Patah Arang Urus Benih Lobster

oleh -106 Dilihat
oleh
Oleh: Oki Lukito*

Pemerintah resmi melarang ekspor benih bening lobster (BBL). Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.). Pasca ekspor benih lobster atau benur dilarang untuk kedua kalinya itu Pemerintah belum mampu menghentikan ekspor benur illegal dan menggerakkan budidaya lobster.

Kendati dilarang, penyelundupan benur secara masif terus berlanjut walau terjadi banyak yang gagal. Bulan Juni lalu Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Banten menggagalkan penyelundupan 77.971 benih lobster (benur) yang akan dikirim ke Vietnam melalui Sumatera. Petugas menggagalkan upaya penyelundupan di Merak, Banten, Rabu (9/6/2021).

Selain dari wilayah selatan Jawa seperti Sukabumi, Pangandaran, Pacitan, Banyuwangi, Trenggalek, Tulungagung, Jember, benur yang akan diselundupkan disuplai pula dari pesisir barat Sumatra seperti Lampung, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Aceh  dan pada umumnya menggunakan jalur laut dari Kepuluan Riau (Kepri) tansit di Singapura sebelum berakhir di Vietnam.

Aktivitas penangkapan benur di pesisir selatan Jawa Timur sampai saat ini masih tetap berlangsung secara terbuka tidak bergeming dengan regulasi larangan ekspor benur. Penangkap benur dan pengepul setiap pagi masih bertransaksi harganya Rp 3-5 ribu (pasir) Rp 9-12000 (mutiara) per ekor. Untuk penyalur keberadaanya sama dengan tiada, selain sulit dihubungi mereka hanya bersedia bicara dan ditemui via orang kepercayaan. Mereka inilah tokoh kunci di lapangan, penentu sukses tidaknya benur sampai di Vietnam yang harganya 7-9 dolar per ekor dan mereka menjadi incaran aparat Penegak Hukum.

Tidak hanya mafia kelas atas diuntungkan dengan perdagangan gelap benih lobster. Pengepul juga banjir uang. Pembeli ikut beberapa opsi. Jika ingin diprioritaskan calon pembeli diminta dana investasi Rp 100-200 juta dan dipastikan memperoleh benur dengan harga di bawah pasaran. Dijamin benur aman sampai di tempat tujuan (Kediri, Surabaya, Jakarta, Batam, Medan, Denpasar, Yogyakarta). Sementara pembeli bebas yang tidak terikat harus berebut untuk mendapat benur dengan harga umum dengan resiko ditangkap aparat, barangnya disita dan diperkarakan di pengadilan.

Sementara itu KKP yang bersemangat mengkapanyekan budidaya lobster belum banyak direspon masyarakat. Kendalanya, banyak aturan atau perijinan yang harus diurus dari tingkat kabupaten, provinsi hingga pusat. Calon pembudidaya lobster harus mengantongi ijin lokasi, ijin lingkungan serta SIUPP budidaya yang dikeluarkan KKP. Pengurusannya pun via online, tidak dipahami sebagian besar  masyarakat pesisir yang masih gaptek.

Selain itu acuan teknis budidaya dan juklak yang sangat diperlukan  oleh calon pembudidaya juga belum tersedia. Terbatasnya jumlah penyuluh perikanan dan minimnya penguasaan teknis budidaya lobster menjadi kendala disamping permodalan yang tidak sedikit sekitar Rp 75 juta.

Ditengah ‘kegelisahan’ itu KKP mengumumkan akan mengajak Vietnam membudidayakan lobster di Indonesia. Harapannya, penyelundupan benur berhenti dan produksi lobster akan meningkat. Vietnam merupakan satu satunya negara yang sukses melakukan budidaya lobster mulai dari benih hingga ukuran konsumsi (250-300 gram). Harga lobster dunia berkisar 40-45 dolar atau sekitar Rp 500-650 ribu untuk size 0,5 kg.

Vietnam yang tidak mempunyai benur dan luas lautnya hanya 329.560 km2 mampu menjadi produsen terbesar lobster dunia. Sebagai referensi. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mencatat, dari Juli hingga November 2020, total ekspor benih lobster Indonesia mencapai 42,29 juta ekor. Dari jumlah itu, 42 juta ekor di ekspor ke Vietnam.

Ironi memang, kita yang mempunyai benih akan tetapi negara lain yang menikmati. Jika diamati sejak tahun 2016 pertama kali ekspor benur dilarang kita tidak memiliki kemauan untuk bisa membenihkan lobster dan membudidayakannya. Selama ini benih lobster tergantung dari tangkapan alam, sementara budidaya baru pada tahap pembesaran dari ukuran bibit (bukan benih) sampai ukuran konsumsi. Kita ditantang mewujudkan budidaya breeding (pembenihan) dan menjadi produsen benih dan lobster dunia.

KKP sebagai lembaga yang berkompeten untuk hal tersebut sebetulnya tidak sulit untuk mewujudkan hal itu. Kita punya ribuan sarjana perikanan, puluhan fakultas perikanan, punya ratusan dosen dan tenaga ahli peneliti, puluhan doctor dan professor perikanan serta banyak fasilitas balai riset perikanan serta anggaran KKP Rp 8 triliun pertahun yang bisa dikolaborasikan untuk budidaya breeding lobster. Sebagai catatan KKP mempunyai pengalaman sukses melakukan breeding sejumlah ikan laut, diantaranya kerapu (Epinephelus), udang windu (Penaeus monodon), tuna (Thunnini), Rajungan dan banyak lagi termasuk ikan laut hias Nemo dan Kuda Laut.

Untuk mempercepat proses pembelajaran budidaya lobster ini, KKP seyogyanya mengirim sejumlah pelaku pembesaran lobster, tenaga penyuluh perikanan dan periset ke Vietnam untuk mempelajari teknik budidaya lobster yang baik dan benar. Sementara di intern KKP memacu balai riset dan melibatkan professor, doctor dan sarjana perikanan dari berbagai Universitas terkemuka mewujudkan budidaya breeding lobster.(#)

*) penulis adalah Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan

No More Posts Available.

No more pages to load.