran akan bermasalah ketika ikatan emosional jauh lebih dikedepankan dibanding alasan yang lebih rasional.

Kedua, politik identitas/aliran riskan untuk digiring menjadi praktik yang monolitik. Pemaksaan kehendak sebagai perwujudan truth claim dikhawatirkan akan menambah segresasi sosial di tengah masyarakat. Rajutan persatuan dan kesatuan bangsa pada titik ini tentu akan mendapati tantangan yang amat serius. Sementara, dalam konteks konsolidasi demokrasi untuk sebuah negara-bangsa yang plural seperti Indonesia, kohesivitas sosial adalah salah satu syarat demokrasi substansial dapat tumbuh subur dan berkembang.

Secara politis, gelombang politik identitas yang terjadi di Indonesia diperkirakan akan sampai dan ikut mewarnai perhelatan pemilu 2024 dan pilkada serentak 2024.

Hadirnya wacana politik identitas menyebabkan munculnya isu-isu sensitif menggelinding menjadi bola salju yang tidak bisa dikendalikan. Perdebatan dan persaingan politik pada pemilu mendatang berkembang jauh dan ditunggangi oleh berbagai pihak dengan berbabagi agenda dan kepentingan politik masing-masing. Isu-isu mengenai eksistensi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), falsafah negara Pancasila, dasar negara UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika menjadi perdebatan yang liar dan melibatkan saling klaim satu pihak untuk menjatuhkan pihak lainnya.

“Politik identitas/aliran” yang berdasarkan pada pilihan agama dan faktor-faktor primordialisme yang menjadi indikator masyarakat politik tradisional, secara kasat mata sudah mulai terlihat. Meskipun hal ini dibantah, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan secara jelas pola kemunculan “politik aliran” ini. Dalam masyarakat urban yang didominasi kelas menengah yang rasional, semestinya politik aliran tidak banyak diikuti karena masyarakat lebih cenderung melihat program politik daripada isu-isu primordialisme. Tetapi, hal demikian tidak dapat dihindari karena gencarnya terpaan media konvensional dan media sosial yang menyebabkan isu-isu aliran mendapatkan perhatian yang sangat besar.

Harus diakui bahwa tidak mudah menghilangkan sama sekali gerakan politik aliran di Indonesia, karena kontur demografi Indonesia yang memang secara tradisional terbagi ke dalam aliran-aliran primordial dan agama itu. Tetapi, pengelolaan politik aliran yang sangat pragmatis dan cenderung mengorbankan pilar-pilar kebangsaan yang sudah menjadi konsensus nasional, adalah tindakan politik yang membahayakan eksistensi bangsa.

Relevansi Pemilu dan Tipologi Politik Masyarakat Indonesia

Tidak bisa dipungkiri bahwa ada upaya-upaya untuk ‘’mengekspor’’ isu-isu terkait pemilu oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu. Hal bisa dimaklumi karena pentingnya kontestasi politik nasional. Isu-isu SARA mulai mewarnai dan dihembuskan serta dikobarkan di Indonesia.

Wacana ini telah tercium oleh para elite politik dan beberapa kelompok masyarakat di Indonesia. Meski belum secara terang-terangan dimunculkan tetapi asapnya yang samar-samar sudah tercium. Karena itu sebagai antisipasi sudah mulai muncul gerakan agar isu-isu sensitif itu tidak sampai berimbas. Gerakan informal ini sudah mulai mengemuka dan mendapat sambutan yang sangat positif di kalangan elite politik dan masyarakat Indonesia.

Penyebaran berbagai konten informasi secara tidak langsung ikut menyuburkan kampanye politik identitas. Seringkali, pesan yang hendak disampaikan bersembunyi di balik wacana soal ketidakadilan, diskriminasi, dan pemihakan pada golongan minoritas atau golongan tertertu.

Berbagai narasi itu terus direproduksi dengan menyasar segmen pemilih emosional. Pada akhirnya, penggiringan opini dilakukan tanpa ada upaya konfirmasi pada sumber utama. Kalau kita belajar dari banyak momentum politik sebelumnya, media sosial memang ampuh menjadi instrumen penggiringan wacana.

Kita semua tentunya mengharapkan Pemilu 2024 mendatang sebagai momentum yang dapat membawa bangsa ini pada kematangan berdemokrasi. Sebuah praktik sirkulasi kepemimpinan nasional yang dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah dalam momentum pilkada 2024. Praktik berdemokrasi yang sehat dan terbuka harus di kedepankan, karena tugas kita bersama guna menjaga dan merawat Indonesia. Sehingga siapapun figur yang nantinya akan mempimpin Indonesia kedepan, mampu menjadi perekat dan pemersatu bagi seluruh lapisan/elemen masyarakat Indonesia.(#)

*)penulis adalah aktifis kepemudaan dan pengamat demokrasi

No More Posts Available.

No more pages to load.