Sidoarjo, petisi.co – Kasus dugaan suap vonis bebas perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng hingga berujung penangkapan 3 hakim dan seorang Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan oleh tim Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa waktu lalu, ramai diperbincangkan publik.
Kasus suap atas vonis bebas yang melibatkan hakim bukan kali itu saja. Sebelumnya di kota Surabaya, 3 hakim yang menangani perkara Ronald Tanur dan seorang eks Ketua (PN) Surabaya juga ditangkap tim Kejagung atas dugaan suap jual beli vonis bebas.

Banyaknya hakim yang ditangkap dalam kasus suap vonis bebas, sempat mencuat menjadi pembahasan hangat pada seminar nasional yang digelar Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (LKBH UMSIDA), Senin (21/4/2025).
Menurut pakar hukum Dr. Prawitra Thalib S.H.,M.H.,ACIArb, sistemlah yang membuat terbukanya ruang suap. Seorang hakim yang baik bisa saja terperosok dalam suap perkara persidangan jika tidak tahan godaan.
“Model pertama, sistem yang buruk lalu dimasukan hakim dengan karakter good person. Jika dalam perjalanan karirnya banyak godaan materi maka bisa dengan mudah terpengaruh suap. Demikian pula sebaliknya sistem yang baik, jika ada hakim yang bad person dimasukan ke dalamnya, bisa dipastikan ia berubah menjadi baik pula,” terangnya.
Prawitra berpendapat jika aparat penegak peradilan yang paham bahwa suap itu melanggar hukum maka hukuman yang dijatuhkan kepadanya harus diperberat. Seperti contoh hakim terima suap sudah sepantasnya mendapat ganjaran hukuman berat.
“Kalau ada penegak hukum menyalahgunakan kekuasaan dan mempermainkan hukum maka hukumannya harus lebih berat daripada hukuman orang biasa,” tegasnya.
Kaprodi S2 Kajian Ilmu Kepolisian Sekolah Pascasarjana Unair ini menganalogikan jika orang mencuri di toko diancam 5 tahun lalu divonis 1 tahun kemudian didapati pegawai toko mencuri di tempatnya kerja, otomatis hukumannya harus lebih berat karena ia tahu seluk beluk disitu.
“Analogi hukuman bagi pelaku pencurian di toko oleh pembeli dan pegawai itu saya ibaratkan dengan hakim yang mempermainkan hukum harusnya dihukum lebih berat atau seberat beratnya,” tutur Prawitra.
Bahkan, imbuhnya untuk memberi efek jera bagi aparat penegak hukum lainnya, hakim yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, sepatutnya dijatuhi hukuman mati.
“Hakim yang bermain seperti itu harus dikenai pemberatan. Kalau orang biasa dihukum 5 atau 10 tahun. Maka hakim yang terima suap jual beli vonis bebas sudah sepantasnya dihukum mati. Supaya ini jadi pembelajaran bagi aparat penegak hukum yang lainnya,” pungkasnya. (luk)