Persoalan Pelayaran Rakyat dan Upaya Pelindo Menjaga Marwah Bahari

oleh -113 Dilihat
oleh
Beberapa Kapal Layar Motor sedang sandar di Pelabuhan Gresik Jawa Timur.(foto;oki lukito)

GRESIK, PETISI.CO – Kadianto (58), siang itu sibuk mengawal pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi di Kapal Layar Motor (KLM) Bintang Laut yang sarat muatan di Pelabuhan Gresik tujuan Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Barang yang diangkut berupa pupuk, peralatan rumah tangga, alat dapur termasuk ember, timba, gentong, pipa PVC, selang, springbed, kursi plastik, jerigen, bahkan tangki air, drum besi, dan plastik. Di bagian lain dek kapal juga diangkut bahan bangunan seperti asbes, seng gelombang, triplek dan besi cor.

Ia terpaksa membeli solar industri, sebab kapalnya tertunda berangkat gara-gara keterlambatan BBM. Solar subsidi yang sudah dibayar lunas tiga hari sebelumnya belum juga datang. Sementara, dua Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bersubsidi (SPBB), salah satu diantaranya milik Koperasi Pelayaran Rakyat (Koperla) Gresik selaku penyalur, kosong persediaan.

“Urusan solar subsidi ini sejak diatur BPH Migas sering bermasalah. Solar industri yang lebih mahal seribu rupiah, begitu dipesan langsung datang dan kita bayar. Bedanya, kalau solar subsidi, walau sudah dibayar lunas di depan, belum tentu datang tepat waktu,” keluhnya saat ditemui petisi.co, Rabu (23/6/2021).

Kebutuhan solar untuk pelayaran ke Kalimantan, khususnya  Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Kalimantan Barat (Kalbar), dalam satu bulan di Pelabuhan Gresik kira-kira 230 ton sampai 250 ton (satu SPBB). Harga solar subsidi di SPBB Rp 5.150 per liter, ditambah ongkos angkut Rp 250, total Rp 5.400; sedangkan harga solar industri termurah Rp 6.400 per liter.

“Membeli solar industri berarti mengurangi profit dan menambah biaya operasional serta otomatis mengurangi penghasilan ABK,” ungkap Kadianto yang merangkap anggota Badan Pengawas Kopelra Gresik.

Soal solar subsidi ini diakui Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Pelra, Sudirman Abdullah memang semakin sulit didapat. Kebijakan terhadap pelayaran rakyat yang didukung Undang Undang (UU) Nomor 17 Tahun  2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Presiden No 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual BBM, faktanya belum memperlihatkan perubahan yang signifikan.

“BBM masih menjadi salah satu pemicu terus menurunnya peran pelayaran rakyat. Memang dirasakan terjadi pergeseran kejayaan Pelra sejak tahun 1986 sampai saat ini,” ungkapnya.

Persoalan solar subsidi tersebut ditambahkan oleh Ketua Pelra Jawa Timur dan Bali, Salehwangen Sahib bertambah runyam, jika buku bungker salah satu persyaratan mendapatkan jatah solar bersubsidi habis masa berlakunya. Pemilik kapal harus mengurus di Pertamina lagi dan dikenakan biaya pula. Pemilik kapal juga harus menyertakan persyaratan semua dokumen kapal yang dilegalisir di kantor Syahbandar (KSOP). Itu pun di Pertamina belum tentu selesai dalam waktu 1 atau 2 minggu. Konsekwensinya, dipastikan akan ada tambahan biaya tambat kapal.

Permasalah lainnya menurut Salehwangen, titik serah solar subsidi yang diatur BPH Migas juga memberatkan. “Ada kapal yang asal domisilinya terdaftar di Surabaya akan tetapi mengisi solarnya harus di Semarang,” ungkapnya.

Biaya yang harus dikeluarkan kapal Pelra ukuran 300 GT ke bawah per trip dari Pelabuhan Gresik ke Kalsel, Kalteng, Kalbar atau Kaltim, meliputi biaya beli solar Rp. 28.250.000, tambat labuh dan surat clearance Rp 15.000.000, kebutuhan ABK Rp 40.000.000. Biaya tersebut tidak termasuk dana insidentil jika terjadi kerusakan mesin dan ongkos ‘ciumpantat’ alias pemalakan oleh oknum Penegak Hukum ketika perjalanan berlayar.

“Setidaknya kami harus menyiapkan uang ekstra tujuh sampai delapan juta rupiah untuk biaya lain lain,” terang Kardianto.

Jumlah Kapal Menyusut

Bukan hanya BBM dan titik serahnya yang mengganjal operasional armada Pelra. Setidaknya ada lima persoalan menurut Salehwangen yang memberatkan usaha jasa angkutan non Pelayaran Nasional tersebut. Dugaan pungutan liar (pungli) terjadi di pelabuhan, terkait Surat Ijin Berlayar (SIB), pemalakan di laut, rekomendasi barang di dek kapal (ondeck), muatan kapal, buku pelaut, dan fasilitas pelabuhan.

Berbagai permasalahan tersebut semakin membuat kelimpungan para pemilik kapal, apalagi Pelra tidak dilibatkan dalam program Tol Laut. Hal itu diakui Sudirman.

Ditambahkannya, Pandemi COVID-19 yang memasuki tahun kedua, melanda seluruh dunia termasuk Indonesia, meluluh-lantakkan perekonomian skala lokal, nasional, bahkan global. Pelaku usaha berskala mikro, kecil, menengah, maupun besar, semuanya terdampak. Tidak terkecuali ABK, buruh bongkar muat, dan aktivitas Koperla.

Menurutnya, ratusan kapal dalam kondisi terpuruk, bahkan terancam bubar. Ribuan ABK yang merupakan pewaris budaya bahari serta buruh bongkar muat di sentra pelabuhan rakyat sebagian besar sudah tidak bekerja lagi.

Contohnya di Juwana, Jawa Tengah sebagaimana diceritakan Ketua Pelra setempat, Sumani ; sementara di Pelabuhan Tegal menurut Ketua Pelra, Sutipyo di pelabuhan hanya melayani perbaikan dan perawatan kapal, tidak ada lagi aktivitas bongkar muat. Demikian pula di Pelabuhan Panarukan, Situbondo, Jawa Timur armada Pelra yang dalam sejarahnya menjadi salah satu sentra terbesar armada kapal rakyat kini tinggal cerita.

“Dua kapal saya dulu beroperasi di sana untuk trayek ke wilayah Intim (Indonesia timur). Angkutannya tidak pernah sepi. Sekarang nyaris tidak ada lagi armada Pelra beroperasi,”  ujar Madjid Massiara pengusaha kapal yang juga Sekertaris DPD Pelra Jatim dan Bali.

Kapal Layar Motor di Pelabuhan Gresik saat mengisi BBM di dermaga.

Soal kapal Pelra dalam program Tol Laut ditanggapi oleh pakar Pelayaran Rakyat, Yamin Jinca. Awalnya konsep Tol Laut itu melibatkan Pelra sebagai komplimenter seperti konsep Bappenas. Implementasinya, Pelra yang terlibat tenyata bukan Pelra yang eksis yang kita kenal sejak dulu.

“Kementerian Perhubungan membangun armada sendiri, kapal kecil berukuran sekitar 35 GT  dihibahkan kepada pemerintah daerah se Indonesia,” jelas Yamin Jinca  menyesalkan hal itu. Menurut Guru Besar Bidang Transportasi dari Universitas Hasanudin ini, pemerintah beranggapan efisiensi dan efektifitas armada Pelra, masih kurang kontribusi atau manfaatnya dalam Tol Laut.

Mengembalikan Kejayaan

Di Pelabuhan Kalimas, Surabaya, yang biasanya dipenuhi kurang lebih 100 kapal, tampak sepi. Hanya tinggal sekitar 20 persen yang masih beraktivitas. Menurut Ketua DPC Pelra Surabaya, M. Yusuf, selain terjadi pendangkalan di alur Kalimas, sistem pembagian keuntungan biaya angkut semakin memberatkan ABK. Perhitungannya, setelah dikurangi biaya operasional, hasil bersih dibagi tiga. Dua bagian pemilik kapal, selebihnya ABK (6-8 orang).

“Pertrip ABK hanya mengantongi Rp 2,5 hingga Rp 3 juta, jumlah ABK terpaksa dikurangi dari yang semula 10 orang lebih,” jelasnya.

Penyusutan jumlah armada Pelra selama tiga tahun  terakhir sangat memprihatinkan. Dari yang tercatat 1.350 unit kapal, kini hanya 800 yang aktif, umumnya sangat dipengaruhi kesulitan mendapatkan muatan. Pemilik kapal menurut penuturan Sudirman, harus menunggu satu hingga dua bulan agar muatan penuh untuk menutup biaya pengangkutan.

Persoalan ini bisa diatasi jika dibangun sinergi antara asosiasi kapal rakyat (Pelra) dengan Pelindo sebagai penyedia pelabuhan.

Perlu diketahui, untuk meringankan beban operasional, sebetulnya fasilitas dan kemudahan telah diberikan Pelindo kepada armada kapal Pelra agar mereka tetap eksis. Menurut General Menejer (GM) Pelabuhan Kalimas, Dhany Rachmad Agustian, semua kegiatan tambat dan bea masuk dijadikan satu paket jasa, sementara penumpukan barang tarifnya Rp. 1.000,- per ton  per 5 hari untuk barang umum.

Diakui Dhany Rachmad, Pelindo 3 yang mengelola 43 pelabuhan sebagai bagian dari perusahaan plat merah sejatinya dapat menggandeng BUMN lainnya untuk menjembatani pembelian komoditas yang sering diangkut, seperti semen, pupuk, beras, gula dan kebutuhan pokok lainnya.

Pelindo, menurutnya, berinisiatif menggandeng sesama BUMN lain agar pemilik kapal bisa langsung membeli komoditas yang sering diangkut dengan harga dasar. Permodalan bisa difasilitasi oleh perbankan milik pemerintah pula.

Disamping itu, dirinya mengingatkan, perlu direalisasikan kesepakatan BUMN untuk distribusi produk BUMN tertentu menggunakan jasa Pelra, terutama untuk distribusi pelayanan publik (obat-obatan, buku BOS, beras, semen, pupuk) dan dukungan CSR.

Usulan tersebut ditanggapi positip oleh Pelra. “Jika hal itu bisa disinergikan, fungsi Pelra saat ini sebagai usaha jasa angkutan logistik akan kembali pada kejayaannya sebagai usaha dagang,” ujar Salehwangen penuh harap.

Menurutnya, pemilik kapal waktu itu merangkap saudagar berkeliling nusantara dengan perahu layar, perahu layar motor. Armada semut tersebut membawa semen, garam, sembako, minyak goreng, dari Jawa ke Kalimantan; dengan muatan balik berupa kelapa, kopra dan kayu olahan. Dari Jawa ke Sulawesi, kapal mengangkut berbagai barang kelontong, dan sebaliknya membawa hasil perikanan, kopra dan rempah. Sementara dari NTT dan NTB, selain mengangkut garam, juga bawang merah, hasil laut, dan kopra.

Ditambahkan Salehwangen, kondisi sekarang, hampir 98 persen armada Pelra kembali ke pelabuhan pangkal  seperti Sunda Kelapa Jakarta, Kalimas Surabaya, Gresik, Probolinggo dengan muatan kosong. Untuk menutupi biaya operasional mereka melakukan pola tramper atau memilih rute sesuai pesanan. Dari Kalimantan tidak kembali ke pelabuhan pangkal, bisa ke Dumai, Maluku, bahkan Papua jika ada order pengangkutan.

GM Pelabuhan Gresik, Zevy Diargo di tempat terpisah ketika diwawancarai mengatakan, Pelindo sangat peduli dengan kapal rakyat. “Kami menyiapkan kolam tambat khusus untuk  sekitar dua ratus kapal Pelra, lokasinya tepisah dengan dermaga kapal Pelnas, agar aktivitas mereka lancar,” jelasnya.

Menurutnya, Pelabuhan Gresik awalnya adalah pelabuhan kapal pelayaran rakyat yang tercatat dalam sejarah Kota Gresik. Fasilitas lain selain kolam labuh, pihaknya memberi fasilitas tempat untuk dua SPBB dengan harga sewa murah.

Sementara di Pelabuhan Badas, Kabupaten Sumbawawa NTB, menurut  GM Pelabuhan, Tri Sugiyatno, selain dermaga juga difasilitasi pergudangan dan keringanan bea masuk.

Sebagai referensi, tidak semua pelabuhan Pelindo memiliki SPBB yang khusus melayani solar subsidi. Contohnya di Pelabuhan Bima, NTB. Menurut Ketua Pelra Nusatenggara Barat, Hindrawiyanto, mereka harus membeli solar di SPBU umum karena belum ada SPBB di Pelabuhan Bima, sehingga diperlukan biaya tambahan untuk mengangkutnya ke Pelabuhan.

“Kami berharap ada investor yang bersedia kerjasama dengan Kopelra Bima membangun SPBB di Pelabuhan Bima,” harapnya.

Demikian pula di Pelabuhan Tanjung Tembaga, Probolinggo, kapasitas tangki yang kecil (5000 kl) tidak berfungsi. Kapal-kapal yang berangkat dari Probolinggo minimal membutuhkan 8000-10000 kl tujuan Agats, Papua, dan singgah di Pelabuhan Lembar, Lombok Barat, NTB; terkadang di Pelabuhan Pelindo di Kalabahi, Alor, NTT.

“Kondisi ini sebetulnya tidak efisien karena kami harus membeli solar industri yang harganya lebih mahal,” ungkap Ketua Pelra, Probolinggo, Irwan yang dihubungi beberapa waktu lalu.

Di Pelabuhan Ternate, Maluku Utara, BBM disupplai dari Depot Pertamina. Menurut Ketua Pelra setempat, Rustam Hamzah, pemilik kapal sangat berharap ada fasilitas SPBB di Pelabuhan Ternate dengan harapan bisa mengurangi biaya operasional. Pelra Ternate juga berharap diberi fasilitas dermaga khusus untuk kegiatan bongkar muat dan tidak dijadikan satu dan bergantian dengan kapal Pelnas.

“Kondisinya memprihatinkan dermaga lokal untuk Pelra sudah dikuasai kapal penumpang  Pelnas sehingga sangat mengganggu,” ujarnya.

Pemilik kapal juga berharap fasilitas SPBB berada dekat dengan kolam labuh untuk efisiensi biaya. Disamping itu, penyediaan air bersih dan pergudangan dengan harga sewa rendah diyakini oleh Salehwangen akan sangat bermanfaat bagi anggotanya.

Sementara menurut Kardianto yang juga pengurus Pelra Gresik itu, Pelindo diharapkan dapat memfasilitasi tempat atau ruangan pertemuan di semua pelabuhan untuk praktik pegujian buku pelaut bagi Juru Mesin Pelayaran Rakyat (JMPR), Mualim Pelayaran Rakyat (MPR), serta Basic Safety Training (BST) yang selama ini dipusatkan di Cirebon, Jawa Barat dan Semarang, Jawa Tengah.

Mengutip Perpres 16 tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (Ocean Policy) yang salah satu pilarnya melestarikan Budaya Bahari. Dalam hal ini Pelindo, menurut Dhany Rachmad memberi privilege (keistimewaan) pada pengelola Pelabuhan Rakyat Pelabuhan Sunda Kelapa dan Pelabuhan Kalimas Surabaya menjadi Heritage Port yang dilindungi oleh badan dunia PBB (UNESCO). Empati dan upaya Pelindo melestarikan warisan nenek moyang dan jati diri sebagai bangsa bahari serta menjaga marwah pelayaran rakyat, menurut Sudirman dan Salehwangen patut diapresiasi. “Gagasan tersebut seyogyanya melekat dalam penggabungan Pelindo agar kondisi Sunda Kelapa, Kalimas dan pelabuhan Pelindo lainnya tertata lebih baik dan kapal kapal yang selama ini terhambat antara lain karena pendangkalan tidak terjadi lagi,” ungkapnya.(oki lukito)

No More Posts Available.

No more pages to load.