Mengenal Tradisi Kearifan Lokal Pitulikuran Agung di Desa Sumokali

oleh -299 Dilihat
oleh
Para Jama'ah Pengurus Majelis Dzikir di Desa Sumokali

SIDOARJO, PETISI.CO – Ada sebuah tradisi unik yang turun temurun yang berada di Desa Sumokali, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo, yakni tradisi Pitulikuran Agung.

Tradisi Pitulikuran Agung merupakan tradisi kearifan lokal yang diperingati masyarakat sebagai momen sepuluh hari terakhir di pengunjung terakhir puasa, tepatnya di malam ke 27 bulan Suci Ramadan.

Untuk memperingati Tradisi ini, Pengurus Jemaah Majelis Dzikir melalukan rangkaian seperti keagamaan sembari membawa pandangan tentang akidah ahlussunnah waljamaah sedikit demi sedikit mulai diajarkan kepada warga setempat.

Selain itu, animo dalam peringatan malam Pitulikuran Agung sangat tinggi, nampak warga dari luar Desa Sumokali ikut berpartisipasi dalam acara tersebut, bahkan jamaah yang hadir yang dikategorikan dari kaum hawa dan para janda tua dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda.

Dalam tradisi malam Pitulikuran Agung ini, selain diisi dengan kegiatan dzikir bersama juga dilaksanakan kegiatan bhakti sosial dengan membagikan puluhan bahkan sampai ratusan paket sembako kepada para jemaah.

Ust M Lazim Ibnu Mas’ud selaku perwakilan pengurus jemaah majelis dzikir menuturkan, peringatan malam Pitulikuran Agung berlangsung turun temurun.

“Tradisi Pitulikuran Agung mengandung nilai kearifan kosmis hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungan. Karenanya, tradisi ini tidak boleh dihilangkan hingga nanti generasi berikutnya,” tutur Ust Lazim.

“Hal semacam ini sekarang sudah langkah, makanya perlunya dilestarikan, dengan tujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia nikmat yang sudah Tuhan berikan kepada kita,” imbuhnya.

Lazim menjelaskan, ada sisi paling mengesankan dan menarik dari sejarah lahirnya majelis dzikir ini. Awalnya hanya organisasi kecil dengan identik namanya yang nyentrik, yakni santri mbetik. Semula mereka hanya beranggotakan pemuda pemudi desa setempat.

Kemudian, lanjut Lazim, seiring berjalannya waktu organisasi ini berkembang dan berubah namanya menjadi jamiyah dzikir yang mengedepankan nilai-nilai tauhid bersumber dari Alquran dan Hadist Rosulullah SAW, dengan mengamalkan dzikir Asmaul Husnah.

“Nah, dari sinilah sejumlah pengurus menggagas agar jamiyah dzikir tersebut diberikan nama, yaitu Mejelis Dzikrul ‘Asyiqiin’ yang memiliki visi misi membangun peradaban generasi anak bangsa yang beraqidah islamiyah dan berakhlak mulia,” sampainya.

Disematkannya nama ‘ASYIQIIN’, masih kata Lazim, bermula para pengurus organisasi santri mbethik sowan ke beberapa ulama salaf. Salah satunya adalah Romo KH. Maksum Sono Desa Sidokerto Kecamatan Buduran, pada Jumat 11 April 2008.

“Di kediaman Romo Yai Maksum, nama ASYIQIIN tersebut diamanahkan kepada pengurus organisasi santri mbethik, agar menjadi nama majelis dzikir. Yang kemudian pada Jumat, 6 Juni 2008 lalu, bertempat di Pesantren Rodhotul Hasanah desa Sumokali Kecamatan Candi Sidoarjo, lahirlah jamiyah dzikir dengan nama Majelis Dzikrul ‘Asyiqiin,” pungkasnya. (jar)

No More Posts Available.

No more pages to load.