Terkait Laporan Notaris Carolina C
SURABAYA, PETISI.CO – Perkara Henry J Gunawan menjadi perhatikan khusus dan pemantauan dari Komisi Yudisial (KY). Semua ini dilakukan dalam pencegahan hakim supaya tidak melanggar kode etik. Apalagi, kasusnya kini menjadi sorotan Publik.
Anehnya, pantauan KY terkait perkara laporan Notaris Carolina yang dilakukan terdakwa Henry J Gunawan, KY tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya saja Ali S, Komisi Yudisial bemberikan keterangan, kalau ada 10 kode etik perilaku hakim dalam persidangan yang harus ditaati.
“Dari 10 poin itu masih ada penjabaran dan pengembangan,” jelas Ali S.
Diketahui, dalam sidang pemeriksaan terdakwa bos PT Gala Bumi sebagai saksi perkara penipuan dan penggelapan atas laporan notaris Carolina terkait jual beli tanah Celaket, Malang, di hadapan ketua majelis hakim Puguh, saksi perkara terdakwa Henry J Gunawan, membantah beberapa pertanyaan Ali Prakoso, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Surabaya.
Sementara, dari salah satu tim kuasa Henry melontarkan pertanyaan yang menyudutkan dirinya. Henry tak dapat menunjukkan bukti bahwa uang Rp 5 miliar yang ia terima adalah hutang piutang.
Henry J Gunawan mengaku uang yang ia terima tersebut dari Heng Hoek Sui dan diakui sebagai utang piutang.
Namun Henry tak bisa berkelit saat salah satu dari tim kuasa hukumnya menanyakan bukti formal atas klaim pengakuan hutang piutang itu.
Henry mengaku bahwa kesepakatan itu hanya dituangkan dalam kesepakatan lisan. “Uang Rp 5 miliar itu utang piutang antara saya denga Hoek Sui,” dalih Henry di hadapan Ketua Majelis Hakim Unggul Warso, Senin, (5/2/18/2018).
Disinggung kenapa timbul Ikatan Jual Beli (IJB), Henry menjawab sekenanya, “Saya tidak kenal Hermanto, utang piutang itu atas nama pribadi, bukan PT, cuma kesepakatan lesan, saya biasa gitu pak sejak dia (Hoek Soei) beli pabrik saya pada tahun 1984,” kata Henry lebih jauh.
Henry melontarkan jawaban ngelantur, bahkan membias dari dakwaan JPU.
“2010 dia (Hoek Sui) mulai merancang sesuatu yang saya tidak tau. Saya lihat semua akte gak jelas, ini saya mau ajukan pembatalan,” imbuhnya.
Keterangan Henry tersebut sebelumnya telah dijelaskan oleh saksi Hoek Sui dalam sidang agenda mendengarkan keterangan saksi. Diceritakan oleh Hoek Sui, bahwa dirinya ditawari dua obyek properti oleh Henry, dan salah satu dari obyek yang ditawarkan oleh Henry adalah SHGB Nomer 66.
Setelah melihat luas tanah, Hoek Sui mengaku tidak tertarik dengan obyek properti yang ditawarkan oleh Henry. Dia kemudian menawarkan obyek SHGB no 66 itu pada Hermanto.
Terjadilah kesepakatan jual beli dengan nilai transaksi sebesar Rp 9,5 miliar.
Rp 5 miliar untuk obyek properti yang ada di jalan Tengku Umar Surabaya dan Rp 4,5 miliar untuk obyek SHGB Nomer 66 yang ada di Malang.
”SHGB No 66, Rp 4,5 milyar, yang di Tengku Umar Rp 5 milyar,” ujar Hoek Sui.
Hermanto adalah keponakan dari Heng Hoek Sui, karena ia belum memiliki uang, Heng Hoek Sui mengaku ialah yang menghandle transaksi pembayarannya pada pihak GBP.
Masalah kemudian muncul, SHGB yang saat itu dipegang oleh Notaris Caroline C Kalampung untuk dilakukan administrasi proses balik nama, ternyata dibawa oleh Yuli, dengan dalih dipinjam sementara untuk dilakukan pengurusan perpanjangan SHGB.
Yuli sendiri diketahui menjabat sebagai legal di perusahaan PT. GBP. Nah, karena SHGB itu belum dibalik nama, pihak GBP ternyata memanfaatkan kesempatan itu untuk menjual kembali SHGB No 66 milik Hermanto.
Dari informasi yang dihimpun pihak GBP menjual kembali obyek properti SHGB Nomer 66 milik Hermanto itu kepada orang lain dengan harga sebesar Rp 10 miliar.
Atas semua kejadian itu Notaris Caroline C Kalampung akirnya melaporkan Henry J Gunawan pada polisi karena dianggap orang yang paling bertanggung jawab atas transaksi jual beli properti ilegal itu.
Setelah dilakukan penyelidikan dan mengumpulkan alat bukti, penyidik Polrestabes Surabaya menetapkan Henry J Gunawan sebagai tersangka.
Perkara bos Pasar Turi itu kemudian bergulir ke Pengadilan. JPU menjerat Henry dengan dakwaan melanggar pasal 372 jo 378 tentang dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan.(irul)