Kebijakan New Normal dan Anomali Keadilan

oleh -92 Dilihat
oleh
Oleh: Z. Saifudin, S.H.,M.H*

Virus Korona (Pandemi) adalah bentuk wabah global yang berdampak pada semua negara dan multi bidang pada kehidupan manusia. Wabah yang begitu cepat menular dan sangat ganas terhadap eksistensi kehidupan manusia. Kesehatan masyarakat global terancam. Termasuk ikut menjalar terhadap keadaan di Indonesia.

Terlepas pro dan kontra kurang antisipasi sejak awal, apa pun sudah terjadi. Semua harus dihadapi dan ditanggulangi bersama. Segenap elemen bangsa memiliki tanggung jawab penuh terhadap pandemi ini, khususnya pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Guna menghambat dan menanggulangi adanya pandemi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan. Bersamaan masuknya pandemi ke Indonesia pada  awal Maret  2020. Banyak regulasi yang dikeluarkan.

Dalam pandangan Penulis ada fase tertentu. Fase tersebut menunjukkan regulasi dan efektivitas berhasil-tidaknya setiap kebijakan.

Ada 3 fase kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, yaitu Pra Kondisi, Koordinasi dan Eksekusi. Fase kebijakan ini mengikuti juga dengan berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat.

Sinergisitas antara pemerintah pusat dan  daerah, serta kementerian terkait khususnya Kementerian Kesehatan juga menjadi bagian dari tolak ukur berhasil dan tidaknya dari kebijakan tersebut.

Pra Kondisi. Pada tahap ini masih awal sekedar antisipasi. Belum ada penerapan sanksi yang tegas. Regulasi awal yang digunakan adalah Inpres No. 4 Tahun 2009 tentang Pendeteksian Wabah dan Keppres No. 7 Tahun 2020 tentang Satuan Gugus Tugas. Pemerintah bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membentuk relawan di semua daerah.

Tiap hari kasus positif pandemi makin meningkat. Korban makin berjatuhan. Dalam keadaan ini terdapat kegagalan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi tidak sejalan dengan korban yang makin bertambah. Bahkan, pemerintah daerah tidak sejalan dan mengambil kebijakan sendiri.

Redaksional yang digunakan pun berbeda dalam menentukan status darurat di daerah masing-masing. Ada Kejadilan Luar Biasa (Solo), Karantina Parsial (Jabar) dan Tanggap Daurat. Hal ini disebabkan pola koordinasi pemerintah pusat tidak efektif. Aturan sering berubah tiap waktu. Pemerintah daerah terpaksa mengambil inisiatif sendiri mengingat para kepala daerah juga sebagai Ketua Satuan Gugus Tugas (Berdasarkan point 3 Keppres No.12 Tahun 2020) di masing-masing daerahnya sendiri.

Koordinasi. Kegagalan pada fase 1 telah menjadikan warning berharga bagi pemerintah dengan menaikan status penanggulangan ke tingkat UU dan turunannya. Ada UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU KK) dan UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB) sebagai 2 induk regulasi.

Seiring waktu turunan dari UU tersebut keluar Keppres No.11 Tahun 2020 tentang Status Darurat Kesehatan, PP No.21 Tahun 2020 tentang PSBB (turunan Pasal 60 UU KK), Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan (sudah resmi disahkan dan jadi UU Virus Korona) dan Keppres No.12 Tahun 2020 tentang Status Darurat Bencana Nasional (kebijakan terakhir dikeluarkan tanggal 13 April 2020). Kebijakan ini banyak menuai kritik. Uji materi ke MK pun sedang berjalan, bahkan ketika masih dalam bentuk Perppu (sekarang jadi UU Virus Korona).

Pada tahap 2 ini pola koordinasi makin terjalin baik antara pemerintah pusat dan daerah. Tidak kacau lagi. Walaupun masih ada koordinasi yang berjalan kurang baik. Analisis lebih lanjut dari Penulis, dari berbagai turunan tersebut muncul turunan lagi berupa Peraturan dan Surat Edaran (SE) dari masing-masing instansi, yaitu Kemenkes dan Kemenhub.

Sebut saja sebagai tindak lanjut keberlangsungan PSBB adalah mekanisme dan tolak ukur PSBB bagi daerah, larangan mudik, pengendalian transportasi dan lain-lain.

Menyinggung soal PSBB ini dianggap jalan tengah bagi pemerintah ketika tidak mengambil kebijakan Karantina Wilayah (Pasal 55 UU KK) atau lockdown. Tidak mengambil Karantina Wilayah karena keuangan negara dianggap masih minus jika nantinya buat membiayai hidup warga negaranya.

Pun persoalan lockdown tidak dikenal dalam norma hukum Indonesia. Hanya adopsi dari luar negeri.

Bahkan PSBB ini adalah dianggap bentuk halus dari negara yang lepas bertanggung jawab secara keuangan terhadap warga negaranya.

Eksekusi. Pemerintah mengambil kebijakan akhir dari Perppu No. 23 Tahun 1953 tentang Darurat Sipil. Perdebatan pun muncul terkait penerapan kebijakan ini. Fase 3 ini jika dianggap tahap sebelumnya masih gagal. Jika hal ini diterapkan memang benar bahwa kebijakan ini menunjukan adanya kebingungan tersistematis dari pemerintah. Permainan istilah saja.

Dalam pandangan Penulis, penggunaan redaksional dan implementasi dari Darurat Sipil ini adalah cacat sejarah dan tidak berdasarkan norma hukum. Jika ini diterapkan juga dapat berpotensi mengacaukan nalar logika hukum. Mengarah pada logical fallacy (sesat pikir) dalam membangun sistem hukum.

Apakah itu New Normal (NN)? Dalam pandangan Penulis, selanjutnya NN ini masih bagian dari PSBB dan kerangka dari fase 2 yaitu “koordinasi”. Pemerintah belum dianggap dan merasa gagal, sehingga tidak masuk ke Darurat Sipil.

Lalu, apakah pengerahan aparat TNI-Polri ke sejumlah daerah bukan bagian dari Darurat Sipil halus? Kamuflase Darurat Sipil?  Apakah makna halus dari pelonggaran PSBB?

Jelas hal ini bisa saja terjadi jika melihat 4 daerah dalam masa percobaan sudah mendapat pengetatan dari aparat. Tidak menutup kemungkinan meluas ke 34 provinsi jika kasus positif Pandemi masih terus meningkat dan masyarakat dianggap sudah tidak disiplin lagi terhadap protokol kesehatan.

Jika merujuk pada statement Direktur Regional WHO untuk Eropa, bahwa pemberlakuan NN diperbolehkan dengan syarat dan ketentuan berlaku. Ada sejumlah tolak ukur jika negara ingin memberlakukan keadaan NN di negaranya masing-masing.

Tolak ukur utama adalah adanya penurunan kasus positif dan meninggal akibat Pandemi.

Lalu, apakah Indonesia sudah pada fase tersebut? Apakah kurva naik dan turunnya sudah memenuhi kriteria dari WHO?

Dalam hal ini terjadi debatable. Vietnam dan Wuhan, China adalah 2 negara paling awal yang sudah NN, bahkan sebelum adanya arahan dari WHO. Pasca 2 negara tersebut disusul Korea Selatan, Malaysia, Italia, Selandia baru dan sejumlah negara di Eropa.

Protokol kesehatan dari masing-masing negara juga berbeda. Sudah pantaskah Indonesia menerapkan NN? Ini adalah keresahan sekaligus rasa khawatir muncul dari masyarakat.

Presiden Jokowi pun telah resmi mengeluarkan statement tentang NN tanggal 15 Mei 2020 dalam pidatonya. Ini menunjukan bahwa pemerintah menolak istilah pelonggaran PSBB yang memang banyak mendapatkan kritikan.

Lalu, apakah ukuran pemerintah?

Ternyata pertimbangan sektor ekonomi sebagai parameter utama. Ada 4 fase yang akan dijalankan selama bulan Juni sebagai masa percobaan. Di awal Juli bisa jadi NN akan diberlakukan di 34 Provinsi jika 4 fase tersebut dianggap berhasil.

Salah satu pertimbangan dari pemerintah adalah dengan adanya NN berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berkaitan dengan pekerjaan dan jaminan kehidupan yang layak. Hal ini berkaitan dengan roda ekonomi masyarakat harus berjalan kembali.

Jika ditelaah lebih lanjut dalam praktek, bisa saja anomali dan tidak sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang equality before the law. Hal ini berimplikasi terhadap ketimpangan pemberlakukan sektor-sektor ekonomi apa saja yang boleh dan tidak bisa dibuka.

Lalu diluar eknomi termasuk pariwitasa dan tempat ibadah serta pendidikan dari SD sampai Perguruan Tinggi seperti apa? Apakah harus masih ada tolak ukur khusus?

Jika kebijakan ini tidak tepat digunakan, akan menimbulkan ketimpangan rasa keadilan di masyarakat.

Jika tolak ukur dari pemerintah hanya pada sektor ekonomi, maka dalam hal positif adalah berdampak terhadap aktivitas masyarakat kembali berjalan. Implikasi negatifnya adalah jika tidak disertai dengan protokol kesehatan yang baik, dapat berdampak terhadap potensi meledaknya kasus Pandemi di berbagai daerah.

Kepentingan ekonomi memang sangat krusial agar roda kehidupan dapat berjalan kembali. Bahkan demi keberlangsungan hidup masyarakat. Khususnya kelas menengah ke bawah. Bagi kalangan tertentu dengan gaji bulanan, misalkan dari ASN, Pejabat Negara dan Penyelenggara Negara mungkin bisa saja tidak terlalu terpengaruh dengan kebijakan tersebut.

Dalam keadaan ini para pengambil kebijakan tidak boleh melupakan kesehatan, bahkan nyawa tiap warga negara adalah mutlak dilindungi oleh negara tanpa terkecuali dan pra syarat apa pun.

Niat baik dari pemerintah tetap patut kita apresiasi. Semua demi kebaikan bersama. Akan tetapi, tetap perlu dievaluasi dan dikawal bersama.

Jika kebijakan NN ini dipaksakan, apalagi dengan pelibatan aparat, maka idealnya dan seharusnya tidak boleh represif. Harus tetap persuasif. Tidak asal kasih sanksi dan hukuman.

Mengingat keadaan masing-masing daerah tidak sama. Heterogen masyarakat sangat kompleks. Apalagi tingkat perekonomian warga juga berbeda.

Pemerintah harus konsisten terhadap kebijakan yang telah dibuat. Tidak boleh asal revisi dan berubah tiap waktu sesuai keinginan dadakan agar setiap instansi yang melakukan persiapan pada tahap NN dapat menyesuaikan dengan baik.

Disisi lain, peran masyarakat luas dari berbagai lapisan juga masih penting ikut berperan aktif. Semua elemen bangsa sesuai kapasitas dan bidang masing-masing memiliki tanggung jawab penuh terhadap penanggulangan Pandemi ini. Semua harus tetap disiplin. Mematuhi protokol kesehatan yang disarankan oleh pemerintah.

Pandemi pasti hilang. Semua pihak pasti bisa melewati ujian besar bersama bagi negara kita tercinta Indonesia.(#)

*)Penulis adalah Direktur Law Firm Pedang Keadilan, Direktur Lembaga Demokrasi Anti Korupsi, DISKUSI dan Ketua Umum Jaringan Nasional Diskusi Hukum.          

No More Posts Available.

No more pages to load.