Harga TBS Anjlok Dititik Nadir, Ini Usulan DPP Apkasindo Ke Presiden Jokowi

oleh -134 Dilihat
oleh
Wartawan petisi.co bersama Ketum DPP Apkasindo

JAKARTA, PETISI.CO – Dua bulan sudah berlalu sejak keterpurukan petani sawit dengan anjloknya  harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang terjadi secara merata di 22 provinsi sawit. Harga TBS petani swadaya hari ini Rp.1.150/kg  dan petani bermitra Rp. 2.010/kg. Harga ini 50-70% di bawah harga normal jika berdasarkan harga CPO (crude palm oil) Internasional (USD1.450/kg).

“Pemerintah harus gerak cepat untuk mendongkrak harga TBS petani dengan cara mencabut peraturan yang menekan harga TBS Petani. Saat ini peraturan yang kami sebut “beban” adalah BK (Bea Keluar), PE (Pungutan Ekspor), DMO (Domestic Price Obligation)-DPO (Domestic Price Obligation) dan FO (flush-out),” ujar Dr Gulat ME Manurung MP,C.IMA, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) dalam keterangan tertulis, Jumat (24/06/2022).

Gulat mengatakan bahwa pemerintah dapat melakukan beberapa opsi dan opsi itu harus dibuka  ke masyarakat umum. Diketahui harga CPO Rotterdam (22/6) adalah USD 1.450/kg, maka ada beberapa opsi yang menjadi pilihan.

Opsi pertama, jika tetap menggunakan full beban (PE+BK+DMO/DPO+FO), maka harga CPO Indonesia akan jatuh pada angka Rp10.176/kg, yang artinya harga TBS Petani Rp2.165/kg.

Perlu dicatat, bahwa harga ini adalah harga Dinas Perkebunan yang berarti harga di PKS turun lagi, apalagi kalau di level petani kecil tentu menjual hasil panennya paling ke Pedagang Pengumpul (RAM) yang harganya bisa turun Rp.400-500/kg.

Jadi praktis nya harga dilevel petani kecil hanya Rp.1.200- Rp.1.400/kg, bahkan saat ini ada yang hanya dihargai Rp.600/kg. RAM menekan harga bukan tanpa alasan, karena tidak adanya kepastian harga di PKS dan selalu berubah-ubah.

Opsi kedua, jika beban BK diturunkan dari USD 288/ton menjadi USD 200/ton dan PE dari USD 200 ditekan menjadi USD 100 sehingga totalnya menjadi USD 350, maka harga CPO domestik Rp.16.060/Kg dan harga TBS Petani naik menjadi Rp3.400/kg (dengan asumsi rendemen TBS = 21%).

Jika CPO Indonesia sama sekali tanpa beban, maka harga TBS Petani adalah Rp.4.500/kg.

Dengan demikian Beban TBS Petani sesungguhnya jika dengan beban saat ini (full beban) adalah Rp2.340/kg. Ini menggambarkan betapa beratnya beban TBS Petani sawit saat ini, yaitu 52% dari harga sesungguhnya (Rp4.500/kg jika tanpa beban).

“Jadi semuanya tergantung Presiden Jokowi, jika ingin membantu petani sawit mendapatkan haknya, maka opsi kedua adalah pilihan (beban hanya PE dan BK) maka harga TBS Petani akan terdongkrak menjadi Rp.3.400/kg. Namun jika tetap menggunakan opsi full beban, maka harga TBS Petani Rp.2.165/kg (seperti saat ini). Tentu ini beban yang luar biasa yang harus kami gendong sebagai petani kecil dengan keringat dan tulang kering kami sendiri,” ujar Gulat.

Saat ini semua serba salah. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sudah sangat terancam karena di satu sisi PKS didesak oleh Petani untuk membeli TBS mereka, disisi lain tangki timbun penuh.

Demikian juga dengan Refinery yang terkendala di kecepatan ekspor karena banyaknya rintangan yang harus dilalui. Oleh karena itu, lambatnya ekspor dari Refinery mengakibatkan serapan CPO dari PKS menjadi lambat bahkan terhenti.

Terhentinya atau lambatnya ekspor akan sangat berpengaruh kepada serapan TBS petani di PKS-PKS. Jadi secara sederhana dikatakan bahwa anjloknya harga TBS Petani diakibatkan oleh dua hal yaitu beban CPO dan lambatnya ekspor CPO beserta turunannya. Jadi kalau ada Menteri yang mengatakan bahwa harga CPO memang lagi turun penyebab anjloknya harga TBS, itu salah.

Berdasarkan hasil rapat APKASINDO (21/6) diketahui, “dari 1.118 unit pabrik sawit diperkirakan 58 pabrik tutup total beroperasi, sedangkan 114 unit pabrik sawit buka tutup, apakah ini juga karena harga CPO global lagi turun? ” jelas Gulat bertanya.

Ditekankan Gulat bahwa kondisi ini sangat berdampak kepada 17 juta petani sawit dan pekerja sawit. Keluarga petani saat ini sangat menderita, sementara kami sangat membutuhkan biaya untuk sekolah anak, berobat dan ekonomi rumah tangga.

Saat ini anak-anak kami harus berhenti sekolah sampai SMA sederajat karena ketiadaannya biaya keluarga. Dan yang sudah kuliah berencana akan cuti kuliah.

“Kami tidak manja, kami petani sawit tidak siap dengan bansos dan kami tidak mau membebani negara. Jika harga CPO dunia memang sedang anjlok kami memahaminya. Tapi karena CPO dunia sedang baik saat ini, tapi harga TBS yang kami terima justru sebaliknya, ini yang kami protes. Karena semua dibebankan ke TBS kami petani sawit, jadi masyarakat umum juga harus memahami dulu konteks permasalahannya,” urai Gulat.

Gulat menegaskan semua pihak sangat dirugikan saat ini, baik petani, perusahaan, maupun negara karena kehilangan devisa yang menurut Dirjen Bea Cukai mencapai 32 Triliun Rupiah.

Kami juga memahami bahwa perusahaan sangat tertekan dan merugi dengan kondisi ini. Yang paling menyedihkan adalah kami petani kecil, yang sudah rugi Rp 18 Triliun sejak pelarangan ekspor, namun kalau dihitung sejak masalah minyak goreng ini muncul sekitar Februari, kerugian sudah Rp 30 triliun.

“Usulan kami kepada Presiden supaya DMO, DPO, dan Flush Out segera dicabut (Opsi Kedua). Karena petani yang terkena beban dari regulasi tersebut,” ujar Gulat.

Ia mengingatkan mengenai urusan migor sejak awal sudah kami usulkan supaya disubsidi saja, supaya semuanya terjaga, migor tersedia terjangkau, harga TBS Petani terjaga secara wajar, perusahaan lancar ekspor dan negara mendapat devisa dan pajak.

BPDP-KS juga harus lebih memperhatikan petani sawit dan melakukan terobosan-terobosan sesuai dengan kewenangannya, seperti Pendirian PKS dan Pabrik MGS, supaya kisruh Migor tidak terulang lagi.

“Biar urusan Migor dalam negeri kami petani yang menyediakan, urusan ekspornya kami serahkan ke korporasi,” seru Gulat.

Gulat berharap Presiden Jokowi beserta jajaran kabinet terkait seperti Pak Luhut Panjaitan Menko Kemaritiman dan Investasi serta Ketua Dewan Pembina DPP APKASINDO Jend (TNI) Purn. Moeldoko, yang juga Kepala KSP RI segera bertindak untuk melindungi nasib 17 juta petani dan pekerja sawit.

Pak Moeldoko sudah berhasil menjembatani usulan kami, petani sawit, kepada Presiden tanggal 17 Mei lalu, supaya larangan ekspor dicabut saat itu. Kini petani sawit kembali memohon supaya beban-beban TBS kami dikurangi, supaya kami petani menerima harga TBS yang layak dari kerja keras dan keringat kami petani kecil ini.

“Sekali lagi Pak Presiden, kami petani sawit tidak manja tapi kami juga berhak mendapat perlindungan dari Presiden. Urusan Migor sudah jauh lebih baik saat ini, kini nasib kami yang justru semakin memprihatinkan,” tutup Gulat. (gus)

No More Posts Available.

No more pages to load.