Tim Hukum Paslon MAJU Ungkap Dugaan Pelanggaran TSM di Pilkada Surabaya

oleh -1562 Dilihat
oleh
M Sholeh (dua dari kanan) saat memberikan keterangan pers.

SURABAYA, PETISI.CO – Tim kuasa hukum pasangan calon (paslon) nomor urut 02, Machfud Arifin-Mujiaman (MAJU) mengungkap beberapa pelanggaran yang diduga dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) oleh tim pemenangan paslon Eri Cahyadi-Armuji (Erji) di Pilkada Kota Surabaya 2020.

Pelanggaran secara TSM itu diungkap Muhammad Sholeh, salah satu tim kuasa hukum paslon MAJU kepada wartawan di Posko pemenangan paslon MAJU, Kamis (17/12/2020). “Saya gambarkan mulai awal bagaimana pertarungan. Sejak awal pertarungan ini tidak seimbang dan tidak fair,” katanya.

Sholeh mengaku telah mengamati akhir tahun sudah banyak bermunculan gambar Erji dan ditempeli gambarnya Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

“Aslinya pak Machfud dan Mujiaman ini bukan lawannya Erji. Lawan bu Risma,” ungkapnya.

Jumlah baliho itu, menurutnya, lebih banyak lagi mendekati penetapan paslon oleh KPU Surabaya. Reklame-reklame di tengah kota Surabaya, komposisinya tidak seimbang. “Jadi 95 persennya Erji, 5 persennya MAJU,” tegasnya.

Lalu, lanjut Sholeh, terkait ada keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN). Pihaknya punya bukti video bagaimana ASN diorganisir untuk memenangkan Paslon Erji.

“Ada yang dimarahi karena daerahnya banyak balihonya Machfud–Mujiaman. Ini jelas terstruktur,” tandasnya.

Berikutnya, Sholeh mengaku pihaknya juga sudah melaporkan video ke Bawaslu Surabaya yang berisi kegiatan Pemkot Surabaya yang di dalamnya Tri Rismaharini mengarahkan untuk memenangkan paslon Erji. Boleh saja Bu Risma berkampanye dan dibenarkan oleh undang-undang, asalkan ada izin.

Kedua, tidak boleh menggunakan fasilitas pemerintah. Ketiga, tidak mendompleng kegiatan Pemkot.

“Dalam kasus yang disebar di medsos itu, patut diduga bahwa itu kegiatan pemkot ditumpangi untuk arahan pemenangan Erji. Tapi terkesan tidak ada tindak lanjut dari Bawaslu,” tuturnya.

Pelanggaran yang lain, tambah Sholeh, terkait dengan surat kepada warga. Apakah pada sebarkan surat ke warga itu, bu Risma sudah minta izin cuti atau tidak. Faktanya yang ada yang kita punya itu harinya berbeda-beda.

“Belum lagi ada kasus bantuan kepada RT dan RW. Kenapa itu diberikan pada saat menjelang pencoblosan,” ungkapnya.

Yang terakhir, yakni memasang iklan pada minggu tenang. Memang kemasannya bukan iklan, namun keberhasilan yang dilakukan kepada masyarakat.

“Dari analisis ini pelanggaran terstruktur sistematis masif ini jelas terpenuhi,” pungkasnya.

Kenapa ini dipersoalkan. Sholeh punya landasan kuat. Landasannya adalah Undang-undang (UU) X Tahun 2016, pasal 71 ayat 3 yang berisi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota dilarang menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerahnya sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon.

“Artinya apa, jauh sebelum itu UU sudah melarang. Bahwa penempelan foto saat itu tidak pernah menyebut bu Risma sebagai pengurus DPP PDI Perjuangan. Maka dia melekat sebagai Wali Kota. Coba tanya ke masyarakat luas, tidak mungkin ngomong itu istrinya si A. Atau pengurus DPP bidang kebudayaan. Pasti yang diketahui adalah Wali Kota Surabaya,” jelasnya.

Karena itu, kata Sholeh, jika ada masalah yang sangat terstruktur, sistematis dan masif itu masih dibiarkan, namanya tidak mempertanggungjawabkan kepada pemilih. Kebenaran ini harus ditegakkan. Karenanya, sangat tepat jika paslon MAJU mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“MK sekarang sudah berubah. Saya tidak mau tahu terkait dengan selisih. MK bukan Mahkamah Kalkulator, tapi MK ini mengadili selama proses pilkada apakah disitu ada kecenderungan pelanggaran TSM atau tidak,” tuturnya. (bm)

No More Posts Available.

No more pages to load.