Nasib Kurikulum Merdeka di Penghujung Perjalanan

oleh -383 Dilihat
oleh

Oleh : Wahyu Kuncoro*

Kurikulum Merdeka, sesuai dengan namanya hadir menjanjikan kemerdekaan dalam penyelenggaraan pembelajaran (baca : merdeka belajar). Sebuah konsepsi penyelenggaraan yang menyenangkan. Saking senangnya, Merdeka Belajar  pun acap diplesetkan menjadi  kemerdekaan bagi peserta didik untuk belajar atau tidak belajar.

Ya, Kurikulum Merdeka menawarkan kemerdekaan bukan saja bagi siswa tetapi juga bagi guru dan sekolah untuk melaksanakan pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. Semua serba merdeka. Kurikulum ini dikembangkan dengan kerangka kurikulum yang lebih fleksibel, fokus pada materi esensial dan concern pada pengembangan karakter serta  kompetensi peserta didik. Narasi indah sebuah kurikulum yang berpusat pada anak didik.

Karakteristik utama yang ditawarkan dalam kurikulum ini adalah :  pembelajaran berbasis proyek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila, fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar, seperti literasi dan numerasi. Fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.

Ketika kurikulum ini setahun lalu (2022) diluncurkan, Kemendikbudristek memang memberikan tiga pilihan kepada satuan pendidikan terkait  implementasi kurikulum merdeka ini di tahun ajaran 2022/2023, yakni: menerapkan beberapa bagian dan prinsip kurikulum, tanpa mengganti kurikulum satuan pendidikan yang sedang diterapkan; menerapkan kurikulum  dengan menggunakan perangkat ajar yang sudah disediakan; dan menerapkan kurikulum  dengan mengembangkan sendiri perangkat ajar.

Betapapun banyak menawarkan kemerdekaan dan suasana yang penuh kegembiraan dalam pembelajaran, namun yang tidak boleh juga dilupakan adalah bahwa kurikulum ini dilahirkan dalam situasi yang saat itu baru mau bangkit dari pandemi Covid-19, sehingga kemudahan kemudahan yang diberikan itu lebih karena situasi darurat yang membuat Kemendibudristek akomodatif dengan situasi yang tengah terjadi dalam masyarakat. Artinya kurikulum tidak disiapkan dalam kondisi yang sedang baik baik saja, sehingga harus dibaca bahwa secara konseptual konsep ini masih beraroma kedaruratan.

Selama pemberlakuannya, hingga hari ini, sesungguhnya masih belum melihat  bagaimana sebenarnya output dan outcome dari kurikulum ini. Artinya, masih belum tersedia takaran dan ukuran bagaimana hasil dari pemberlakukan kurikulum merdeka ini. Lantas apa yang salah dengan pemberlakuan kurikulum ini?

Sabagai ikhtiar untuk membangun pendidikan di tanah air tentu tidak ada yang salah. Hanya barangkali yang perlu dipahami adalah bahwa membangun pendidikan bukan seperti membangun monumen yang bisa cepat selesai dan terlihat hasilnya. Membangun pendidikan adalah membangun peradaban yang barangkali tidak terlihat cara kerjanya namun hasilnya bisa dirasakan.

Demikian pula kiranya dengan kurikulum merdeka. Aktivitas yang terlihat adalah masih mempertontonkan aktivitas yang penuh dengan penciptaan simbol dan instrumen dan lupa menitipkan makna di dalamnya. Guru lebih sibuk mengikuti pelatihan satu ke pelatihan berikutnya, Sekolah juga lebih memilih menyiapkan proposal agar dapat proyek tentang kurikulum merdeka, menjadikan kurikulum ini sebagai adu ide adu inovasi untuk mendapatkan proyek bernama Merdeka Belakar. Mendapatkan hibah untuk kegiatan pengembangan kurikulum merdeka seolah sudah serta merta berhasil mengembangkan kurikulum ini.

Di Penghujung Perjalanan

Bahwa kurikulum merdeka lahir dari rahim kabinet pemerintahan Jokowi yang akan segera mengakhiri perjalanannya tahun 2024 mendatang. Waktu yang tersisa tentu tidak bisa dikatakan lama untuk bisa mengevaluasi bagaimana keberhasilan kurikulum ini.

Sementara, evaluasi itu diperlukan untuk memastikan apakah kurikulum merdeka cukup sampai di sini, atau akan tetap melanjutkan perjalanannya, atau bahkan pada  tahun 2024 mendatang, Kurikulum Merdeka bakal ditetapkan sebagai Kurikulum Nasional sebagaimana rencana semula. Lantaran itu, ada beberapa catatan sebagai refleksi atas perjalanan Kurikulum Merdeka sekaligus sebagai bahan pertimbangan agar capaian-capain yang telah diraihnya bisa menjadi pijakan menentukan nasib Kurikulum Merdeka, apakah cukup sampai di sini atau terus dilanjutkan :

Pertama, bahwa Kurikulum Merdeka dihadirkan sesungguhnya untuk meletakkan dasar-dasar pembelajaran yang berdimensi jangka panjang karena akan menjadi pilar peradaban sebuah bangsa. Oleh karena itu, sesuatu yang berorientasi instan harus dibuang jauh-jauh. Memberlakukan sebuah kurikulum bukan sekadar menciptakan simbol dan instrumen semata tetapi harus lebih banyak menghadirkan makna.    Kurikulum baru juga bukan sekadar melahirkan istilah-istilah baru berikut aktivitas beroma proyek seperti  menyiapkan instruktur pelatihan yang kemudian menggelar pelatihan di berbagai tempat.

Kedua, Sesuai namanya kurikulum merdeka, maka esensi dari pemberlakuan kurikulum adalah kemerdekaan dalam menerapkan kurikulum ini. Namun benarkah atmosfera yang diciptakan sudah memberikan ruang kemerdekaan bagi sekolah untuk memilih menerapkan kurikum merdeka atau tidak.

Dalam derajat tertentu, sekolah masih tidak memiliki kemerdekaan dalam memilih tawaran pemberlakuan kurikulum. Sekolah yang awalnya tidak tertarik untuk menerapkan kurikulum akan menjadi serasa  terasing dan terkucilkan, karena kebijakan yang diberlakukan lebih memihak dan memfasilitasi kurikulum merdeka. Imbasnya sekolah pun ramai-ramai ikut menerapkan kurikulum ini agar tidak terasing dan terabaikan dalam penyelenggaraan pendidikan.

Ketiga, Kurikulum akan bisa menjadi penyangga sistem pendidikan nasional kalau bisa dioperasionalkan sesuai dengan regulasi yang ada. Kurikulum ini terlihat lebih indah menyenangkan dalam konteks ide dan gagasan, namun menabrak di sana sini saat akan dioperasionalkan.

Sebagai ilustrasi misalnya, UU Guru dan Dosen Pasal 35 Ayat (2) menentukan bahwa beban kerja guru itu sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu minggu. Kalau dalam satu semester tak mengajar, lantaran beban tugasnya sudah diselesaikan dalam satu semester, apa mereka berhak menerima tunjangan profesi?

Demikian juga kebebasan murid memilih mapel sesuai minatnya memang menyenangkan, betul-betul memberikan kemerdekaan kepada murid. Tapi, sulit implementasinya karena kondisi Indonesia saat ini yang prasarana gedung terbatas. Ketika kebebasan memilih itu diberikan, maka jumlah kelas dan fasilitas dan termasuk guru yang dibutuhkan menjadi tidak memadai.

Keempat, bahwa  konsep yang ditawarkan yang tidak sesuai dengan sarana dan prasarana yang tersedia sesungguhnya akan memantik munculnya kesenjangan baru di dalamnya. Memang, sebelum meluncurkan Kurikulum Merdeka, Kemendikbudristek telah meluncurkan program Guru Penggerak, Sekolah Penggerak atau menyiapkan platform Merdeka Mengajar bagi guru. Hanya saja, semua program tersebut bersifat terbatas.

Kurikulum Merdeka ini memang pernah diujicoba sebelum diberlakukan dan hasilnya baik. Hanya saja, ujicoba kurikulum ini sekolah swasta di Jakarta yang sudah siap baik baik sarana dan prasana serta SDM sekolah juga orang tua siswa yang relatif terdidik sehingga bisa berperan dalam pembelajaran ini.

Bagaimana jadinya jika ini diterapkan seluruh wilayah Indonesia dengan kondisi yang beragam, utamanya yang terbelakang dan miskin tentu sulit. Lantaran itu, sadar atau tidak, ketika kurikulum merdeka ini tidak bisa menjangkau seluruhnya,  itu artinya penerapan kurikulum merdeka ini rawan memantik  munculnya kesenjangan-kesenjangan pendidikan baru.

Wallahu’alam Bhis-shawwab.(#)

*)Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya

No More Posts Available.

No more pages to load.